Kolom

ASN Melek Kecerdasan Buatan: Tantangan dan Keniscayaan

Rosidin, Statistisi Ahli Madya Kemenag

Rosidin, Statistisi Ahli Madya Kemenag

Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) sudah lumrah mengisi kekosongan pekerja di lingkar pemerintah. Sesuai Undang-Undang nomor 20 tahun 2023, kedudukan mereka hampir setara dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pun demikian seleksinya.

Di Kementerian Agama (Kemenag) sendiri, PPPK mengisi sejumlah posisi jabatan fungsional dan jabatan pelaksana. Jumlahnya tidak kurang dari 46.749 orang. Angka itu terhitung sejak pelantikan bulan April tahun 2022. Dimungkinkan akan terus bertambah, seiring kebijakan pemenuhan kebutuhan pegawai dari jalur PPPK.

Statistik Kemenag 2022 mencatat 223.929 PNS yang tersebar pada satuan kerja pusat dan daerah. Dari angka tersebut, 100.045 di antaranya telah berumur lebih dari 50 tahun. Ini artinya dalam 10 tahun ke depan mereka masuk masa purna bakti. Untuk Kemenag Pusat sendiri, PNS yang menjelang purnabakti dalam 10 tahun ke depan sebanyak 637 dari 2.594 atau 25%.

Dengan angka sebesar itu dan bila kebijakan terus berlanjut, artinya dalam sepuluh tahun ke depan pegawai Kemenag akan didominasi PPPK. Sayangnya, PPPK dari jalur honorer ini tidak sepenuhnya terisi oleh fresh graduate yang notabene memiliki kemampuan beradaptasi dengan teknologi lebih baik. Tentu memberikan tantangan tersendiri, saat mereka ditarik sebagai aset berharga untuk menghadapi signifikansi pelayanan publik di era digital.

Dalam satu kesempatan pelantikan, Gus Men menekankan bahwa Aparatur Sipil Negara (ASN) harus smart. ASN harus berintegritas, rasa nasionalisme, profesionalisme, wawasan global, dan melek teknologi. Pesan ini sangat penting, mengingat Kemenag harus prima melayani umat dengan berbagai tantangan di era digital.

***

Sementara itu, perkembangan teknologi saat ini bukan main pesatnya. Pemanfaatan teknologi di sekitar bahkan di genggaman seakan mimpi sepuluh tahun lalu yang menjadi nyata.

Fitur dalam handphone misalnya, berbagai aplikasi telah manfaatkan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence - AI). Algoritma mampu menyerupai kecerdasan manusia - membaca, berpikir, bersuara, meniru, berkreasi, dan bertindak layaknya manusia, dengan memanfaatkan jutaan bahkan miliaran informasi di jagat maya. Algoritma bekerja dengan melihat perilaku metadata dan informasi komposisi warna gambar, susunan kata teks, frekuensi suara dan setiap objek dalam video.

Ada juga teknologi yang mampu memprediksi pikiran sang pengguna. Teknologi satu ini bagian dari Machine Learning. Dia mengolah perilaku kosa kata yang sering diakses. Melalui algoritma tertentu, dia memberikan suggest words. Jadi jangan heran bila pop up yang muncul di layar handphone atau laptop mewakili perilaku pengguna.

Saat ingin mencari referensi berdasar kata tertentu di Google, mesin ini seakan tahu apa yang ada dalam pikiran, kemudian menyodorkan sejumlah kata yang memang salah satunya sedang dicari. Luar biasa bukan? Saya sendiri sering dibuat kaget, bagaimana mesin ini membaca apa yang sedang dipikirkan.

Ada juga teknologi yang mampu manipulasi wajah dan suara. Perkembangan dunia hiburan sangat didukung oleh teknologi satu ini. Lihat saja di aplikasi TikTok. Ada orang-orang muncul dengan wajah jenaka, wajah komik, wajah tua atau muda. Menggambar digital bukan lagi hal rumit. Berkat campur tangan kecerdasan buatan, cukup sodorkan ciri, karakter, warna, bentuk, suasana - proses dan jadilah gambar. Semua sah saja sepanjang hanya untuk hiburan. Akan tetapi bila sampai disalahgunakan, tentu akan berhadapan dengan hukum.

Ada lagi teknologi penyusun kalimat secara alami. Aplikasi parafrase misalnya. Aplikasi ini mampu menyusun kalimat secara alami sebagai pembanding kalimat sebelumnya. Munculnya ChatGPT dan aplikasi sejenis, seakan memanjakan otak berpikir lebih kreatif. Segala pertanyaan dapat dijawab dengan baik. Dalam dunia layanan, ada chatbot dan mesin penjawab otomatis yang mampu merespon pertanyaan konsumen dengan baik.

Itu secuil penerapan kecerdasan buatan yang sudah dirasakan. Perkembangan berikutnya, masih banyak yang belum kita saksikan. Pengguna dibuat semakin nyaman dengan bermacam hiburan dan mainan baru berbasis digital. Tapi pastinya, kecerdasan buatan yang ada di sekitar kita dan semakin dekat dengan kehidupan nyata, akan mengubah budaya dan perilaku manusia dalam berinteraksi.

***

Kementerian Agama merupakan organisasi pembelajar. Instansi yang berkomitmen belajar dan berkembang. Untuk peningkatan layanan publik, seluruh lapisan manajemen terus berbenah. Optimalisasi prosedur, peningkatan kapasitas, serta pemanfaatan teknologi sebagai upaya membangun reputasi smart governance.

Aplikasi Pusaka, telah dinobatkan sebagai gerbang pelayanan publik. Di kalangan internal, aplikasi ini dapat menjangkau seluruh ASN, sebagai media presensi. Sementara untuk pelayanan eksternal, berbagai pelayanan digital dipusatkan melalui satu akses.

Artinya, ke depan bukan hal mustahil penerapan teknologi kecerdasan buatan akan melekat dalam Pusaka dan aplikasi lainnya. Hal itu sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam transformasi digital.

Presensi realtime dengan pengenalan wajah, suara dan lokasi, mereduksi rutinitas pekerjaan teknis dan manual. Penanganan data besar (big data), deteksi ketidakwajaran dan penyalahgunaan anggaran juga bisa dilakukan sejak dini dengan bantuan kecerdasan buatan. Itu sederet aktivitas tata kelola yang sangat mungkin disusupi kecerdasan buatan.

Di samping itu, Kementerian Agama pun harus bergegas menyesuaikan tata kelola dan birokrrasi serta model bisnis tatkala nanti bergabung di Ibu Kota Nusantara. Sistem pemerintahan di sana akan menerapkan Smart Governance, Smart Living dan Smart Transportation. Artinya kecerdasan buatan menjadi keniscayaan dalam tata kelola dan gaya hidup perilaku para pegawainya.

***

Kembali ke posisi PPPK dan PNS sebagai ASN. Setidaknya mereka bertugas dalam tiga aspek, yakni pelaksana kebijakan publik, pelayan publik, serta perekat dan pemersatu bangsa. Pelaksanaan tiga tugas tersebut patut didukung kompetensi dan karakter memadai.

Pelaksanaan kebijakan, pegawai harus cermat membaca situasi dari banyak dimensi. Banjir informasi semakin deras, diperlukan kemampuan analisis big data dan filter tajam. Sementara dalam konteks pelayanan publik tentu harus profesional dan berorientasi pada kepuasan konsumen. Keduanya dalam kurun dekade akan banyak diwarnai hadirnya teknologi kecerdasan buatan.

Menghadapi situasi demikian, nampak nyata tantangan yang jadi pekerjaan bersama. Bila tidak disikapi lebih awal, bukan hal mustahil terjadi krisis di masa depan. Karena itu, ada beberapa hal yang perlu masih perhatikan bersama untuk diambil tindakan preventifnya.

Pertama, rutinitas pekerjaan. Tidak dipungkiri, keberadaan pegawai honorer di setiap sudut unit kerja telah lama ada. Mereka hadir dengan bermacam latar belakang motivasi. Umumnya tenaga honorer ditempatkan pada pekerjaan yang sifatnya teknis dan rutin. Saat masuk bagi sebagian pegawai honorer, kapasitas dan kompetensi bukanlah jadi syarat utama.

Ekosistem yang berjalan tidak terbiasa memecut kreativitas dan keterampilan melakukan pekerjaan secara efisien. Motivasi peningkatan kapasitas mandiri, kurang memadai dan dianggap menyusahkan diri karena akan banyak pekerjaan tambahan.

Di sisi lain, hadirnya kecerdasan buatan dalam berbagai aktivitas perkejaan diprediksi akan menggerus tenaga kerja. Pekerjaan rutin dan manual akan segera tergantikan dengan teknologi yang lebih efisien.

Kedua, gap literasi. Sejalan dengan rutinitas, kapasitas ASN jadi tantangan berikutnya. Banyak di antara mereka melek teknologi secara baik. Namun tidak sedikit, kurang memiliki kemampuan beradaptasi dengan teknologi.

Gap literasi juga terjadi antara pegawai dengan pimpinan. Kemampuan mencerna perkembangan teknologi memang tidak mudah bagi mereka yang tidak memiliki latar belakang secara baik. Karenanya tidak sedikit kreativitas pegawai kurang mendapat respon memadai dari pimpinan karena gap tersebut.

Ketiga, kemampuan self defence. Isu utama di era digital adalah soal keamanan data diri. Di sini penting setiap ASN memiliki kemampuan melindungi dirinya sendiri dari berbagai serangan. Melindungi dalam arti tidak mudah menyebar data pribadi, tidak mudah menerima informasi palsu, dan kemampuan merehabilitasi diri manakala mendapat serangan.

Keempat, konsumen teknologi. Hampir seluruh teknologi informasi yang dipakai saat ini produk asing. Kita hanya sebatas konsumen, beli dan pakai. Kita nyaris tidak pernah tahu hal tersembunyi di dalam aplikasi dan perangkat yang digunakan. Akibatnya tentu hanya bisa tunduk pada operasional dan tata kerja mereka.

Kelima, modal pindah ke IKN. Rencana perpindahan pemerintah pusat ke Ibu Kota Nusantara sedah di depan mata. Menurut dokumen IKN, masa pindahan Kemenag masuk di tahap kedua, berkisar 2026-2030. Meski demikian, dalam perpindahan tersebut tetap memperhatikan urgensi dan kesiapan layanan publik beradaptasi dengan lingkungan IKN.

Dari sisi pegawai, ada sejumlah kriteria yang akan berdampak mobilitasi. Mereka adalah pegawai yang secara usia memadai, memiliki jenjang pendidikan minimal Diploma, dan memiliki kinerja baik. Dari kriteria itu tentu tersirat kemampuan beradaptasi dengan lingkungan IKN yang berprinsip Smart City.

Membaca situasi demikian dan dinamika pelaksanaan tugas, Kemenag patut menyiapkan berbagai sumberdaya, terutama kompetensi pegawai. Dari kuantitas dan kualitas, seleksi pegawai harus memperhatikan situasi kondisi 10 atau 20 ke depan. Pegawai harus disiapkan sebagai aset jangka panjang yang menjadi tumpuan mendukung kinerja dan membangun reputasi.

Referensi:

1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Apaatur Sipil Negara.

2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

3. Strategi Nasional Kecerdasan Artificial Indonesia 2020-2045, Badan Riset dan Inovasi Nasional, 2020.

4. Visi Indonesia Digital 2045, Kementerian Komunikasi dan informatika, 2023.

5. Cetak Biru Kota Cerdas Nusantara. Ototita Ibu Kota Nusantara, 2023.

Rosidin, Statistisi Ahli Madya Kemenag


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua