Kolom

Distingsi Ma'had Aly

Khairuddin Habziz (Katib Ma'had Aly Situbondo)

Khairuddin Habziz (Katib Ma'had Aly Situbondo)

Wakil Pengasuh Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo Dr. KH. Afifuddin Muhajir, MA dalam sebuah kesempatan diskusi menyampaikan bahwa pendekatan moderasi dalam keilmuan sangat penting. Menurutnya, pendekatan wasathiyah dalam tiga ajaran pokok Islam, ilmu aqidah, Syariah, dan tasawwuf yang dipetik dari hadis Jibril, harus dapat diintegrasikan dengan baik dan dinamis.

Perkembangan keilmuan, terutama kemajuan sains dan teknologi adalah hal yang sangat massif. Kita tidak dapat mengelaknya sebagai bentuk perkembangan kemajuan peradaban ummat manusia. Untuk itu, perlu ada adaptasi keilmuan yang tak selalu memperhadapkan kutub ilmu agama dengan ilmu non agama. Disparitas ini harus diakhiri. Mengapa?

Kedua kutub itu, baik ilmu agama dan non agama, keduanya sama-sama bersumber dari Allah SWT. Kiai Afif menyampaikan, "kalau alam semesta sebagai ayat-ayat kauniyah, dibaca dengan baik, maka akan lahirlah beragam ilmu sains. Begitu pula ayat-ayat qur'aniyah atau tanziliyah, jika dipahami dengan baik akan melahirkan ilmu-ilmu agama. Kedua-keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah SWT.”

Yang menarik menurut Wakil Rais Aam PBNU ini, sekarang diperlukan pengembangan ilmu aqidah. Referensinya cukup banyak dari beberapa kitab kuning yang diajarkan di pesantren. Fakta ini agar paralel dengan kemajuan sains dan teknologi. Karenanya perlu terus membaca alam semesta. Karena alam semesta ini baru, yang praktis akan terus melahirkan beragam ilmu pengetahuan. Semisal ilmu fisika, matematika, kedokteran, dan lainnya.

"Seandainya Al-Ghazali hidup kembali, tentu bahagia sekali, melihat perkembangan ilmu-ilmu mutakhir belakangan ini,” demikian penegasan Kiai Afif melalui sebuah pengandaian.

Al Ghazali adalah manusia luar biasa yang makrifat kepada Allah. Dengan penguasaan Ilmu Kalam, Ilmu Tasawuf, serta lainnya, termasuk Filsafat, Al Ghazali tak pernah puas dengan ilmunya. Sehingga Ia terus mencari ilmu yakin. Yaitu, keyakinan yang tak mungkin salah dan diketahui oleh semua orang. Semisal bahwa angka dua lebih banyak dari angka satu. Al Ghazali mencari ilmu yakin tersebut dan baru menemukannya pada ilmu tasawuf melalui tirakat yang panjang, bahkan sampai melakukan Iktikaf dan uzlah di menara mesjid selama setahun.

Belajar kepada Al Ghazali, berarti kita harus terus belajar, terutama melakukan kajian kitab-kitab kuning secara intensif dan ekstensif. Hal ini sangat relevan dengan distingsi Ma'had Aly yang secara spesifik berbasis turats (kitab kuning).

Kualitas keilmuan Ma'had Aly harus dijaga, sejak dari standar input, proses, hingga lulusan. Rekrutmen mahasantri melalui penyaringan adalah keniscayaan, bukan dengan cara penjaringan. Jika cara penjaringan dilakukan Ma'had Aly, lalu apa bedanya dengan Perguruan Tinggi Islam lainnya?

Persyaratan mahasantri yang dilihat bukanlah latar belakangnya, tapi potensinya. Dengan kata lain, saat seseorang mendaftar ke Ma’had Aly, maka pertanyaan yang layak diajukan, "Kamu bisa apa?, bukan kamu punya apa, ijazah apa dan seterusnya."

Di sisi lain, pengawalan terhadap aspek legalitas formal oleh semua pihak harus terus diupayakan. Sebab, tantangan saat ini adalah dunia yang serba formalistik. Buktinya, orang alim tak punya ijazah tidak bisa menjadi dosen formal. Berkelakar, Kiai Afif menyampaikan, "Ijazah formal di masa sekarang laksana mu'jizat di tangan seorang nabi"

Dunia saat ini ibarat lampu lalu lintas yang serba formalistic. Saya sendiri sering diminta bicara Fiqih Peradaban di berbagai forum-forum. Tapi fakta yang menyedihkan, ternyata masih terlalu banyak orang-orang tidak beradab, tidak amanah, tidak jujur, dan tidak taat pada peraturan. Padahal, menaati aturan pemerintah senyampang berkemaslahatan dan tidak bertentangan dengan syariat, hukumnya wajib syar'i. Mengapa bersifat syar'i, iya karena dalilnya adalah dalil syar'i.

Di Indonesia, kita terikat dengan peraturan negara, sebab telah memilih sebagai warga negeri ini. Bahkan saat memasuki negara orang lain, kita diwajibkan untuk menaati dan menghormati peraturan negara tersebut senyampang tidak bertentangan dengan prinsip agama.

Kesadaran hukum seperti inilah kiranya yang perlu diperbaiki di negara kita. Dan diharapkan peran penting Ma'had Aly yang ditopang pemerintah melalui keseriusan rekognisi, afirmasi, dan fasilitasi, sehingga dapat menjadi lokomotif dan garda terdepan dalam mewujudkan tujuan dan cita mulia ini.

Khairuddin Habziz (Katib Ma'had Aly Situbondo)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua