Kolom

Memoderasi Tradisi Membangunkan Sahur

Hayatul Islam

Hayatul Islam

Ramadan tidak hanya hadir sebagai bulan suci nan penuh berkah, akan tetapi juga melahirkan banyak tradisi yang memberikan banyak kesan mendalam dan amat dirindukan pada bulan-bulan setelahnya.

Salah satu di antaranya ialah tradisi membangunkan warga untuk santap sahur. Hal ini biasanya dilakukan sekelompok anak muda dan lazim ditemukan nyaris di seluruh wilayah Indonesia.

Di Lampung, misalnya, dikenal tradisi klote'an atau sejumlah sebutan lainnya. Di Gorontalo, ada koko'o, di Morowaliz Sulawesi Tengah ada denga-dengo, kemudian di Banjar, Kalimantan Selatan disebut bagrakan.

Tidak kalah menarik, di DKI Jakarta, kebiasaan menabuh bebunyian pada waktu dini hari itu disebut ngarak beduk. Di wilayah Pantura Jawa, terutama di Cirebon dan sekitarnya, dikenal tradisi obrok-burok, atau ada pula sebutan dekdukan di Semarang dan seputar Jawa Tengah. Juga, banyak lagi sebutan-sebutan unik di sejumlah daerah lainnya.

Zaman boleh sudah serbacanggih. Kecepatan internet yang mampu mengantarkan informasi hingga ke genggaman tangan setiap orang rupanya belum bisa menggantikan tradisi unik yang dibangun berdasarkan keguyuban, kepedulian, serta kehangatan kekeluargaan di tengah bulan Ramadan tersebut.

Mendunia
Tidak cuma di Indonesia, ternyata inisiatif yang tergerak dan dirawat kultur warga untuk saling peduli saat Ramadan itu juga berlaku di berbagai belahan dunia. Dalam Rihlah Ibnu Bathutah (1829), petualang bernama lengkap Muhammad Bin Abdullah Bin Bathuthah menyebutkan, meski tidak dijumpai dalam riwayat zaman Nabi Muhammad Saw, namun, tradisi serupa sudah ramai sejak abad pertengahan.

Menurut Ibnu Bathutah, "Jika datang waktu sahur, muazin mengumumkan datangnya waktu sahur dari atas shauma'ah yang berada di sudut timur Masjidil Haram. Ia berdiri sembari mengingatkan penduduk Mekkah akan datangnya waktu sahur."

Begitu pula di Kuwait dan Mesir, tradisi membangunkan sahur dikatakan mulai semarak era Dinasti Abbasiyah. Selain seruan muazin, ada juga tradisi menggunakan dentum meriam seperti yang pernah terjadi pada masa kekhalifahan Mamluk pada 865 Hijriah.

Memasuki zaman modern, Arab Saudi, Kuwait, Mesir, Turki, dan sejumlah negara Muslim lainnya masih mengadopsi tradisi serupa. Bahkan, hal serupa ditemukan di India, yang notabene Islam bukan merupakan agama yang dianut mayoritas penduduk di dalamnya.

Di India, tradisi itu dilakukan seorang seheriwalas atau zohridaars. Mereka berkeliling di sekitar rumah rumah warga dengan melantunkan pujian kepada Allah Swt dan Nabi Muhammad Saw. Pada pukul 02.30 seheriwalas mulai berkeliling lengkap dengan membawa tongkat tuanya.

Memoderasi Tradisi
Meskipun begitu, tradisi luhur dan unik ini tidak sepenuhnya nol potensi penyalahgunaan hingga mengakibatkan kerugian bagi sebagian kelompok masyarakat lainnya. Terlebih, di dalam negara dengan komposisi penduduk yang multietnis, multiagama, dan multikultural, seperti di Indonesia.

Tradisi membangunkan sahur, di beberapa kasus justru disambut keluhan sebagian masyarakat, bukan sekadar oleh nonmuslim, tetapi juga oleh sesama Muslim karena dilaksanakan tanpa menimbang tujuan mulia yang mulanya menjadi dasar dari tradisi tersebut. Misalnya, menyalakan atau memainkan musik dengan volume terlampau keras, membangunkan sahur terlalu cepat dan tidak sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat, atau pun tradisi berkeliling itu disertai dengan teriakan-teriakan yang mengganggu dan meresahkan.

Bijaknya, tradisi membangunkan sahur juga tetap berpakem pada Surat Edaran (SE) Menteri Agama (Menag) Nomor 05 Tahun 2022 yang mengatur segala hal ihwal terkait pengeras suara rumah ibadah. Sedangkan tetek bengek lainnya, tetap berpegang pada nilai-nilai toleransi yang menjadi asas utama dalam prinsip kebangsaaan Indonesia.

Sayangnya, perilaku-perilaku yang tidak semestinya itu terkadang bersembunyi di balik dalih kemuliaan bulan Ramadan. Padahal, justru lewat Ramadan lah, Islam mengajarkan umatnya untuk berlaku moderat dan penuh tenggang rasa.

Ramadan memiliki banyak sebutan. Satu di antara nama yang masih kerap dilupakan adalah memahami Bukan Suci ini sebagai syahrul ukhuwah atau bulan persaudaraan. Di bulan ini, Allah Swt menganjurkan kaum Muslimin untuk lebih mencintai dan peduli terhadap saudara-saudaranya. Rasulullah Saw juga mengajarkan agar manusia memanfaatkan Ramadan untuk ringan bersedekah, memberi makanan bagi orang yang berpuasa, menunaikan zakat, membuang iri dengki, serta menghapus sifat-sifat dan tindakan buruk yang berpotensi merugikan manusia lainnya.

Alhasil, sukarela membangunkan sahur dengan tradisi-tradisi unik itu sudah barang tentu harus tetap dirawat dan dipertahankan sebagai bagian dari kekayaan khazanah budaya Indonesia. Salah satu upaya menjaganya adalah dengan membuang perilaku-perilaku yang bertolak belakang dengan tujuan awal yang justru berpeluang mengundang sebagian orang menjadi antipati.

Di sisi lain, tradisi membangunkan sahur yang unik ini bisa juga menjadi inspirasi dalam kerja-kerja penyampaian informasi lainnya. Sebuah informasi harus dihimpun, diramu, lalu disajikan berdasarkan pertimbangan kultur masyarakat Indonesia yang luhur, beragam, dan penuh tenggang rasa.*

Hayatul Islam, Ketua Forum Humas (Forhumas) Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua