Kolom

Arah Kebijakan Penanganan Masalah Umrah

Abdul Basir (Analis Kebijakan Ahli Muda – DJPHU)

Abdul Basir (Analis Kebijakan Ahli Muda – DJPHU)

Penyelenggaraan ibadah umrah pernah mengalami masa-masa kelam dengan munculnya berbagai masalah hukum yang menimbulkan kerugian sangat besar bagi masyarakat. Menyikapi hal tersebut pemerintah melalui Kementerian Agama berupaya melakukan berbagai langkah agar kejadian serupa tidak terulang. Beberapa upaya yang dilakukan berupa penguatan regulasi, penguatan kelembagaan, dan penegakan hukum.

Kementerian Agama pada tahun 2017 membentuk Direktorat Bina Umrah dan Haji Khusus. Melalui direktorat baru tersebut diharapkan penyelenggaraan ibadah umrah dan haji khusus yang diselenggarakan oleh swasta dapat terkoordinasi dengan baik oleh Pemerintah. Terbukti berbagai regulasi lahir sebagai upaya reformasi penyelenggaraan ibadah umrah dan haji khusus. Diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 menjadi momen penting dalam upaya penguatan regulasi. UU tersebut mengatur banyak persoalan umrah dan haji khusus, dan secara tegas mengatur pasal pidana penyelenggaraan umrah dan haji khusus dengan hukuman yang cukup berat bagi pelanggarnya.

Namun pada tahun 2020 terbit Undang-Undang Nomor 11 tentang Cipta Kerja yang mengubah sebagian ketentuan di dalam UU Nomor 8 Tahun 2019. Perubahan tersebut berdampak pada program pengawasan dan penanganan masalah ibadah umrah seperti pemberlakukan beberapa sanksi administratif dan denda pada aturan turunannya. Namun beberapa ketentuan pidana pada UU Nomor 8 Tahun 2019 dihapus pada UU Cipta Kerja.

Penghapusan beberapa Pasal yang memuat tentang sanksi pidana penyelenggaraan ibadah umrah sangat berpengaruh pada kecenderungan pelanggaran oleh para pelaku usaha. Pihak yang semula “takut” dengan ancaman pidana menjadi lebih berani melanggar dan tidak khawatir dengan ancaman sanksi administratif. Problematika tersebut perlu mendapatkan perhatian dari Pemerintah sebagai regulator dan pengawas dalam penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah.

Potensi pengulangan pelanggaran serupa akan terus terjadi akibat “pelemahan regulasi”. Bila pelanggaran berupa kegagalan berangkat semula mendapatkan ancaman pidana menjadi sanksi administratif, maka pelaku pelanggaran ada kecenderungan akan mengulangi pelanggaran yang sama karena dianggap sanksinya ringan.

Arah Kebijakan

Upaya penegakan hukum sejauh ini telah dilakukan dengan cukup baik. Salah satu buktinya dengan dibentuknya Tim Koordinasi Pencegahan, Pengawasan, dan Penindakan Masalah Ibadah Umrah. Tim tersebut terdiri dari 9 Kementerian/Lembaga yang terlibat langsung dalam bisnis proses penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah. Selanjutnya sesuai amanat Peraturan Menteri Agama Nomor 5 Tahun 2021 juga telah dibentuk Tim Koordinasi Identifikasi dan Penanganan Masalah Ibadah Umrah dan Haji Khusus. Tim tersebut terdiri dari Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Inspektorat Jenderal, Biro Hukum dan KLN, serta Polres Bandara Soekarno Hatta.

Bentuk penegakan hukum masalah umrah yang telah dilakukan berupa pelaporan tindak pidana umrah pada Kepolisian dan pemberian sanksi administratif. Direktorat Bina Umrah dan Haji Khusus saat ini terlibat aktif dalam penanganan beberapa pidana masalah umrah di Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Keputusan Menteri Agama tentang pemberian sanksi administratif berupa Pembekuan Izin Berusaha kepada tiga PPIU dan Penghentian Sementara Kegiatan Berusaha kepada satu PPIU juga telah diterbitkan.

UU Nomor 8 Tahun 2019 juga memberikan amar pembentukan PPNS dalam penanganan masalah ibadah umrah. Ketentuan tersebut diatur di dalam Pasal 112 tentang Penyidikan. Pembentukan PPNS tersebut pertama kali dibahas oleh Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah pada tahun 2020. Namun akibat pandemi Covid-19 proses pembentukannya terhenti. Selain itu juga terdapat kendala teknis berupa proses pembentukan PPNS yang tidak mudah. Kementerian Agama harus mengusulkan PPNS kepada instansi pembina baru kemudian mengajukan persetujuan kepada Kemenpan-RB. Selanjutnya dilakukan kerjasama Pendidikan dan Pelatihan PPNS dengan Mabes POLRI. Proses tersebut kini mulai digerakkan lagi dengan proses diskusi awal dengan Mabes POLRI dan akan dilanjutkan kembali setelah penyelenggaraan ibadah haji tahun 1444H.

Pegawai yang bertugas dalam penanganan masalah ibadah umrah juga perlu mendapatkan perhatian serius. Selain jumlah pegawai yang dirasa kurang, juga dibutuhkan peningkatan kompetensi pegawai yang ditugaskan dalam penanganan masalah umrah baik di pusat maupun daerah. Peningkatan kompetensi dapat dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan, bimbingan teknis, pendampingan teknis, dan kerjasama penanganan masalah dengan Aparat Penegak Hukum.

Pendidikan dan pelatihan teknis penanganan masalah yang sangat dibutuhkan seperti teknik permintaan keterangan yang dituangkan di dalam Berita Acara Permintaan Keterangan (BAPK), teknik mediasi masalah, dan berbagai teknik pemecahan masalah lain. Pendampingan teknis penanganan masalah juga sangat penting. Sesuai dengan PMA Nomor 5 Tahun 2021, Kanwil Kementerian Agama Provinsi dan Kementerian Agama Kabupaten/Kota memiliki tugas dalam penanganan masalah. Mereka diberikan kewenangan melakukan pemanggilan dan permintaan keterangan kepada pihak yang bermasalah. Mereka juga sering kali dipanggil kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan untuk memberikan keterangan yang berkaitan dengan masalah ibadah umrah. Namun kondisi saat ini banyak pegawai di Kanwil Kementerian Agama Provinsi dan Kementerian Agama Kabupaten/Kota yang belum memiliki kompetensi dan kapasitas dalam melakukan tugas-tugas tersebut. Oleh karena hal tersebut perlu dilakukan pendampingan teknis BAPK dan pemberian keterangan di kepolisian atau pengadilan.

Penegakan hukum juga merupakan salah satu opsi yang ditunggu masyarakat dan pelaku usaha. Masyarakat berharap para pihak yang tidak memiliki izin sebagai PPIU dan PIHK yang melakukan penawaran umrah dan haji khusus perlu ditindak tegas. Upaya represif pemerintah dalam hal ini kolaborasi antara Kementerian Agama dan Aparat Penegak Hukum (Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan) perlu ditingkatkan. Upaya tersebut sebagai bagian dari penegakan hukum sekaligus edukasi bagi masyarakat agar lebih memahami bahwa penyelenggaraan ibadah umrah dan haji khusus bukan urusan ibadah semata, namun terdapat sisi bisnis yang memiliki beragam konsekuensi hukum.

Kementerian Agama di berbagai tingkatan perlu melakukan identifikasi pihak yang melanggar ketentuan penyelenggaraan umrah dan haji khusus. Pihak yang telah teridentifikasi melakukan pelanggaran tersebut harus segera ditindak dan dilaporkan kepada kepolisian disertai dengan bukti yang cukup. Kepolisian juga harus bertindak cepat menindak para pelaku pelanggaran yang berpotensi merugikan masyarakat. Bila hukum dapat ditegakkan niscaya para pelaku pelanggaran regulasi akan jera dan berdampak pada tertibnya penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah. Dampak positifnya PPIU dan PIHK dapat menjalankan usahanya dengan baik. Masyarakat juga lebih aman dan nyaman dalam menjalankan ibadah umrah.

Abdul Basir (Analis Kebijakan Ahli Muda – DJPHU)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua