Kolom

Kyai dan Petuah Tentang Kopiah

Thobib Al-Asyhar

Thobib Al-Asyhar

Alkisah, pada 1992, saya ingin "boyongan" atau keluar dari pesantren Futuhiyyah Mranggen, Demak, setelah enam tahun belajar di sana. Pengasuh pesantren waktu itu, KH. Ahmad Muthohar, sebenarnya tidak serta merta mengizinkan santri "boyongan". Beberapa santri yang ingin "boyong" awalnya tidak mendapat restu. Beliau ingin santri-santrinya yang telah lulus madrasah (MA) tidak begitu saja meninggalkan pondok.

Saat itu, yayasan di lingkungan pondok ada perguruan tinggi swasta. Kalau tidak salah ingat namanya IAI-WS (Institut Agama Islam Wali Sembilan). Karena di pesantren ada PT, kyai berharap santri-santrinya melanjutkan di PT tersebut, sekaligus "nguri-nguri" atau menghidupkan pendidikan tinggi yang berada di lingkungan pesantren. Namun, karena merasa sudah "cukup" mondok di sana, ada keinginan saya kuliah di PT Negeri, seperti IAIN Walisongo Semarang, Jogjakarta, maupun Jakarta.

Berdasarkan informasi, bahwa IAIN terbaik saat itu IAIN Jakarta sebagai kampus pembaharu. Lalu saya mendaftarkan diri sebagai calon mahasiswa sebelum mendapat restu kyai untuk boyong dan melanjutkan kuliah di luar pondok. Setelah saya diterima sebagai mahasiswa IAIN Jakarta, lalu saya sowan ke kyai untuk meminta restu, sekaligus minta didoakan agar studi lanjut ke Jakarta berjalan lancar dan sukses.

Saat sowan, saya "matur" ke beliau, "mohon restunya kyai, saya ingin melanjutkan kuliah ke IAIN Jakarta, dan saya sudah diterima". Rupanya kyai kaget, "lho kamu kok mau boyongan, kuliah di sini saja," sergah kyai. Lalu saya jawab, "mohon maaf kyai, saya sudah mendaftar ulang. Mohon restu kyai dan doanya agar lancar dan sukses," jawab saya.

Mungkin karena santrinya setengah "maksa" dan terlanjur daftar, akhirnya beliau memberi restu dan doa. Hanya, ada satu pesan yang masih terngiang dalam benak saya hingga saat ini. Kyai berpesan, "Kamu boleh melanjutkan kuliah di Jakarta, tapi saya pesan kepada kamu jangan pernah menanggalkan kopiahmu," tandasnya. Tanpa banyak tanya, saya jawab, "Sendiko dawuh kyai" atau siap laksanakan kyai. Sebuah pesan seorang kyai sama santrinya yang sederhana dan simpel.

Di saat awal-awal mengenyam pendidikan di IAIN Jakarta, sekitar 1-2 bulan pertama saya benar-benar melaksanakan pesan kyai. Ke mana-mana saya mengenakan kopiah, meskipun tergolong "langka". Nggak apa, batin saya saat itu. Selain masih harus beradaptasi dari kehidupan santri ke kehidupan kampus, juga untuk melaksanakan titah kyai. Kyai bagi santri adalah referensi penting yang harus dijalankan. Petuah kyai adalah "jimat" bagi santrinya dengan berharap mendapatkan barokah.

Suatu ketika terjadi sesuatu dengan kopiah yang saya pakai. Saat naik bus Metro Mini menuju tempat saya mengajar di sebuah masjid, tepatnya di masjid Al-Hidayah, Cilandak, Jakarta, kopiah saya tersenggol penumpang yang penuh dan berdesak-desakan. Kopiah yang saya pakai jatuh ke lantai dan keinjak-injak penumpang lain. Saat saya mau turun dari bus, kopiah saya sudah lecek, benyek, dan penuh kotoran debu.

Selepas kejadian tersebut saya merenung kembali pesan kyai tersebut. Apakah yang dimaksud kyai yang meminta saya terus mengenakan kopiah di mana pun berada? Bukankah jika kita mengenakan kopiah, dalam situasi seperti dalam bus yang penuh sesak itu justru menjadi madharat? Bukankah pula kopiah hanya sekedar identitas diri yang tidak mencerminkan perilaku sesungguhnya?

Sekian banyak pertanyaan kritis saya muncul tentang "kopiah kyai" tersebut. Lalu, setelah melalui perenungan mendalam, saya akhirnya melakukan "takwil" atas pesan sang kyai. Pesan tersebut bersifat "majaz" bukan "lafdziyah". Mengenakan kopiah tidak harus dipahami secara letterlijk (leterlek), dipake setiap hari secara fisik.

Petuah kyai tersebut mengandung pesan moral bahwa "kopiah" adalah simbol kesalehan. Di mana pun santri berada, maka jangan pernah menanggalkan kesalehan. Di kampus, di pasar, di jalan, di kantor, di lapangan, maupun di masjid, tetaplah gunakan "kopiah" atau tetap saleh agar santri mampu menjadi teladan bagi lingkungannya.

Pesan kyai tentang kopiah tersebut sesungguhnya sesuai dengan sebuah hadis Nabi: "Bertakwalah kamu di mana pun berada, dan susulkan keburukan dengan kebaikan yang akan menghapusnya, dan berperilakulah kepada manusia (orang lain) dengan akhlak yang baik". (HR. Tirmidzi).

Pesan kyai kepada santrinya benar-benar tidak muluk-muluk, namun memiliki makna yang sangat dalam. Para santri tidak boleh menanggalkan kesalehan, di mana pun berada. Watak santri adalah menjaga kebajikan sebagai "paku bumi" alam ini hingga maut menjemput. Pesantren, kyai, dan santri memiliki nafas kesalehan, selain menyimpan energi keilmuan untuk disumbangkan bagi peradaban tinggi umat manusia. Wallahu a'lam bish-shawab.

Thobib Al-Asyhar (Kasubdit Kelembagaan dan Kerjasama Diktis, Dosen Psikologi Islam SKSG Universitas Indonesia)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua