Kolom

Dokter Lo, Teladan dalam Memuliakan Manusia

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK Pada UIN Imam Bonjol Padang)

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK Pada UIN Imam Bonjol Padang)

Seminggu telah berlalu semenjak jenazah dokter Lo Siauw Ging, M.A.R.S., atau lebih dikenal dengan nama dokter Lo, menjalani proses kremasi dan dimakamkan di Solo. Sosok dokter dermawan itu tidak mudah dilupakan masyarakat, terutama di kota tempat tinggalnya.

Saat-saat yang tak terlupakan suatu hari pada tahun 2020 saya mengunjungi dokter Lo di kediamannya Jalan Jagalan 27 Surakarta. Sedikit cerita tentang apa dan siapa dokter Lo saya telusuri melalui media. Dokter yang langka itu tidak pernah memasang tarif dalam melayani pasien bahkan menggratiskan biaya konsultasi dan obat bagi pasien yang tidak mampu. Kebanyakan pasiennya dari kalangan masyarakat ekonomi lemah dan belum punya akses pada layanan kesehatan yang dijamin pemerintah. Bahkan ada pasien yang diberi uang karena tidak punya ongkos buat naik kendaraan umum.

Siang itu saya diterima oleh dokter Lo dan istrinya Ibu Maria Gan May Kwee di ruang tamu keluarga, menjelang jam praktik dimulai. Meski baru kenal, saya diterima dengan penuh keramahan. Saya memperkenalkan diri dari Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama. Ketika itu beliau duduk di atas kursi roda karena mengalami gangguan tulang sehabis jatuh dan usia yang sudah lanjut, 86 tahun. Ia menerima tamu bukan sekadar basa-basi, tapi melayani dengan sepenuh hati.

Dokter sosial, mungkin tidak berlebihan istilah ini dinisbahkan kepadanya. Prof. Dr. dr. Daldiyono dalam buku Pasien Pintar & Dokter Bijak (2007) mengungkapkan sejarah profesi kedokteran sama dengan sejarah umat manusia, sebagai makhluk hidup yang mengalami sakit dan meninggal dunia.

Saya salut dengan dokter Lo, dalam usia lanjut masih melayani pasien atas dasar panggilan kemanusiaan. Ia dikabarkan terakhir kali praktik pada bulan April 2023 lalu. Saya rasa tidak terhitung pasien yang pernah ditangani dokter Lo selama puluhan tahun. Sekitar 50 hingga 100 pasien per hari pernah dilayaninya. Seorang dokter hanya akan pensiun jika sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukannya.

Di sela perbincangan, beliau memperlihatkan buku daftar pasien dan tanda cap stempel pengambilan obat di apotik yang direkomendasikan. Dokter Lo setiap bulan membayar tagihan apotik dengan dana pribadi dan titipan kedermawanan beberapa kawannya. Setelah pemberlakuan BPJS Kesehatan yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, pasien dokter Lo berkurang, namun masih tetap ada sejumlah pasien tiap hari berobat di tempat prakteknya, setiap pagi dan sore. Program BPJS Kesehatan atau Kartu Indonesia Sehat belum bisa menjangkau setiap penduduk miskin atau warga rentan miskin yang menunggak iuran bulanan sehingga kartu BPJS-nya tidak bisa dipakai pada saat sakit.

Selama puluhan tahun ia mengobati warga miskin tanpa pamrih mengikuti jejak mentornya dokter Oen (pendiri Rumah Sakit Panti Kosala, kini RS Dr. Oen). Dokter Lo, sama seperti mentornya dokter Oen, tidak menjadikan klinik atau ruang praktik sebagai sumber penghasil kekayaan dengan mengambil keuntungan dari orang sakit.

Dokter Lo merupakan Direktur Utama RS Kasih Ibu Solo yang pertama, menjabat semenjak tahun 1981 hingga 2004. Ia tidak sempat mengikuti program pendidikan dokter spesialis karena alasan pribadi, mengingat sebagian besar pasiennya terdiri dari kalangan masyarakat lapisan bawah dan terbiasa berobat ke dokter umum. Perkembangan ilmu kedokteran diikutinya dengan membaca buku dan jurnal-jurnal kedokteran terbaru. Sewaktu menjadi kepala rumah sakit, dokter Lo mengambil program pendidikan Magister Administrasi Rumah Sakit (MARS) di Universitas Indonesia.

Setelah pensiun dari RS Kasih Ibu, ia hanya melayani pasien di rumah. Pasien sakit parah yang tidak punya jaminan tetap dirujuknya ke RS Kasih Ibu dengan jaminan pembiayaan dari ia pribadi. Dokter Lo bukan dokter biasa, tapi dokter bagi kaum papa.

Dalam biodatanya Lo Siauw Ging lahir di Kabupaten Magelang Jawa Tengah 16 Agustus 1934 dari pasangan keturunan Tionghoa. Ayahnya seorang pedagang tembakau di kota Magelang. Setamat SMA di Semarang, Lo Siauw Ging masuk Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Lulus menjadi dokter tahun 1962 dan buka praktik mulai tahun 1968.

Ketika ia memutuskan untuk menempuh pendidikan kedokteran, ayahnya berpesan, “Kalau mau jadi dokter, jangan berdagang. Kalau mau jadi pedagang, jangan jadi dokter.” Pesan itu dipegangnya secara konsisten. Ia menyadari kalau mau mengejar kekayaan, jangan menjadi dokter. Dokter tugasnya melayani orang sakit, tiada lain dari itu. Dokter tidak sama dengan pebisnis yang berpikir keras bagaimana mencari keuntungan dari usahanya. Saya kira itulah prinsip ideal seorang dokter yang menjadikan sosok seperti dokter Lo akan tetap dirindukan di dunia pelayanan medis dan masyarakat luas.

Sewaktu ia kuliah di Fakultas Kedokteran zamannya berbeda dibanding sekarang. Ketika Indonesia baru merdeka, kuliah di universitas negeri tidak membutuhkan biaya besar karena di masa itu sebagai mahasiswa kedokteran tidak membayar uang kuliah. Saya baca di buku biografi dr. Lo Sang Maestro Kehidupan (2016) karya dr. Nadjibah Yahya, Dipl. CIBTAC dan dr. Aviaddina Ramadhani, dokter Lo berharap agar sisi sosial tetap ada di setiap praktik para dokter, sebab bagaimana pun profesi dokter adalah kerja sosial dalam pengertian bekerja untuk kemanusiaan.

Suatu hal yang menarik, semasa menjabat Direktur Utama RS Kasih Ibu, dokter Lo membuat kebijakan tidak memungut uang muka pasien rawat inap. Walau konsekuensinya RS Kasih Ibu banyak menerima pasien yang ditolak oleh rumah sakit lain. Di mata dokter Lo, orang yang tidak bisa bayar uang muka perawatan rumah sakit dan tidak mengurus KTP pastilah orang susah, maka nilai kemanusiaanlah yang harus dikedepankan.

Kepada para dokter muda di RS Kasih Ibu, ia berpesan, “Berbuat baiklah sebanyak-banyaknya tanpa pernah menghitung seberapa besar dan seberapa setimpalnya upah yang akan kita peroleh, nantinya Tuhan akan menjadi pendengaranmu, Tuhan akan menjadi tangan dan kakimu, dan Tuhan akan menjadi penglihatan bagimu. Yang dengan itu semua kamu akan bisa menjadi dokter bagi manusia, makhluk ciptaan-Nya.”

Salah satu perkataannya yang berkesan bagi sejawat dokter dan karyawan rumah sakit, "Saya sebagai Direktur Rumah Sakit Kasih Ibu tidak rela jika ada seorang pasien pun dari rumah sakit ini, baik di unit rawat inap maupun rawat jalan, yang keluar dengan alasan tidak punya biaya. Saya ingin semua bisa tertangani di rumah sakit ini."

Kebaikan hatinya tidak hanya terhadap pasien, tapi juga dalam kepemimpinannya sebagai pimpinan rumah sakit yang mengayomi para sejawat dokter dan karyawan. Satu ketika, seorang dokter muda RS Kasih Ibu yang tengah mengambil spesialis di kota lain mengunjungi dokter Lo di Solo. Selain menanyakan perkembangan pendidikannya, tak lupa memberikan sedikit tambahan uang saku. Perkataan dokter Lo yang tak terlupakan oleh calon dokter spesialis tersebut, “Saya sudah memiliki semua dalam hidup saya dan saya sudah merasa cukup. Hanya satu yang tidak saya miliki, yaitu anak. Jadi terimalah pemberian ini sebagai ganti pemberian saya untuk anak saya.”

Setiap pegawai dan keluarganya yang sakit dan berobat di RS Kasih Ibu mendapatkan potongan keringanan biaya 50 persen. Satu ketika, anak dari seorang pegawai yang dirawat akibat patah tulang telah diberi potongan biaya 50 persen, namun masih meminta santunan dana sosial dokter Lo. Dokter yang sangat peduli itu mencari tahu kondisi kehidupan karyawannya. Suaminya tidak bekerja melainkan hanya berjualan jagung bakar di malam hari dengan tanggungan biaya sekolah beberapa orang anak. Seluruh biaya pengobatan anak karyawan itu dibebaskan. Dokter Lo menempatkan kemanusiaan sebagai hukum tertinggi di atas aturan dan kebijakan.

Pada kasus lain, dalam pemeriksaan kesehatan sebagai persyaratan akhir penerimaan calon karyawan RS Kasih Ibu, ditemukan seorang pelamar memiliki kelainan jantung. Pelamar bersangkutan yang kebetulan berasal dari keluarga miskin terancam batal diterima dan bahkan harus memikirkan pengobatan berkelanjutan, dimana saat itu belum ada BPJS. Dengan pertimbangan kemanusiaan dokter Lo memberikan keputusan di luar dugaan bahwa yang bersangkutan diterima dengan syarat berjanji akan melakukan kontrol rutin dan memeriksakan kesehatan jantungnya di RS Kasih Ibu dengan fasilitas sebagai karyawan rumah sakit. Ia betul-betul pemimpin yang bijaksana dan memiliki empati kemanusiaan sangat tinggi.

Teladan kebaikan dan nilai-nilai etik dalam kepribadian dokter keturunan Tionghoa itu berguna sebagai sarana belajar dan keteladanan bagi para dokter muda dan siapa saja tentang bagaimana seharusnya memuliakan manusia. Orang takkan melihat latar-belakang keturunan, sukubangsa, agama ataupun gelar yang disandang ketika kita menjadi manusia yang memberi manfaat untuk orang lain.

Dalam melayani pasien, dokter Lo mengungkapkan, "Saya tahu pasien mana yang mampu membayar dan tidak. Untuk apa mereka membayar ongkos dokter dan obat kalau setelah itu tidak bisa membeli beras? Kasihan kalau anak-anaknya tidak bisa makan."

Saya bertanya dari kalangan mana saja pasien dokter Lo? Ia mengutarakan, "Saya tidak membeda-bedakan pasien atas dasar suku dan agama. Kebahagiaan saya adalah bisa membantu orang lain."

Kisah hidup dokter Lo yang inspiratif mengajarkan sikap pemaaf kepada orang yang berbuat jahat sekali pun. Pernah ada oknum warga yang sering melakukan pemerasan (memalak), bahkan dokter Loe berkali-kali menjadi korbannya. Satu ketika orang itu menderita sakit agak serius yakni hipertiroid. Semua biaya pengobatan digratiskan dan dijamin biaya rawat inap rumah sakit oleh dokter Lo dan selalu dipantau perkembangan pengobatannya. Padahal pasien itu hanya `“preman” yang biasa memalak dokter Lo.

“Jangan balas kejahatan dengan kejahatan, mungkin suatu saat orang seperti ini masih bisa berubah menjadi orang yang lebih baik. Jika Tuhan saja memberi kesempatan manusia untuk berubah menjadi baik, apakah pantas manusia sebagai hamba-Nya tidak mau memaafkan dan tidak mau memberi kesempatan seseorang untuk berubah?” ungkapnya kepada dokter yunior Rumah Sakit Kasih Ibu yang geram mendengar latar belakang pasien jaminan dokter Lo itu.

Dokter pengabdi kemanusiaan itu tutup usia hari Selasa tanggal 9 Januari 2024 pukul 14.00 WIB di Rumah Sakit Kasih Ibu Solo pada usia 90 tahun.

Kedermawanan dan pengabdian dokter Lo semasa hidupnya bagaikan oase di tengah perubahan tata nilai kehidupan yang semakin individualistis dan kebermanfaatan seringkali hanya diukur dengan nilai uang. Salah satu keyakinan beliau, “Lulusan dokter itu tak akan mungkin mati kelaparan.”

Semoga jejak pengabdian dokter Lo menginspirasi para dokter muda dan filantropi kesehatan di tanah air. Pemerintah pantas menganugerahkan tanda kehormatan bintang mahaputera kepada mendiang dokter Lo atas darmabaktinya yang luar biasa kepada masyarakat dan dunia kesehatan.

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK Pada UIN Imam Bonjol Padang)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua