Kolom

Memaknai Mudik Lebaran dan Merayakan Perbedaan

Imam Safe’I (Karo AUPK UIN SGD Bandung)

Imam Safe’I (Karo AUPK UIN SGD Bandung)

Karena kita sama, kita harus bersama.
Karena kita bersama, kita harus sama-sama berkorban dan saling menghargai.
Karena kita sama-sama berkorban dan saling menghargai,
kebersamaan kita menjadi bermakna. (I’m4M Save‘I)

Pada setiap perayaan lebaran selalu ada inspirasi dan isu menarik untuk bisa didiskusikan. Inspirasi bisa muncul ketika kita mampu mengungkap fenomena dari setiap peristiwa. Banyak dari sisi-sisi peristiwa yang bisa kita saksikan namun orang lain tidak mengetahuinya. Demikian pula sebaliknya. Kalau kita keras dengan pendapat yang kita yakini dan tidak menghargai pendapat orang lain, dipastikan ini adalah awal terjadinya benturan.

Di sinilah pentingnya ditanamkan rasa cara menghargai perbedaan. Termasuk dalam konteks Hari Raya Lebaran yang di dalamnya ada unsur tradisi, budaya, dan pelaksanaan kegiatan keagamaan. Berbicara tradisi, budaya dan pemahaman dan pelaksanaan kegiatan keberagamaan tidak bisa dilepaskan dari unsur keberagaman. Oleh karena itu penting kita mengetahui metodologi untuk memahami makna dari pelbagai peristiwa, termasuk yang terkait dengan peristiwa lebaran.

Menafsiri fenomena bisa dengan dua pendekatan, yaitu dengan perspektif etic dan perspektif emic. Perspektif etic adalah makna yang ditangkap oleh orang yang berada di luar (outsider) sedangkan perspektif emic adalah makna sesungguhnya yang dipahami dan dirasakan oleh pelakunya (insider). Makna ini bisa diungkap dengan benar ketika kita sudah melakukan triangulasi (check, recheck, dan crosscheck).

Terkait dengan fenomena mudik/pulang kampung dan perayaan lebaran, maknanya bisa beragam di setiap daerah dan komunitas dan metodolgi penetapan waktunya juga berbeda-beda. Sebagaimana kita ketahui fenomena adalah situasi sosial yang terjadi karena pertautan pengaruh pelbagai variabel yaitu pelaku/actor, kegiatan/action, tempat, dan waktu.

Memaknai Esensi Manusia
Dalam Keratabasa Bahasa Jawa, ada 3 istilah yang terkait dengan sebutan manusia, (1) wong, (2) menungso, dan (3) tiyang. Wong istilah umum yang terkait dengan predikat/sebutan keumuman manusia. Ada wong lanang, wong wadon, wong edan, wong jowo, dan lain-lain.

Menungso menurut keratabahasa berarti menus-menus ra rumongso. Dalam hal ini, manusia hanya mengagungkan fisik yang tidak pernah menyadari asal, kedudukan, dan tugas sebagai hamba Tuhan.

Tiyang menurut keratabahasa meniti eyang/Yang. Posisi ini adalah manusia yang menyadari diri sebagai hamba yang harus menjaga hubungan dengan sesama. Mereka terus menghargai leluhur (meniti para eyang-eyang atau nenek moyang) dan berusaha mengagungkan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Agung, dan semua yang menjadi kebesaran Tuhan.

Oleh karena itu, kembali ke esensi kemanusiaan adalah keniscayaan. Kita perlu menyadari sepenuhnya sebagai hamba yang harus menjaga hubungan dengan sesama dan juga dengan Tuhan Yang Maha Esa. Bersamaan dengan momentum Idulfitri, sangat tepat kita mudik, pulang kampung, silaturahmi menyambung kembali dan meniti eyang-eyang (leluhur kita) dan sekaligus mengagungkan kebesaran Yang Maha Pengasih dan Penyayang yang dibuktikan dengan kecintaan kepada sesama.

Mudik dan Lebaran
Mudik atau pulang kampung dalam makna denotatif adalah kegiatan pulang ke daerah asal masing-masing. Tetapi fenomena ini memiliki juga makna konotatif yang memiliki pesan simbolik bahwa manusia, siapapun dia memiliki kerinduan akan asalnya. Secara fisik, manusia yang berasal dari tanah akan rindu kembali ke tanah, manusia yang berasal dari Tuhan akan rindu kembali kepada Tuhannya, dan manusia yang berasal dari kampung juga merindukan kampung halamannya.

Sedangkan Lebaran bisa diartikan lebar (luas) atau penghabisan (pungkasan). Lebaran dikaitkan dengan perayaan Idulfitri bisa diartikan lebar/luas. Maknanya, orang yang telah menyelesaikan ibadah Ramadan harus mampu membuka dada yang lebar/luas untuk nasehat/proposal perbaikan dan juga memaafkan semua (habis-habisan) kekhilafan orang lain.

Lebaran berarti pungkasan atau habis-habisan memiliki makna kita yang telah rampung melaksanakan ibadah puasa dan bertemu di hari Idulfitri (lebaran) harus mampu dan betul-betul bisa membuang jauh-jauh rasa dendam dan kebencian kepada sesama. Sekali lagi kalau kita ingin makna sesungguhnya kita bertanya kepada para pelakunya.

Mudik dan lebaran merupakan dua aktivitas yang saling terkait dan tidak bisa dipisahkan. Kegiatan mudik yang dibarengkan dengan kegiatan lebaran tentu saling memberikan makna yang saling menguatkan. Momentum yang sangat ditunggu-tunggu dan dirindukan setiap tahun ini selalu menjadi peristiwa menarik untuk dibincangkan. Setiap tahun, selalu ada hal-hal yang menarik perhatian untuk didiskusikan. Termasuk yang terjadi pada tahun ini karena penetapan awal Bulan Syawal terjadi perbedaan.

Merayakan Perbedaan
Perbedaan penetapan awal Bulan Syawal tidak hanya terjadi pada tahun ini saja. Beberapa tahun sebelumnya juga pernah terjadi dan bahkan setiap tahun juga ada yang berbeda. Kalau kita mengamati dengan cermat, setiap terjadi perbedaan itu juga sangat beragam variabelnya. Perbedaan tidak hanya antar organisasi masyarakat (ormas), ormas dan pemerintah, tetapi terkadang dalam satu ormas-pun juga terjadi perbedaan. Bisa terang-terangan perbedaan itu dinyatakan dan ada pula yang diam-diam dilaksanakan.

Sejauh ini pengalaman yang kita rasakan, umat Islam di Indonesia ini sudah sangat dewasa merespon perbedaan. Kita satu negara terkadang beda suku dan bangsa. Kita satu suku dan bangsa terkadang beda agama. Kita satu agama terkadang beda paham. Kita satu paham terkadang beda pemahaman, Kita satu pemahaman terkadang beda pengamalan. Kita sama pengamalan tetapi juga pasti beda keikhlasan. Kalau dicari bedanya, pasti tidak akan ada habisnya dan semua kita pasti memiliki perbedaan.

Oleh karena itu, mampu merayakan perbedaan merupakan anugerah yang luar biasa yang akan mendatangkan kebahagiaan. Termasuk perayaan lebaran Idulfitri tahun ini yang penetapan awal bulan Syawal-nya terjadi perbedaan, maka ini tidak perlu dibesar-besarkan bahkan menjadi perselisihan yang bisa mengarah pada perpecahan.

Anugerah keberagaman termasuk dalam keberagamaan yang telah diberikan kepada bangsa ini harus selalu kita syukuri dengan cara sama-sama menjaga dan merawatnya. Ini adalah bagian dari bukti cinta kita kepada Tanah Air Indonesia. Oleh karena itu, arahan Gus Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas melalui Surat Edaran penyelenggaraan Hari Raya Idulfitri 1444 H/2023 M yang mengimbau umat Islam tetap menjaga ukhuwah Islamiyah dalam menyikapi perbedaan awal Syawal Tahun 1444 H ini harus menjadi pijakan kita bersama.

Perayaan Idulfitri 1 Syawal hanya satu dari sekian banyak peristiwa dan kegiatan keagamaan. Seruan Gusmen ini sangat pennting untuk kita pedomani, khususnya bagi ASN Kementerian Agama yang harus mengawal dan memberi teladan kepada masyarakat untuk menjunjung tinggi Ukhuwah Islamiyah. Karena kita sama kita harus bersama. Karena bersama kita harus sama-sama berkorban dan menghargai. Karena kita sama-sama berkorban dan menghargai, kebersamaan kita menjadi bermakna.

Selamat Idulfitri 1444 H, Mohon Maaf Lahir dan Batin

Imam Safe’I (Karo AUPK UIN SGD Bandung)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua