Kolom

Faustian Pact: Tragedi Manusia Bersekutu dengan Setan demi Keuntungan Dunia

Ahmad Zainul Hamdi

Ahmad Zainul Hamdi

Faustian Pact atau juga disebut dengan istilah Faustian Bargain adalah sebuah kesepakatan antara seseorang dengan setan. Pakta Faustian digunakan untuk menggambarkan sebuah kesepakatan di mana seseorang menjual nilai hidup atau prinsip moral tertingginya, termasuk jiwanya, kepada setan dengan imbalan kenikmatan duniawi (pengetahuan [dalam hal ini adalah sihir], kekuasaan, atau kekayaan).

Istilah ini merujuk pada sosok Doktor Faust dalam cerita rakyat maupun karya sastra Jerman. Ada banyak versi tentang kisah Doktor Faust. Salah satu yang terkenal adalah karya sastrawan besar Jerman, Goethe, yang berjudul Faust.

Sekalipun versinya macam-macam, namun semuanya mengisahkan seseorang yang bernama Doktor Faust. Dia sedang berusaha keras untuk mempelajari berbagai ilmu yang dengannya dia bisa menguasai dunia. Dengan pengetahuan yang dimilikinya, dia berharap apa pun yang diinginkan di dunia ini akan didapatkannya.

Di sisi lain, setan telah bersumpah di depan Tuhan bahwa dia akan melakukan tipu daya kepada manusia. Kali ini, targetnya adalah Doktor Faust. Dari sini kisah dimulai.

Turunlah setan (namanya Mephistopheles) menjumpai Doktor Faust dan menawarkan sebuah kesepakatan: sang setan akan memberikan semua yang diinginkan Doktor Faust di dunia dengan imbalan satu saja, yaitu jiwa Faust di akhir hidupnya.

Doktor Faust yang sudah gelap mata ingin menguasai dunia dan mereguk kenikmatannya ini menyetujui kesepakatan itu. Dia berpikir, toh yang diminta setan hanyalah jiwanya di akhir hidupnya. Dia merasa cukup pintar untuk mengelabuhi setan. Juga, waktunya masih panjang. Dia berharap sebelum ujung akhir hidupnya, dia menemukan cara untuk keluar dari perjanjian itu dan menyelamatkan jiwanya.

Tapi setan tidak segoblok itu. Setan telah menguasai titik lemah manusia, bahwa nafsu akan kekuasaan akan menjerumuskan manusia pada keserakahan tanpa batas. Orang yang telah dikuasai nafsu kekuasaan duniawi akan memenuhi keserakahannya satu demi satu, terus-menerus, hingga tanpa sadar nyawa telah di ujung kerongkongannya.

Dengan "ilmu setan" yang dimilikinya, Faust mencoba langkah nakal kecil, yaitu membuat gadis yang ditaksirnya bertekuk lutut mencintainya. Dan berhasil. Horeee...! Langkah nakal yang dikira kecil ini rupanya awal dari petaka abadi yang harus ditanggungnya. Bayangkan, apa yang dihasilkan dari nafsu syahwat yang berkombinasi dengan keserakahan pada kekuasaan?

Setelah berhasil menggendhak perempuan itu, Faust kemudian menzinahinya hingga hamil. Karena malu memiliki anak di luar nikah, mereka kemudian membunuh si bayi. Pembunuhan itu mengantarkannya ke hadapan aparat penegak hukum. Terbayang di pelupuk matanya hukuman apa yang akan menimpanya. Tak ada pilihan lain, agar selamat dia minta bantuan Mephistopheles.

Kisah terus berlanjut, episode demi episode. Setiap episode berkisah tentang pemuasan nafsu duniawi dan kebutuhan penyelamatan oleh setan. Apa yang dibayangkan Faust untuk keluar dari kesepakatan sebelum ujung hidupnya tidak pernah terjadi. Setiap langkah yang diambil untuk keluar dari kejahatan adalah sebuah kejahatan baru. Setiap upaya penyelamatan diri dari konsekuensi kejahatan, setanlah jawabannya. Lingkaran setan tanpa akhir. Begitulah tragedi sang Doktor Faust.

Bagi kaum santri tradisional, tragedi Doktor Faust ini pasti mengingatkan pada kisah Barsesa. Saya mendengar kisah Barsesa dari ayah saat saya masih kecil. Di bawah ini adalah kisah Barsesa versi ayah saya.

Dikisahkan ada seorang ahli ibadah bernama Barsesa. Sebegitu rajinnya dia beribadah hingga terbersit di hatinya perasaan sombong sebagai orang paling baik dan benar. Berpuluh-puluh tahun setan gagal menggodanya melalui berbagai kenikmatan duniawi.

Tapi setan tak kurang akal. Salah satu setan kemudian mengubah wujudnya menjadi manusia dan pura-pura beribadah di dekat Barsesa. Si setan setiap hari berpuasa dan mengisi malamnya dengan ibadah. Ibadah tak ada jeda.

Barsesa yang melihat ada orang lain yang lebih kuat ibadahnya dibanding dia mulai penasaran. Barsesa kemudia minta tips kepada setan yang berwujud manusia itu. Si setan memberi tips kepada Barsesa, bahwa agar bisa beribadah seperti dirinya, atau bahkan lebih, harus melakukan dosa dulu. Hanya orang yang bertobat setelah dosalah yang bisa beribadah dengan intensitas tingkat tinggi.

Barsesa yang sudah terpesona dengan setan mendengarkan tips tersebut dengan manggut-manggut antara membenarkan dan meragukan. Di hatinya berkecemuk ribuan pertanyaan. Bergalau antara ketakutan dan keinginan untuk menjadi ahli ibadah paling hebat. Dia mulai memikirkan apa jenis dosa yang bisa dipilih dan dilakukan untuk membuatnya menjadi seorang ahli ibadah terhebat.

Setan menawarkan kepada Barsesa untuk berbuat syirik (menyekutukan Allah), Barsesa langsung menolaknya sambil marah. Setan menurunkan tawarannya menjadi membunuh orang, Barsesa juga menolaknya. Setan menurunkan tawarannya lagi menjadi berzinah, Barsesa tetap keukeuh menolak. Akhirnya setan menawarkan kepada Barsesa untuk "sekedar" minum khamar.

Setelah berpikir agak keras, akhirnya Barsesa menyetujui. Toh hanya minum khamar. Setelah itu dia akan bertobat dengan ibadah yang jauh lebih rajin hingga mengalahkan setan.

Setan kemudian mengajak Barsesa ke sebuah kedai yang menjual khamar. Di sana dia minum hingga mabok. Dalam keadaan mabok, Barsesa memperkosa perempuan penunggu kedai. Perkosaan itu membuat si perempuan hamil. Kuatir akan rusak reputasinya sebagai ahli ibadah yang terlanjur sudah diketahui khalayak ramai, Barsesa memutuskan membunuh perempuan itu. Barsesa kemudian ditangkap aparat dan dijatuhi hukuman mati dengan cara disalib.

Barsesa ingin selamat dari hukuman mati agar dia punya waktu untuk bertobat. Lagi pula, apa kata dunia kalau sampai Barsesa, ahli ibadah itu, mati di tiang salib. Saat tubuhnya sudah terpaku di tiang salib, setan datang kepadanya dan menawarkan sebuah kesepakatan: Barsesa mengakui setan sebagai Tuhannya dan setan akan menyelamatkannya dari kematian. Deal!

Setelah Barsesa mengakui setan sebagai Tuhannya, setan pun berlalu meninggalkannya, tepat sebelum detak jantung terakhir menyudahi hidupnya. Sempurnalah su'ul khatimah itu.

***

Apakah dua kisah di atas terasa berlebihan? Mungkin saja ya. Tapi, dalam hidup ini tidak jarang kita merasa terkunci dari satu dosa ke dosa lain, dari satu kesalahan ke kesalahan lain, karena kesalahan berikutnya hanyalah konsekuensi dari kesalahan sebelumnya. Seperti rangkaian kebohongan yang terus menerus dilakukan karena satu kebohongan memerlukan kebohongan lain untuk menutupnya, sampai kita berani mengatakan jujur.

Dalam kehidupan nyata, tidak ada manusia yang tidak melakukan dosa-dosa kecil. Selain Nabi, kita semua bukanlah manusia suci. Tapi, jangan pernah gadaikan nilai tertinggi dalam hidup ini demi keuntungan-keuntungan sesaat. Jika kita sudah sampai menyerahkan prinsip tertinggi hidup kita, kita tidak memiliki apa-apa lagi selain kehidupan ala Doktor Faust.

Jika antikekerasan adalah prinsip moral kemanusiaan tertinggi dalam hidup kita, jangan pernah kita jual dengan keuntungan apa pun yang mungkin akan kita dapatkan. Sekali kita bersekutu dengan kelompok pemuja dan pelaku kekerasan untuk keuntungan tertentu, tidak peduli apakah kita pada akhirnya mendaptkan keuntungan sebagaimana yang kita inginkan atau tidak, kita selamanya tidak akan bisa lagi mengutuk tindakan kekerasan.

Begitu kita menggadaikan prinsip dasar hidup kita, tidak ada titik kembali. Satu-satunya cara keluar dari Faustian Pact adalah dengan mengakui kesalahan. Memang berat, karena yang dipertaruhkan adalah reputasi dan segala janji kenikmatan. Tapi tidak ada jalan lain. Sekali kita membenarkan sebuah kesalahan, kita tidak akan pernah berhenti karena kesalahan itu telah kita anggap sebagai kebenaran.

Ahmad Zainul Hamdi (Direktur Pendidikan Tinggi Agama Islam)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua