Kolom

Kisah Tanpa Filter: Perjalanan Haji dari Sudut Pandang Seorang Peziarah Orang Berhaji

Muhammad Fauzinuddin Faiz (Dosen UIN Kiai Haji Achmad Shiddiq Jember)

Muhammad Fauzinuddin Faiz (Dosen UIN Kiai Haji Achmad Shiddiq Jember)

"Sebuah perjalanan penuh makna dan pengalaman mendalam," begitulah yang selalu terdengar ketika seseorang kembali dari ibadah haji. Namun, dalam kisah ini, saya ingin berbagi pandangan dari sudut pandang yang mungkin jarang dieksplorasi: perspektif seorang peziarah yang bertemu dengan orang-orang yang telah menyelesaikan ibadah haji mereka dan kembali ke tanah air. Jejak-jejak rasa perjalanan haji yang saya temukan bukan hanya sekadar cerita inspiratif, tetapi juga kisah-kisah kehidupan yang tulus dan jujur.

Perjalanan ini dimulai ketika saya memiliki kesempatan untuk bertemu dengan seorang sahabat lama, Munir, yang baru saja kembali dari tanah suci. Kita sering mendengar cerita-cerita perjalanan haji yang penuh dengan nuansa sakral dan keberkahan, namun Munir menawarkan pandangan yang lebih personal dan dalam. Tanpa filter glamor atau penceritaan berlebihan, dia berbagi tentang perjalanan spiritual dan mental yang dia alami.

Saat pertemuan kami, Munir tampak lebih tenang dan damai. Dia bercerita tentang momen-momen intens di dalam Masjidil Haram yang membuat hatinya bergetar. "Tawaf pertama kali di Ka'bah adalah momen di mana dunia nyata dan gaib bergabung dalam satu kesatuan," ujarnya dengan mata berbinar. Namun, di balik kata-katanya yang menggambarkan keindahan tersebut, ada juga cerita tentang perjuangan dan kesabaran yang dia temui.

Dia membagikan bagaimana perjalanan fisiknya menjadi ujian nyata. "Banyak dari kita membayangkan perjalanan haji sebagai rutinitas ibadah yang mudah dilalui, tapi kenyataannya adalah perjalanan panjang dan melelahkan," ujar Munir sambil tersenyum. Ceritanya tentang berjalan antara Safa dan Marwah, saat-saat kelelahan fisik yang membuatnya merenungkan ketahanan dan ketabahan.

Namun, yang paling menggugah adalah ketika Munir berbicara tentang pertemuan dengan berbagai orang dari seluruh dunia. "Saya tidak pernah merasa begitu dekat dengan begitu banyak budaya dan latar belakang yang berbeda," katanya. Dia melihat perjalanan haji sebagai peluang untuk merasakan persaudaraan global yang nyata, tanpa memedulikan perbedaan suku, bahasa, atau warna kulit. Dia menceritakan momen-momen berharga saat berbicara dengan sesama peziarah di tenda-tenda, saling berbagi cerita hidup, dan mendiskusikan tujuan spiritual mereka.

Bukan hanya cerita Munir yang menjadi sumber inspirasi, tetapi juga sudut pandang saya sebagai seorang peziarah yang mendengarkan dengan saksama. Melalui cerita-cerita ini, saya merenungkan tentang pentingnya menjalani hidup dengan penuh kesadaran dan makna. Seringkali, kita terjebak dalam rutinitas sehari-hari dan lupa untuk merenung tentang tujuan hidup sejati.

Dalam perjalanan haji, jejak-jejak rasa yang tergores dalam hati para peziarah menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Itu adalah pengingat bahwa hidup ini lebih dari sekadar pencapaian material atau kepuasan pribadi. Ada dimensi spiritual yang perlu dieksplorasi dan dihayati. Mungkin bagi banyak orang, haji adalah perjalanan fisik, tetapi lebih dalam dari itu, ia adalah perjalanan menuju kedamaian batin dan pemahaman yang lebih dalam tentang eksistensi manusia.

Dalam dunia yang seringkali terlalu terfokus pada tampilan luar dan prestasi yang mencolok, jejak-jejak rasa perjalanan haji mengajarkan kita untuk melihat melampaui filter-filter tersebut. Melalui pandangan yang tulus dan jujur, kita dapat merasakan kedalaman makna dan kebijaksanaan yang terkandung dalam setiap langkah perjalanan, serta mengapresiasi keindahan dalam kisah-kisah kehidupan yang sesungguhnya.

Sebagai seorang peziarah yang mendengarkan cerita-cerita ini, saya merasa diberkati oleh kesempatan untuk berbagi pengalaman yang begitu mendalam. Cerita Munir mengingatkan saya bahwa perjalanan hidup kita mungkin tidak selalu mulus, tetapi setiap langkah memiliki nilai dan pembelajaran yang tak ternilai harganya. Kita semua dapat belajar dari jejak-jejak rasa perjalanan haji yang mengajarkan tentang kesabaran, persaudaraan, dan kebijaksanaan dalam menghadapi ujian dan keajaiban hidup ini.

Selain cerita Kaji Munir, saya juga memiliki kesempatan untuk berbicara dengan penitia ibadah haji yang bertugas melayani para peziarah selama perjalanan haji. Salah satunya adalah Dr. KH. Abdullah Syamsul Arifin, M.H.I., tokoh yang dikenal umat dengan sebutan Gus Aab ini dengan tulus melayani para jemaah, khususnya mereka yang lanjut usia. Dalam percakapan kami, Gus Aab berbicara dengan penuh semangat tentang pentingnya menghormati dan melayani tamu Allah dengan tulus ikhlas. "Setiap jemaah adalah tamu Allah, dan tugas kami adalah untuk memastikan mereka merasa nyaman, aman, dan bermakna dalam perjalanan suci mereka," ujar Gus Aab dengan tekad.

Gus Aab juga menceritakan ihwal jemaah haji Indonesia yang oleh beberapa media diwartakan dalam kesulitan dalam akomodasi dan transportasi. Menurutnya, rasionalisasi kendaraan atau bis para jemaah haji itu adalah jarak tempuh dibagi lebar jalan, sehingga ketemu jumlah bis yang ideal untuk digunakan. Jika bis ditambahkan, maka akan menambah kemacetan, bahkan akan macet total. Terakhir, beliau menegaskan meskipun tugas beliau hanya duduk manis, namun beliau tidak henti membaca kitab tentang tatacara haji. Ini dilakukan untuk menjawab para jemaah yang bertanya dan meminta fatwa tentang bagaimana tata cara pelaksanaan saat ibadah haji.

Potret terkahir dari panitia haji (berbeda dengan gus Aab, yang sebagai petugas ibadah haji) Gus Bobby, nama alias dari Kiai Khubby Ali, berbagi kisah tentang bagaimana panitia haji dengan tulus memberikan perhatian khusus kepada jemaah lansia. "Kami sangat memahami tantangan fisik yang dihadapi oleh para jemaah lansia. Oleh karena itu, kami berusaha sebaik mungkin untuk membantu mereka menyelesaikan setiap tahapan perjalanan dengan nyaman," tambahnya. Dengan hati penuh kepedulian, penitia haji seperti Gus Bobby membantu para jemaah lansia melewati tantangan fisik dan menjalani ibadah dengan penuh kesabaran.

Namun, kerja keras dan dedikasi penitia haji tidak terbatas pada jemaah lansia saja. Saya juga berbicara dengan Ibu Insana, seorang anggota tim medis yang dengan gigih merawat para peziarah yang membutuhkan perawatan kesehatan. "Kami siap siang dan malam untuk memberikan perawatan medis kepada jemaah yang membutuhkan," kata Ibu Insana dengan mata berbinar. Dalam pandangan Ibu Insana, melayani para peziarah adalah panggilan suci yang memungkinkan mereka untuk merasakan kehadiran Allah dalam setiap tindakan melayani.

Dari sudut pandang mereka, saya bergumam dalam hati, mereka yang selesai dengan dirinya, maka akan memperlakukan orang lain, seakan seperti jiwanya. Kisah-kisah para jemaah haji yang diceritakan kepada saya, mengisyaratkan meningkatnya konektivitas atas relasi hamba-Tuhan yang semakin kuat terasa. Kisah tersebut memberikan kehangatan magis yang memenuhi relung batin saya, yang membuat saya semakin mendambakan panggilan Allah untuk beribadah haji. Intimasi spiritual yang dirasakan para jemaah haji pun turut saya rasakan. Ketika rasa langit dan sujud bumi dapat dirasakan sekaligus dalam satu waktu. Ketika debar jantung tidak dapat berpaling sedikitpun dari dzikir mengingat-Nya. Ketika kita manusia semakin mengenali diri yang kecil tak punya daya apa-apa, dan diri semakin mengenali bahwa Allah adalah Sang Pencipta yang Maha Daya.

Para jemaah haji yang saya kunjungi juga menekankan, bahwa seluruh proses pelaksanaan ibadah haji nyatanya tidak dapat dilakukan seorang diri, kesemuanya perlu kerja sama, koordinasi, dan bahkan bantuan orang lain. Kenyataan ini tentunya dapat meningkatkan kepekaan dan keharmonisan sosial kita, bahwa setiap orang pasti membutuhkan orang lain dalam setiap langkah hidupnya. Oleh karenanya, tidak boleh manusia merasa sombong atas dirinya sendiri. Tidak boleh seorang manusia merasa angkuh karena merasa paling kuat dan berkuasa. Apalagi dengan sengaja menyakiti orang lain, terlebih lagi menyakiti orang yang telah membantunya. Sebagaimana pula falsafah Jawa, “aja kuminter mundak keblinger, aja cidra mundak cilaka” (jangan menjadi orang merasa paling pintar/benar agar tidak salah arah, jangan curang dalam hidup agar tidak celaka).

Muhammad Fauzinuddin Faiz (Dosen UIN Kiai Haji Achmad Shiddiq Jember & Ketua Lembaga Informasi, Komunikasi dan Publikasi Nahdlatul Ulama PCNU Jember)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua