Kolom

Cukup Nabi Yusuf Saja Jadi Korban Bullying

M. Ishom El Saha (Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten)

M. Ishom El Saha (Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten)

Para orang tua, guru, tokoh, dan lainnya sekarang ini harus memiliki perhatian intensif kepada anak-anak dan generasi muda. Pasalnya kasus bullying dan kekerasan terhadap anak semakin meningkat. Efek pengasuhan dan pendidikan anak yang rendah kualitasnya serta pengaruh media sosial yang luar biasa pada pribadi anak, menyebabkan generasi sekarang bertingkah laku dan perilaku aneh.

Sebagai umat beragama, kita sudah disuguhi masalah kekerasan dan bullying pada anak di dalam Al-Qur'an melalui kisah Nabi Yusuf. Ada banyak pelajaran berharga yang dapat kita petik dari kisah masa kecil Nabi yang dikenal rupawan ini. Mulai dari bagaimana mengajarkan anak agar berhati lembut dan bagaimana memperlakukan anak yang mendapatkan perlakuan kasar dan bullying dari teman-temannya maupun lingkungannya.

Al-Qur'an menyebutkan kronologis kasus kekerasan pada anak, sebetulnya mengenalkan upaya preventif dan mengajak kita supaya menyetop perbuatan pidana yang melibatkan anak ini. Cukuplah Nabi Yusuf yang menjadi korban kekerasan anak, dan jangan diteruskan berulang-ulang. Sebab dampaknya bagi psikologi anak sangat besar.

Anak korban kekerasan sangat memerlukan tindakan khusus, di antaranya melalui Trauma Healing yang bertujuan mengantisipasi kejadian post-traumatic syndrome disorder (PTSD). PTSD adalah gangguan stres pascatrauma.

Trauma Healing diajarkan dalam Alquran, khususnya dalam surah Yusuf ayat 21: “Dan berkata orang Mesir ( Qithfir) yang membelinya (Yusuf) kepada istrinya (Zulaikha); mulyakan tempatnya! mungkin menguntungkan kita atau kita jadikannya sebagai anak angkat.”

Dikisahkan dalam Al-Qur’an, bahwa Nabi Ya’qub dari perkawinannya dengan istri tuanya Layya dikaruniai 6 putra: Rawbin, Syam’un, Lawi, Yahuza, Yasakir, dan Yabulon. Anak-anak dari istri tua ini sangat iri dan membenci Yusuf dan Bunyamin, yang juga putra Nabi Ya’qub dari perkawinan dengan istri kedua, bernama Rahil.

Apalagi semenjak mereka mendapatkan bocoran percakapan antara Nabi Ya’qub dengan Yusuf tentang ramalan mimpi Yusuf yang melihat 11 bintang sujud kepadanya (QS. Yusuf: 4-5). Mereka berencana menyakiti Yusuf dengan segala cara.

Dengan berupaya meyakinkan Nabi Ya’qub, ke-6 kakak Yusuf mengajak serta Yusuf menggembala ke dekat hutan. Di tempat inilah mereka melakukan rencana jahat untuk melenyapkan Yusuf.

Nabi Yusuf dimasukkan ke dalam sumur. Untuk menutupi perbuatan, mereka menyiramkan darah kelinci ke baju Yusuf. Tujuannya untuk membuktikan kepada Nabi Ya’qub, bahwa Yusuf hilang diterkam hewan buas. Inilah satu kisah kekerasan anak yang diabadikan dalam Al-Quran.

Untung saja ada orang lewat yang singgah mengambil air dari dalam sumur, di mana Yusuf dicampakkan saudaranya. Yusuf ikut terangkat dari dalam sumur bersama dengan air timba. Lalu oleh penemunya, Yusuf di bawa ke kota Mesir untuk diperdagangkan.

Yusuf kecil yang rupawan menyebabkan banyak orang tertarik ingin membelinya. Dari sekian penawar, terdapat seorang menteri kerajaan bernama Qithfir yang berani membayar paling mahal. Yusuf lalu dibawa pulang ke rumah Qithfir dan diperkenalkan kepada sang istri, Zulaikha.

“Akrimi matswahu (mulyakan tempatnya!)” Kata Qithfir kepada Zulaikha. Kalimat inilah yang kita pahami sebagai ajaran trauma healing dalam Al-Qur’an.

Pertama, pemilihan kata “akrimi” mengandung makna “rasa” bermartabat dan berkesan. Seperti dalam etika menjamu tamu — falyukrim dhaifahu (memuliakan tamunya): yang utama bukan materi yang disuguhkan tetapi cara “mengorangkan” tamu.

Dalam cerita trauma healing yang diberikan kepada Nabi Yusuf, Qithfir mengajak Zulaikha agar diperlakukan seperti keluarga sendiri. Jadi untuk memulihkan PTDS pada anak korban kekerasan, trauma healing harus dapat menyentuh rasa dan psikis korban secara bermartabat dan berkesan.

Kedua, penggunaan kata “matswa” yang berarti nisbah kedudukan (maqam, manzil) yang diproyeksikan. Seperti doa “ahsana matswaya” agar di surga menempati kedudukan yang lebih baik. Pengertiannya anak korban kekerasan selain dipulihkan traumatiknya perlu diberi “bekal” untuk kelangsungan masa depannya.

Nabi Yusuf dikisahkan diberikan makanan dan pakaian, serta cara makan dan berpakaian layaknya anak bangsawan. Agar dapat beradaptasi dengan lingkungan bangsawan, Nabi Yusuf juga dibekali wawasan dan pengetahuan domestik untuk bekal masa depannya.

Berkah trauma healing pada nabi Yusuf, diakhir ayat disebut “Wallahu ghalibun ala amrihi,” yaitu Allah memulihkan pengalaman yang pernah terjadi dan memenangkan masa depan Nabi Yusuf.

M. Ishom El Saha (Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua