Kolom

Haji itu Milik Allah

Dr. Masmuni Mahatma, S.Fil, I., M. Ag., Ketua PWNU dan Wakil Rektor II IAIN SAS Kep. Babel

Dr. Masmuni Mahatma, S.Fil, I., M. Ag., Ketua PWNU dan Wakil Rektor II IAIN SAS Kep. Babel

"Haji itu milik Allah," urai KH. Sofyan Yahya, di sela-sela ngaji ringan di Makkah, 22 Juni 2023. Tanpa terlihat lelah, usai umrah wajib, Kiai yang kaya humor ini mengurai berbagai keutamaan haji dan sosiologi religi di tanah Makkah. Bahkan, lanjut Kiai Sofyan, melihat ibadah haji, kita mesti menjauhkan perspektif "rasionalisme" berlebih. Sebab, lagi-lagi, lanjut Kiai Sofyan, "Haji itu milik Allah Swt."

Sebagai rukun Islam kelima, ibadah haji adalah ritual yang sakralitasnya senantiasa diidam dan dirindukan tiap umat. Dalam realitas beberapa kultur masyarakat, sepulang dari haji, tiap-tiap diri pasti menuai pengalamannya yang unik, baik yang bersifat personali maupun komunal, menyangkut "berkah" sosial hingga "ampunan" Tuhan yang di luar nalar kemakhlukan.

Sepasang jemaah dari Tatar Sunda, yang tergolong lansia risti, di Tanah Air saja diklaim tidak mempunyai kemampuan fisik lagi untuk tunaikan ibadah haji, seketika menghadirkan realitas unik perspektif spiritualitas. Ketika diberi tahu bahwa sudah sampai di Tanah Makkah, mereka berujar pada Allah, "Ya Allah, kami telah sampai ke halaman rumahmu. Sekira kami memang masih layak dihidupkan, sembuh dan kuatkan kami. Jika Engkau menghendaki kami, sebaliknya, tunaikan hakMu atas umur kami."

Mukjizat Allah SWT nyata. Tiba-tiba usai istirahat sebentar di kasurnya, sepasang jemaah ini sumringah hendak ikut umrah wajib. Tak mau lagi pakai kursi roda, atau didampingi petugas sekalipun. Mereka sehat, dan menjalani ibadah umrah wajib tanpa banyak merepotkan jemaah lain. Mukjizat hadir, bukti Allah berhak sekali mengabulkan doa hambaNya. "Ud'uni astajib lakum."

Haji untuk Muttaqien
Sama halnya dengan ibadah mahdah yang lain, haji merupakan "tahap konstruksi" spiritual tersendiri bagi "muttaqien", mereka yang tercerahkan secara ketakwaan. Mustahil umat yang tidak bertakwa, akan menunaikan ibadah haji. Cukup jelas bahwa ikhtiar (calon) jamaah haji selama bertahun-tahun, sejatinya modal sekaligus model religiusitas substantif yang prospektif.

Lalu siapa yang tergolong muttaqien? Apakah tiap diri yang memenuhi alur "administratif" lalu diberangkatkan pakai pesawat otomatis disebut muttaqien? Ataukah mereka yang bisa menunaikan umrah wajib, bayar dam, umrah sunnah berkali-kali, otomatis tergolong muttaqien? Pertanyaan ini cukup sederhana tapi butuh sedikit rendah hati untuk menjawabnya.

Allah Swt telah menetapkan kriteria tersendiri soal "muttaqien." Mereka bukan sekadar khawatir akan hukuman Allah. Mereka bukan juga yang hanya (tampak) istiqamah menjalankan perintahNya. Atau bukan yang rajin laksanakan salat lima waktu dan menunaikan salat sunnah. Jauh di balik itu, mereka yang berbuat kebajikan dalam kondisi suka maupun duka, luas rejeki atau tersudut, sedih atau bahagia. Dalam istilah lain, mereka ini teladan kebajikan universal.

Dalam Al-Quran dijelaskan, mereka adalah hamba berjiwa pemberani menafkahkan hartanya, baik dalam kondisi lapang maupun sempit, menahan amarah tak terarah, dan memaafkan kesalahan sesama (QS. al-Imran : 134). Inilah konstruksi spiritualitas, religiusitas, dan ketakwaan berbasis "al-birru," "fi al-sarra'i wa al-dharra'i" sekaligus kekhalifahan. Ketakwaan quranik-transformatif. Sebab ketakwaan juga merupakan pakaian terbaik tiap-tiap manusia Islam (QS. Al-Baqarah : 197, Al-A'raf : 26).

Haji dari Lansia
Pelaksanaan ibadah haji 1444 H/2023 M berbasis semangat "Ramah Lansia" ini merupakan wujud manifestasi ketakwaan seperti amanah Allah dalam ayat-ayat dimaksud. Semangat khidmah pada lansia, merupakan instruksi Allah, saling menyuburkan kebajikan demi kesuksesan umat lansia tunaikan ibadah haji (QS. al-Maidah : 2). Subur bukan semata perspektif ritual-personal, melainkan juga dalam gurihnya ritual-komunal.

Oleh karena itu, melayani, mengedukasi, dan ikut menyukseskan umat lansia beribadah haji, adalah ibadah luhur berpahala subur. Betapa tidak, disamping berpahala dari ibadah haji yang khusyu, sejatinya berpahala pula lantaran peduli melayani umat lansia dengan berbagai tipenya. Ini ilustrasi-paradigmatik quranik yang tak bisa diabaikan (QS. al-Nahl : 128).

Dengan menginternalisasi semangat, nilai, substansi dan orientasi luhur ibadah haji dari dan untuk pelayanan terbaik bagi umat lansia, berarti telah membumikan hakikat "haji." Artinya, haji tidak lagi diposisikan sebagai ibadah mahdlah yang eksklusif-individualistik. Namun diantarkan lebih paradigmatik, dimana haji benar direalisasikan untuk mengedukasi sosial kemanusiaan sekaligus kebangsaan.

Sinyalemen ini, bukan isapan jempol belaka, melainkan pendewasaan ritual-spiritual yang prospektif. Terlebih haji, seperti ungkapan Al-Qur’an, diwajibkan hanya sekali bagi yang memiliki kualitas "kemampuan" berbasis keimanan. Sebab haji merupakan perjumpaan dan perjamuan kita dengan Allah. Barangsiapa hendak berjumpa dengan Allah, alangkah bagus maksimalkan menjadi penyalur kebaikan (QS. Al-Kahfi : 110), terutama mendampingi, mengedukasi, dan menyukseskan umat lansia yang sedang tunaikan ibadah haji penuh rahmah dan menyejarah. Siapa tahu, melayani dan menyukseskan ibadah haji umat lansia, adalah jalan kita mendapat Ridho Allah dalam berkehidupan. Sekali lagi, meniru Kiai Sofyan, haji itu milik Allah, kita semata hamba yang kadang tunamakna dalam konteks menyembahNya.***

Dr. Masmuni Mahatma, S.Fil, I., M. Ag., Ketua PWNU dan Wakil Rektor II IAIN SAS Kep. Babel


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua