Kolom

Larangan Nikah Beda Agama Halangi Kebebasan Beragama?

Eko Mardiono, S.Ag., M.Si (Penghulu Ahli Madya KUA Prambanan Kabupaten Sleman DIY)

Eko Mardiono, S.Ag., M.Si (Penghulu Ahli Madya KUA Prambanan Kabupaten Sleman DIY)

Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan pada 17 Juli 2023. SEMA ini dimaksudkan untuk menghindari disparitas Pengadilan dalam memutus perkara kawin beda agama.

Diterbitkannya SEMA Nomor 2 Tahun 2023 memiliki semangat fundamental untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum. Oleh karenanya, para hakim pun diharapkan berpedoman pada ketentuan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Aturan ini menekankan agar pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama.

Namun demikian, terbitnya SEMA Nomor 2 Tahun 2023 juga menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Nikah beda agama, kita tahu, banyak dilakukan di tanah air dan sering menjadi sorotan dan perhatian dengan berbagai latar dan motif yang mendasari. Ada yang setuju dan ada yang tidak, bahkan ada yang menyatakan SEMA tersebut menghambat pembangunan moderasi beragama.

Ada dua permasalahan krusial dalam bentuk pertanyaan umum. Pertama, betulkah SEMA Nomor 2 Tahun 2023 menghambat pembangunan moderasi beragama. Kedua, tidak tepatkah pedoman Mahkamah Agung bagi hakim supaya pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan kawin beda agama?

Nilai Moderasi Beragama
Kementerian Agama Republik Indonesia mempunyai program pembangunan moderasi beragama. Pada esensinya, menurut penulis, salah satu pesan dasar moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang dianut.

Salah satu indikator moderasi beragama adalah toleransi antarumat beragama. Pada titik ini, SEMA Nomor 2 Tahun 2023 pun tidak menghambat program moderasi beragama dan kebebasan beragama. SEMA Nomor 2 Tahun 2023 justru memerintahkan supaya umat beragama melakukan perkawinan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya seperti yang diajarkan oleh setiap agama.

Islam memerintahkan umatnya melangsungkan perkawinan dengan sesama Islam sebagaimana termaktub dalamkitab sucinya: “Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu, dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman, sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (QS al-Baqarah: 221).

Keputusan Majelis Ulama Indonesia Nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 Tanggal 28 Juli 2005 dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 40 (c) dan Pasal 44 pun sejalan dengan afirmasi Al Qur'an tersebut, dengan menetapkan bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.

Senapas dengan pandangan tersebut, Agama Kristen juga melarang perkawinan beda agama sebagaimana tertera dalam kitab sucinya: “Perkawinan beda agama menurut agama Kristen adalah tidak dikehendaki dalam Perjanjian Lama (PL) karena khawatir kepercayaan kepada Allah Israel akan dipengaruhi ibadah asing dari pasangan yang tidak seiman” (Ezr. 9-10; Neh. 13:23-29; Mal. 2:10).

Demikian juga larangan Agama Katholik dalam konteks tersebut. Menurut agama Katholik, perkawinan adalah sebuah sakramen atau sesuatu yang kudus dan suci. Salah satu halangan tercapainya tujuan perkawinan adalah adanya perbedaan agama antara suami istri (Kanon 1086).

Apabila kedua calon suami istri menyepakati melakukan perkawinan menurut satu agama tertentu, agama Islam misalnya, maka pasangan yang beragama selain Islam secara otomatis masuk Islam karena di dalam perkawinannya terdapat bacaan syahadat masuk Islam. Begitu juga jika perkawinannya dilakukan menurut agama Katholik, maka pasangan yang beragama selain Katholik pun secara otomatis masuk agama Katholik karena menurut agama Katholik perkawinan adalah sebuah sakramen, sesuatu yang kudus dan suci. Apabila perkawinannya dilakukan menurut agama Kristen, maka salah satu pasangan yang bukan beragama Kristen juga secara otomatis masuk agama Kristen karena perkawinannya diteguhkan dan diberkati secara Kristiani.

Dengan demikian, SEMA Nomor 2 Tahun 2023 yang memberi pedoman supaya perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan tidak bertentangan dengan moderasi beragama karena hal itu sudah menjadi ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan hukum semua agama.

Tegasnya, putusan SEMA Nomor 2 Tahun 2023 supaya Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan kawin beda agama dapat diterima karena semua agama melarang perkawinan beda agama. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 8 (f) pun melarang perkawinan antara dua orang yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin, padahal semua agama melarang kawin beda agama.

Prasyarat Ketundukan Diri
Apabila ada perkawinan beda agama, maka salah satu pihak harus menundukkan diri pada agama pasangannya. Mahkamah Agung telah memberikan penjelasan, perkawinan beda agama tidak diakui oleh negara dan tidak dapat dicatatkan. Apabila perkawinan tersebut dilaksanakan berdasarkan agama salah satu pasangan dan pasangan yang lain menundukkan diri kepada agama pasangannya, maka perkawinan tersebut dapat dicatatkan (Surat Mahkamah Agung Nomor 231/PAN/HK.05/1/2019 tanggal 30 Januari 2019).

Salah satu syarat kawin beda agama adalah salah satu pasangan menundukkan diri kepada agama pasangannya. Maksud menundukkan diri di sini adalah berpindah agama ke agama pasangannya. Apabila pasangan suami istri tersebut melaporkan perkawinannya ke Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), seharusnya Dukcapil menyaratkan suami atau istri yang bersangkutan mengganti agama dalam KTP dan administrasi kependudukannya karena sudah berpindah agama.

Apabila perkawinan beda agama itu diajukan permohonan pencatatan perkawinan ke Pengadilan, sudah semestinya Pengadilan menolak karena perkawinannya tidak sah sebab semua agama melarang kawin beda agama. Jelas, sahnya perkawinan harus dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.

Afirmasi SEMA Nomor 2 Tahun 2023 supaya Pengadilan menolak permohonan pencatatan perkawinan beda agama dapat diterima karena perkawinannya tidak sah sebab agama melarang perkawinan beda agama. Kantor Dukcapil, saat menerima laporan pendaftaran perkawinan, harus menyaratkan agama dalam KTP dan administrasi kependudukan serta persyaratan perkawinan diganti agama sesuai agama yang digunakan saat pelaksanaan perkawinan karena sesungguhnya calon pasangan yang bersangkutan sudah berpindah agama.

Berdasarkan narasi dan analisis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa SEMA Nomor 2 Tahun 2023 tidak menghambat pembangunan moderasi beragama, utamanya dalam konteks kebebasan beragama, karena semuanya dikembalikan kepada pilihan sendiri dan kerelaan pasangan yang bersangkutan.

Eko Mardiono, S.Ag., M.Si (Penghulu Ahli Madya KUA Prambanan Kabupaten Sleman DIY) Artikel ini sebelumnya diedit oleh Saiful Maarif (Asesor SDM Aparatur Kemenag, Kasubtim Kesiswaan pada Subdit PAUD Direktorat PAI Ditjen Pendidikan Islam)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua