Kolom

Khutbah Rasulullah Di Arafah, Jejak Permulaan Hak Asasi Manusia 

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)

Haji adalah ibadah terakhir yang disyariatkan Allah kepada umat Nabi Muhammad Saw. Kewajiban menunaikan haji hanya sekali seumur hidup bagi muslim yang mampu untuk datang ke tanah suci.

Sejarah mencatat peristiwa penting ibadah haji Nabi Muhammad bersama para sahabat dan 114.000 umat Islam pada tahun 10 Hijriyah/632 Masehi. Haji yang dilaksanakan oleh Nabi yang mulia itu adalah haji pertama dan ternyata merupakan haji penghabisan atau perpisahan (Haji Wada’) karena tiga bulan kemudian Allah memanggilnya.

Puncak kegiatan ibadah haji adalah melaksanakan wukuf di Arafah sesuai dengan sabda Rasulullah, “al-hajju ‘arafah” artinya haji intinya adalah melaksanakan wukuf di Arafah.

Amin Duwaidar dalam buku Suwar Min Hayah ar-Rasul sebagaimana dinukil Mohammad Natsir dalam Fiqhud Dakwah (1977) melukiskan peristiwa Haji Wada’ sebagai berikut:

“Pagi hari, sesudah shalat shubuh, berangkatlah Rasulullah Saw dari Mina menuju ke Padang Arafah. Rasulullah Saw menunggang onta beliau, Alqashwa, diiringi oleh ribuan umat yang sama-sama melakukan ibadah haji. Sambil berjalan, mereka bertakbir dengan suara bergelombang, berirama, bersahut-sahutan dan menyerukan talbiyah (terjemahannya): ‘Inilah kami, ya Tuhan kami, inilah kami, memenuhi panggilan dan perintah-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya segala puji, dan nikmat, adalah bagi-Mu, dan Engkaulah yang menguasai segala sesuatu. Tidak ada yang menyekutui kekuasaan-Mu….!’

Sesampai di tengah-tengah lembah Arafah, Rasulullah menghentikan ontanya di suatu tempat yang ketinggian. Di dekatnya berdiri Rabi’ah bin Umayah bin Khalaf, yang mempunyai suara keras dan lantang. Bin Khalaf ditugaskan untuk menyambung suara Rasul, agar jelas terdengar oleh umat yang banyak berhimpun di situ. Rasulullah tetap duduk di atas ontanya agar dapat kelihatan oleh orang banyak. Didahuluinya khutbah yang terkenal sebagai Khutbatul Wada’, khutbah perpisahan itu, dengan puji serta syukur kepada Allah Swt.”

Khutbah itu dengan sedikit perubahan dan tambahan keesokan harinya tanggal 10 Dzulhijjah diucapkan kembali oleh Rasulullah di Mina sewaktu perjalanan pulang menuju Mekkah. Rasulullah berkhutbah dengan kalimat yang mudah dipahami oleh semua lapisan umat.

Khutbah Rasulullah di Arafah dan Mina pada tanggal 9 dan 10 Dzulhijjah itu, menurut ulasan Prof. Osman Raliby dalam tulisannya di Majalah Suara Masjid tahun 1975, merupakan pedoman hidup bagi umat Islam karena banyak mengandung hak-hak asasi manusia (human right), di antaranya sebagai berikut (terjemahannya):

“Segala puji adalah bagi Allah. Kita memuja dan memuji Dia dan memohon pertolongan kepada-Nya dan bertaubat kepada-Nya. Kita berlindung pada Allah dari kejahatan-kejahatan diri kita dan dari segala perbuatan yang buruk. Barangsiapa yang diberi hidayah oleh Allah, maka takkan ada siapapun yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa disesatkan Allah, maka tak ada siapa pun yang dapat menunjukkan jalan baginya.

Aku naik saksi, bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Maha Esa Ia, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku naik saksi, bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya.

Wahai manusia, dengarkanlah pesanku baik-baik.

Aku akan menyampaikan kepadamu satu keterangan (sebagai wasiat), karena sesungguhnya aku tidak tahu apakah aku akan bertemu lagi dengan kamu sesudah tahun ini di tempat aku berdiri (sekarang) ini.

“Wahai manusia, Sesungguhnya darahmu (jiwamu), harta bendamu dan kehormatanmu adalah suci dan haram (dilarang diganggu), sebagaimana suci dan haramnya bulan ini (bulan haji), sampai kamu kelak menghadap Tuhan. Sungguh kamu pasti akan menemui (menghadap) Tuhan, di mana Ia pasti akan menanyakan tentang segala amal perbuatanmu.

Ingatlah, bukankah sudah aku sampaikan? (Umat: sudah-sudah! Nabi: Ya Allah, persaksikanlah!)

Maka barangsiapa ada amanat di tangannya, hendaklah disampaikannya kepada orang yang memberikan amanat itu kepadanya.

Ingatlah, tak seorang pun yang melakukan tindak pidana melainkan ia sendiri yang bertanggungjawab atasnya. Tidak ada anak bertanggungjawab terhadap tindak pidana ayahnya, pun juga tidak seorang ayah bertanggungjawab terhadap tindak pidana anaknya.

Wahai manusia, dengarkanlah kata-kataku ini dan pahamkan semuanya.

Sesungguhnya seorang muslim dan muslim lainnya adalah umat yang bersaudara. Tidak ada sesuatu yang halal bagi seorang muslim dari saudaranya melainkan apa yang telah direlakan kepadanya. Maka janganlah kamu menzalimi dirimu sendiri.

Ingatlah, bukankah sudah aku sampaikan? (Umat: sudah-sudah! Nabi: Ya Allah, persaksikanlah!).”

Khutbah Wada’ mendeklarasikan prinsip-prinsip Islam tentang persamaan hak dan martabat manusia tanpa memandang ras, suku bangsa dan warna kulit. Pada bagian lain khutbah yang monumental itu ditekankan beberapa hal, yaitu:

“Sesungguhnya riba sudah dihapuskan. Tapi kamu akan memperoleh modal saham kamu. Maka janganlah kamu berlaku zalim agar kamu pun tidak dizalimi orang.

Wahai segenap manusia! Sesungguhnya Tuhanmu adalah Esa (Satu), dan nenek moyangmu adalah satu. Semua kamu berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas orang yang bukan Arab melainkan dengan takwa itulah. Dan jika seorang budak hitam Abyssinia sekalipun menjadi pemimpinmu, dengarkanlah dia dan patuhlah padanya selama ia tetap menegakkan Kitabullah.

Ingatlah, bukankah sudah aku sampaikan? (Umat: sudah-sudah! Nabi: Ya Allah, persaksikanlah!).

Wahai manusia, takutlah kepada Allah. Kerjakanlah shalat yang lima waktu, lakukanlah puasa, berhajilah ke Baitullah dan tunaikanlah zakat hartamu dengan sukarela serta patuhlah atas apa yang aku perintahkan. Kamu pasti kelak akan bertemu dengan Tuhanmu, dan Ia pasti akan menanyakan kepadamu tentang segala perbuatanmu.

Ingatlah, bukankah sudah aku sampaikan? (Umat: sudah-sudah! Nabi: Ya Allah, persaksikanlah!)

Sesungguhnya zaman itu beredar, musim berganti.

Wahai segenap manusia! Sesungguhnya setan itu sudah putus harapan akan (terus) disembah-sembah di negerimu ini. Akan tetapi sesungguhnya dia puas dengan ditaati dalam hal-hal selain daripada itu (disembah), yakni dalam perbuatan-perbuatan yang kamu (sebenarnya) benci, maka waspadalah terhadap tipu daya (setan) yang akan merugikan agamamu.”

Rasulullah berwasiat kepada seluruh umat Islam agar senantiasa berbuat baik, menghormati dan melindungi kaum wanita serta menjaga kemurnian garis keturunan.

Sebagai klimaks, Rasul menegaskan, “Camkanlah perkataanku ini, wahai manusia! Sesungguhnya telah kusampaikan kepadamu, dan sesungguhnya aku sudah meninggalkan untuk kamu sekalian sesuatu, yang bila kamu berpegang teguh kepadanya, pasti kamu tidak akan tersesat selama-lamanya, yakni sesuatu yang terang dan nyata, Kitabullah (Al Quran) dan Sunnah Nabi-Nya.”

Rasulullah menutup Khutbah Wada’ dengan pernyataan dan pertanggungjawaban terbuka kepada Allah,

“Wahai Tuhanku! Persaksikanlah, persaksikanlah wahai Tuhanku.

Maka hendaklah yang telah menyaksikan di antara kamu menyampaikan kepada yang tidak hadir. Semoga barangsiapa yang menyampaikan akan lebih mendalam memperhatikannya daripada sebagian yang mendengarkannya. Mudah-mudahan bercucuranlah rahmat Allah dan berkat-Nya atas kamu sekalian!”

Setelah mengucapkan khutbah perpisahan, beliau turun dari ontanya Alqashwa. Usai menunaikan shalat zuhur dan ashar yang dijama’ secara berjamaah, Rasulullah menuju suatu tempat yang bernama Sakhrat, di sana disampaikannya ayat Al-Quran yang baru saja diwahyukan Allah untuk penghabisan kali sebagai penutup risalah kenabian, “Pada hari ini aku sempurnakan bagimu agamamu dan Aku lengkapkan untukmu nikmat-Ku, dan Aku ridhai bagimu Islam sebagai agamamu.” (QS Al-Maidah {5}: 3).

Wahyu penutup di atas sewaktu disampaikan oleh Rasulullah, disimak oleh para sahabat dengan perasaan haru. Abu Bakar Ash Shiddiq terisak menangis berderai air mata. Para sahabat menangkap isyarat bahwa Nabi dan Rasul yang dicintai dan mencintai umatnya tak lama lagi akan meninggalkan mereka untuk selama-lamanya. Benar sekali, delapan puluh satu hari kemudian Muhammad Rasulullah Saw pulang ke rahmatullah pada hari Senin 12 Rabi’ul Awal 11 H/7 Juni 632 di Madinah Al-Munawarah, kota nabi nan bercahaya.

Pesan yang menegaskan bahwa orang yang telah menyaksikan agar menyampaikan kepada yang tidak hadir, mengisyaratkan risalah sudah khatam dan sempurna disampaikan kepada umat manusia. Saat itu risalah “timbang terima” dengan dakwah. Selama 23 tahun Rasulullah menyampaikan risalah dan membumikan pesan langit, tugasnya dilanjutkan oleh umat Islam dengan dakwah. Dakwah Islamiyah dalam arti luas sesuai Al-Quran dan As-Sunnah menjadi tugas umat Islam di mana pun sejalan dengan misi Islam sebagai agama yang membawa rahmat dan kedamaian bagi alam semesta.

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua