Kolom

Berdamai dengan Perubahan Iklim

M. Ishom El Saha (Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten)

M. Ishom El Saha (Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten)

Pengamatan terhadap perubahan iklim telah dilakukan selama berabad-abad lamanya. Terutama sejak terjadinya revolusi industri pada abad ke-18 sampai sekarang pengamatan perubahan iklim berlangsung secara sistematis. Hasil pengamatan itu menunjukkan bahwa emisi gas rumah kaca bertambah meningkat sehingga mengakibatkan pemanasan global.

Secara alamiah suhu panas bumi dari pancaran cahaya matahari sejatinya diperlukan untuk kelangsungan hidup manusia dan makhluk lainnya. Akan tetapi rasa panas di atas rata-rata yang terjadi sekarang --akibat pantulan cahaya matahari yang terperangkap efek emisi gas rumah tangga-- dapat mengancam kelangsungan kehidupan dunia.

Banyak ilmuan yang memprediksi sampai tahun 2050 kalau tak ada upaya berarti maka 20 sampai 34 persen populasi makhluk di dunia akan terancam punah. Permukaan air laut akan menyapu dataran rendah permukaan bumi sehingga manusia akan meninggalkan tanah kelahirannya dan menempati daratan baru yang dapat mengganggu bahkan memusnahkan makhluk hidup yang mendiami lebih dahulu.

Terik panas matahari akan menggersangkan tanah hijau dan sawah yang subur. Sebagai akibatnya tidak saja tanah yang semula produktif menjadi tidak produktif --yang kemudian dijadikan alasan manusia untuk mengalihfungsikannya menjadi pemukiman dan lahan industri manufaktur-- namun juga akan tanah itu berubah menjadi gurun pasir dan tanah tandus. Secara otomatis ekosistemnya pun berubah dan habitat makhluk hidup yang mendiaminya punah dan berubah.

Perubahan iklim sangat berdampak khususnya bagi umat manusia. Berbagai kesepakatan kerjasama telah ditandatangani oleh pemerintah di dunia untuk menekan dan mengurangi emisi gas efek rumah kaca. Walaupun ada kesepakatan antar pemimpin negara di dunia, menurut para pengamat, dampak perubahan iklim hanya dapat menekan 14-15 persen dari total potensi ancaman yang membahayakan kehidupan makhluk hidup di muka bumi pada tahun 2050.

Para pakar masih tetap pada pendiriannya bahwa alam tidak bisa merehabilitasi kondisinya menjadi seperti awal mulanya. Kerusakan alam akibat olah tangan manusia tetap menjadi cacat yang ditinggalkan pada alam semesta. Upaya yang bisa dilakukan manusia hanya dalam batas mempertahankan dan meminimalkan cacat luka alam ini agar tidak semakin melebar dan menjalar.

Spiritualitas Berdamai

Secara empiris, berbekal pengalaman selama Pandemi Covid, sangat rumit jika semua manusia "dikunci" secara total dari kebiasaannya agar tidak memberi dampak atau sebaliknya terdampak perubahan iklim. Tak mungkin industri berhenti beroperasi, petani dipaksa meninggalkan penggunaan pestisida, konsumsi minyak sawit dirubah menggunakan minyak kelapa, peternak sapi dan konsumsi daging sapi dihentikan karena dianggap penyumbang terbesar emisi gas efek rumah kaca. Sesuatu yang logis adalah manusia berdamai dengan situasi dan kondisi pemanasan global. Berdamai karena dorongan spiritualitas.

Spiritualitas Berdamai dengan perubahan iklim dibangun atas dasar keyakinan bahwa dunia ini fana, atau meminjam istilah Gusmen Yaqus, hidup di dunia ini hanya sekelibatan. Pengertiannya bukan manusia tidak melakukan upaya apa-apa ketika menghadapi perubahan iklim, akan tetapi manusia hendaknya memahami fitrah kemanusiaannya. Sahabat Nabi yakni Utsman b Affan pernah berkata: "Saya masih akan tetap menanam sekarang walaupun misalnya kiamat akan datang esok hari".

Untuk kelangsungan hidup di dunia, manusia dibolehkan mengekplorasi tapi bukan mengekploitasi. Manusia boleh memanfaatkan sesuai kebutuhan, asalkan tidak berlebihan dan menyia-nyiakan sehingga masih mewariskan sumberdaya alam kepada generasi berikutnya. Kalaupun lama kelamaan habis dan punah maka hal itu bagian dari skenario Tuhan bahwa dunia bukan "tempat" yang sesungguhnya buat manusia sebab "tempat" yang layak buat manusia sudah dipersiapkan Tuhan kelak di akhirat. Demikianlah dasar pemikiran spiritualitas berdamai dengan perubahan iklim.

Sebagai orang beriman perubahan iklim sudah banyak disinggung baik di dalam Al-Qur'an maupun as-Sunnah. Rasulullah Saw juga melakukan pengamatan perubahan iklim pada jamannya:

عن أنس بن مالك رضي الله عنه، يقول: قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: «يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ تُمْطِرُ السَّمَاءُ مَطَرًا وَلَا ‌تُنْبِتُ ‌الْأَرْضُ

Artinya: Dari sahabat Anas b. Malik bahwa Nabi Saw pernah bersabda: akan datang suatu masa dalam kehidupan manusia yaitu hujan turun dari langit namun bumi tidak menumbuhkan apa-apa (HR.Muslim).

Rasulullah Saw sudah memprediksi ketika permukaan air laut naik dan menenggelamkan pesisir sehingga masyarakat berpindah menetap di tanah tinggi --yang semula hijau tapi menjadi padat dengan perumahan-- maka hujanpun hanya membanjiri tanah bukan menumbuhkan tanaman. Demikian kira-kira yang dimaksud dalam hadits Rasulullah itu.

Menjadi Bagian Iman

Menghadapi perubahan iklim adalah bagian dari iman (tawajjuh tagharrur al-mikham minal iman). Ungkapan dari sastrawan Arab ini layak dijadikan ukuran iman seseorang tatkala mengahadapi masalah perubahan iklim. Tidak sebaliknya sebagaimana yang biasa muncul dalam penilaian masyarakat Muslim tatkala melihat dan mendengar fenomena alam akibat perubahan iklim, dengan "men-just", mem-propaganda dan membuat opini yang menyesatkan.

Misalnya ketika mereka mengetahui perubahan iklim secara ekstrim di Aran Saudi sebagai azab Tuhan menuju kehancuran. Padahal dengan adanya hujan, gurun pasir yang berubah menjadi Padang hijau, menurut penduduk Arab adalah Rahmat dari Allah.

Benar, bahwa Rasulullah Saw bersabda:

عنْ ‌أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَكْثُرَ الْمَالُ، وَيَفِيضَ حَتَّى يَخْرُجَ الرَّجُلُ بِزَكَاةِ مَالِهِ، فَلَا يَجِدُ أَحَدًا يَقْبَلُهَا مِنْهُ، وَحَتَّى تَعُودَ ‌أَرْضُ ‌الْعَرَبِ ‌مُرُوجًا وَأَنْهَارًا

Artinya: Belum terjadi kiamat sampai terjadi melimpah kekayaan harta sehingga ada seseorang yang mengeluarkan zakat hartanya namun tidak menjumpai mustahiknya, dan sampai tanah Arab berubah menjadi hijau dan dialiri sungai-sungai (HR. Muslim).

Akan tetapi ummat Islam tidak layak berpandangan stereotip kepada bangsa Arab sebab dengan adanya fenomena perubahan iklim mereka meyakini prediksi Rasulullah Saw, bahwa masyarakat bangsa Arab akan hidup makmur. Persoalan di awal kalimat Rasulullah menghubungkan dengan pertanda kiamat, maka seharusnya yang dipahami bahwa selama masih ada orang baik di dunia, belum akan terjadi kiamat.

Pandangan stereotip itu perlu dihindari sebab dalam hadits lainnya Rasulullah saw juga pernah bersabda kepada Muad b. Jabal ketiak melintas di wilayah Tabuk.

قال صلى الله عليه وسلم- لمعاذ حين مر بتبوك: «يُوشِكُ يَا مُعَاذُ إِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ أَنْ تَرَى مَا هَاهُنَا قَدْ ‌مُلِئَ ‌جِنَانًا

Artinya: "Ketahulah, wahai Mu'adz! Jika kamu dikarunia umur panjang maka kamu akan melihat apa yang akan terjadi di sini, yakni Tabuk menjadi taman perkebunan (HR. Muslim).

Bangsa Arab menjadikan hadits ini sebagai motivasi mengembangkan kawasan Tabuk menjadi kawasan agropolitan seiring terjadinya hujan yang sering turun di daerah yang semua gurun batu ini. Air hujan yang tersimpan di dalam sela-sela batu mereka manfaatkan sebagai cadangan untuk mengairi pertanian yang dikembangkan di wilayah dekat kota Madinah ini. Hal ini berkat dari ramalan perubahan iklim dari Rasulullah Saw.

Walhasil dengan meningkatnya emisi karbon efek rumah kaca yang mengakibatkan perubahan iklim, jawabannya tergantung kita. Apa pasrah? Menyalahkan? Atau justru kita dapat memanfaatkannya! Semisal, Indonesia bisa melakukan perdagangan karbon, terilhami hadits Nabi Saw: "Sungai Eufrat mengering (ungkapan majazi dari pemanasan global: penulis), lalu terhampar emas di dalamnya." Wallahu a'lam bis-shawab.

M. Ishom El Saha (Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua