Kolom

Inklusivitas PTKIN

Prof. Dr. M. Zainuddin, MA. (Rektor UIN Maliki Malang)

Prof. Dr. M. Zainuddin, MA. (Rektor UIN Maliki Malang)

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam sambutannya pada Monitoring dan Evaluasi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) di UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Selasa (30/5/2023) menegaskan bahwa PTKIN harus inklusif, membuka diri untuk menerima calon mahasiswa baru dari berbagai agama.

Lebih tegas lagi, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU), Yahya Cholil Staquf dalam pembukaan forum Konsinyasi Madrasah Reform yang digelar Ditjen Pendidikan Islam Kemenag RI mengusulkan, agar madrasah-madrasah di Indonesia dapat menerima peserta didik non-Muslim. Gagasan ini disebut sebagai reformasi madrasah. Karena saat ini madrasah sudah tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat yang heterogen (Jawa Pos, 5/4/2023). Semangatnya adalah bahwa saat ini bangsa Indonesia membutuhkan strategi untuk memperkuat integrasi sosial atau ketahanan sosial yang integratif.

Gagasan Gus Yahya ini memang berani dan bisa dibilang keluar dari pakem. Saya kira inilah reformasi sistem pendidikan yang totalitas. Dalam seminar internasional di UIN Malang beberapa bulan silam, Aminah Wadud seorang ilmuwan Muslim kontroversial dari Amerika pernah menanyakan kepada penulis, apakah di UIN Malang ini ada mahasiswa non-Muslimnya? Jika Gus Yahya mengusulkan hal ini dalam konteks pendidikan pada jenjang dasar dan menengah, maka tentu pada jenjang Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) seharusnya sudah dilakukan. Hal ini juga pernah penulis lontarkan dalam sebuah pertemuan para wakil Rektor bidang akademik di Serpong beberapa tahun lalu.

Pertimbangannya, bahwa pendidikan adalah hak semua warga negara, oleh karena itu semua warga apapun strata sosial dan statusnya harus mendapatkan perlakuan dan hak yang sama. Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Negeri adalah pendidikan tinggi bercorak Islam yang menyelenggarakan pendidikan tinggi sesuai dengan perundang-undangan dan peraturan pemerintah yang berlaku. Apalagi saat ini seluruh PTKIN sudah memiliki “rumah moderasi beragama” sebagai pusat pembinaan moderasi beragama pada pendidikan tinggi sebagai tindak lanjut dari Rencana Program Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Presiden Joko Widodo pada 11 Mei 2021 lalu telah menetapkan enam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) dengan diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) tentang perubahan status keenam Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) tersebut. Transformasi dari IAIN menjadi UIN ini adalah: UIN Sayid Ali Rahmatullah Tulungagung, UIN Prof. KH. Saifuddin Zuhri Purwokerto, UIN Raden Mas Said Surakarta, UIN Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda, UIN K.H. Ahmad Shiddiq Jember, dan UIN Fatmawati Soekarno Bengkulu. Dengan demikian, UIN di Indonesia saat ini bertambah menjadi 29.

Transformasi kelembagaan di atas dilatarbelakangi oleh ekspektasi masyarakat seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi serta tuntutan era modernitas yang semakin kompleks dan harus tetap berbasis pada nilai-nilai Islam atau integrasi keilmuan. Maka, kehadiran UIN menuntut adanya pembukaan program studi umum seperti universitas-universitas pada umumnya. Karena selama ini kehadiran IAIN yang ada masih belum dianggap cukup memadai untuk pengembangan ilmu. Itulah yang kemudian melahirkan ide para decision maker bahwa IAIN tidak saja hanya terbatas mengembangkan fakultas yang ada selama ini (ushuluddin, syari’ah, tarbiyah, adab, dan dakwah), melainkan sesuai dengan sifat universalitas ajaran Islam seharusnya membuka diri mengembangkan ilmu-ilmu lain yang justru diyakini akan memperluas pemahaman terhadap nilai dan petunjuk-petunjuk yang diisyaratkan lewat kitab suci al-Quran maupun sunnah Nabi.

Pemikiran tersebut di atas juga muncul sebagai konsekuensi terhadap pemahaman Islam yang semakin berkembang, yakni Islam tidak saja dipahami sebagai agama dalam pengertian sempit dan terbatas, yang hanya menyangkut tuntunan spiritual, melainkan bersifat universal menyangkut berbagai aspek kehidupan, sehingga pemikiran tersebut mampu mendorong bagi pengembangan kajian Islam dalam lingkup yang lebih luas. Sementara itu kehadiran IAIN juga dianggap belum cukup memadai untuk pengembangan ilmu yang dipandang utuh --yang tidak memisahkan antara ilmu agama dan umum-- melainkan harus sesuai dengan sifat universalitas ajaran Islam yang inklusif.

PTKIN menyelenggarakan pendidikan dengan kurikulum dan peraturan Menteri Agama dan juga Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Bagi PTKIN disajikan mata kuliah agama (Islam) sesuai dengan visi-misi yang ditetapkan. Di sebagian PTKIN disediakan sarana pesantren (ma’had) untuk menempa pendalaman keagamaan (karakter), pendalaman kajian kitab “kuning” dan bahasa (Arab dan Inggris). Bahkan di UIN Maliki Malang misalnya diwajibkan bagi setiap mahasiswa baru bertempat tinggal di ma’had tersebut selama satu atau dua tahun. Karena, visi-misi PTKIN adalah untuk melahirkan sarjana yang memiliki kompetensi plus, yaitu kompetensi intelektual-akademik sekaligus spiritual dan moral, atau sarjana yang menguasai ilmu-ilmu agama sekaligus ilmu-ilmu “umum”.

Seiring dengan perkembangan zaman, PTKIN memiliki peluang untuk memperluas mandatnya (wider mandate) dan mengembangkan statusnya. Misalnya dari STAIN menjadi IAIN dan dari IAIN menjadi UIN. Maka konsekuensi beralihnya status IAIN/STAIN menjadi UIN mengharuskan lembaga pendidikan tinggi tersebut berhak membuka proram studi umum, seperti: Psikologi, ekonomi, saintek, farmasi, kedokteran dan ilmu-ilmu kesehtan, yang tentu minatnya pun menjadi luas. Tidak saja warga negara Indonesia saja, namun juga warga negara asing.

Tentu, meluasnya program studi yang dibuka tersebut menjadi peluang bagi calon mahasiswa dari berbagai status sosial maupun status keagamaan (non-Muslim). Demikian pula pola seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB) yang bersifat terbuka dan massif secara nasional menuntut PTKIN/UIN untuk mempersiapkan diri menerima kenyataan itu. Bagaimana mempersiapkan para calon mahasiswa baru dari non-Muslim tersebut? Tentu dengan tetap memperhatikan hak-hak mereka yang sudah menjadi bagian dari sivitas akademika, maka Undang-undang Pendidikan Nasional (UUSPN) dan pendidikan multikultural menjadi penting untuk diperhatikan (*).


Prof. Dr. M. Zainuddin, MA. (Rektor UIN Maliki Malang)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua