Kolom

Perlu SKB Menteri Atur “Haji Non Kuota”

Abdul Basir, Analis Kebijakan Ahli Muda – Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah

Abdul Basir, Analis Kebijakan Ahli Muda – Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah

Kuota haji Indonesia diatur di dalam UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Di dalam Pasal 8 yang terdiri dari enam ayat menjelaskan tentang keberangkatan jemaah haji berdasarkan kuota dan pembagian kuota. Secara sederhana dijelaskan bahwa jemaah haji diberangkatkan berdasarkan kuota haji Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri Agama.

Lebih lanjut diterangkan di dalam ayat (3) bahwa kuota haji Indonesia terdiri atas kuota haji reguler dan haji khusus. Kuota tersebut diperuntukkan bagi jemaah haji dan petugas haji sesuai penjelasan pada ayat (4) an ayat (5). Sedangkan pada ayat terakhir disebutkan bahwa penetapan kuota dilakukan dengan prinsip transparan dan proporsional.

Berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 189 tahun 2023 tentang Kuota Haji Indonesia Tahun 1444H/2023M, disebutkan bahwa jumlah jemaah haji Indonesia sebanyak 221.000 orang. Jumlah tersebut dibagi untuk jemaah haji reguler sebanyak 203.320 orang. Sedangkan kuota haji khusus sesuai ketentuan di dalam UU Nomor 8 tahun 2019 mendapatkan 8% yaitu sebanyak 17.680 orang.

Dalam perjalanan operasional haji, pemerintah Indonesia mendapatkan tambahan kuota sebanyak 8.000 jemaah. Pembagian kuotanya diatur di dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 467 Tahun 2023 tentang Penetapan Kuota Haji Tambahan 1444H/2023M. Dalam KMA tersebut, kuota tambahan terdiri atas 7.360 kuota haji reguler dan 640 kuota haji khusus. Sehingga, total kuota haji tahun 1444H adalah 229.000 Jemaah.

Di luar itu, banyak masyarakat Indonesia yang melaksanakan ibadah haji melalui jalur haji mujamalah. Visa haji mujamalah diberikan kepada WNI yang menerima undangan dari Pemerintah Arab Saudi. Berdasarkan informasi dari salah satu pimpinan Asosiasi PPIU-PIHK, jumlah Jemaah haji mujamalah dari Indonesia pada tahun 1444H mencapai sekitar enam ribu Jemaah.

Banyak masyarakat yang tidak bisa membedakan haji mujamalah dengan haji khusus. Lebih mudahnya haji khusus merupakan haji dengan kuota pemerintah. Sedangkan haji mujamalah bisa disebut dengan haji non kuota. Terkadang masyarakat menyebut haji mujamalah dengan haji furada atau haji mandiri. Secara regulasi, prosedur haji mujamalah harus diberangkatkan oleh PIHK dan PIHK wajib melaporkan keberangkatan haji mujamalah kepada Menteri Agama.

Dewasa ini banyak beredar informasi dari berbagai platform media sosial penawaran haji menggunakan visa yang bukan visa haji. Banyak penawaran berhaji tanpa antre dengan visa ziarah multiple (kunjungan berulang), visa umal (pekerja), visa turis, visa umrah, dan jenis visa lainnya. Sebut saja haji dengan cara-cara tersebut dengan istilah haji non prosedural. Bahkan banyak pihak menyebut dengan istilah “haji non kuota”.

Nyatanya banyak masyarakat yang memilih menggunakan berbagai jenis visa tersebut untuk berhaji. Haji non prosedural bisa jadi merupakan sebuah solusi bagi masyarakat yang tidak mau menunggu antrean haji yang cukup lama. Namun masyarakat juga harus mempertimbangkan berbagai faktor. Masyarakat harus memahami regulasi, mengetahui hak-haknya sebagai konsumen, dan wajib juga mengutamakan sisi pelindungan sebagai WNI di luar negeri. Berbagai faktor tersebut harus dipertimbangkan masyarakat secara matang sebelum memilih haji non prosedural.

Keberadaan para Jemaah haji non prosedural menjadi persoalan dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 1444H. Bukan hanya jumlahnya yang mencapai lebih dari 10.000 jemaah (berdasarkan informasi dari salah satu owner PIHK - meskipun tidak ditemukan data yang jelas), namun mereka juga menimbulkan masalah bagi Jemaah haji lainnya. Salah satu media nasional Indonesia menuliskan bahwa ditemukan Jemaah haji non prosedural membuat geger karena menggunakan fasilitas Jemaah haji reguler saat pelaksanaan wukuf di Arafah.

Di dalam artikel tersebut dituliskan, Rombongan jemaah haji sebanyak enam bus membuat geger tenda-tenda jemaah haji Indonesia menjelang wukuf di Arafah, Makkah, Arab Saudi, Senin, 26 Juni 2023. Mereka diduga memalsukan kartu maktab. Berdasarkan laporan yang diterima, para jemaah ini datang dari berbagai daerah, seperti Jakarta juga Sulawesi. Sebelumnya, ada 63 orang sudah diminta keluar dari Maktab atau tenda oleh pemilik Maktab. Belum diketahui asal-usul jemaah yang tiba-tiba melakukan sabotase tenda jemaah haji reguler dengan kuota resmi pemerintah. Diduga, mereka berhaji tidak dengan kuota resmi dan visa haji ke Arab Saudi tapi menggunakan visa ziarah atau turis. Sebagaimana dimuat di dalam sebuh artikel yang ditulis oleh Dedy Priatmojo dan Lutfi Dwi Puji Astuti di VIVA.co.id pada hari Selasa, 27 Juni 2023 dengan judul: Rombongan Jemaah Haji Menggunakan Visa Ziarah Bikin Geger Arafah.

Perlu SKB Menteri

Regulasi penyelenggaraan ibadah haji tidak mengatur masyarakat yang menggunakan visa selain visa haji untuk berhaji. UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah hanya mengatur dua jenis haji, yaitu haji kuota pemerintah melalui haji regular dan haji khusus, serta haji non kuota melalui haji mujamalah. Sementara peraturan perundang-undangan turunannya tidak ditemukan pengaturan haji dengan visa ziarah dan visa lainnya, sehingga dapat disebut dengan istilah haji non prosedural.

Haji non prosedural perlu diatur demi pelindungan kepada masyarakat. Minat masyarakat sangat tinggi untuk berhaji, apapun caranya. Mereka yang tidak melek hukum dan tidak memiliki pengalaman bepergian ke luar negeri sangat rawan terbuai penawaran “haji murah tanpa antre”. Pemerintah harus hadir memberikan rasa aman kepada masyarakat yang akan berhaji. Kalau regulasi yang telah ada tidak menjangkau persoalan tersebut, maka dibutuhkan upaya tertentu untuk mengisi kekosongan regulasi.

Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri dipandang sebagai salah satu alternatif yang dapat ditempuh guna mengisi kekosongan regulasi tersebut. Menurut Bega Ragawino dalam bukunya Hukum Administrasi Negara (hal.42) hakikat dan kepastian hukum dalam menentukan adanya inisiatif suatu pemerintah adalah memastikan dalam tindakan tersebut adanya suatu prinsip legalitas hukum. Tentunya pelaksanaan tersebut terdapat suatu akibat yang secara makna mengarah pada suatu kepastian hukum. Dengan demikian, tindakan kebebasan pemerintah tersebut sangat dimungkinkan oleh hukum dan memenuhi unsur dari diskresi pemerintah:

1. Dilakukan untuk kepentingan umum/ kesejahteraan umum.
2. Dilakukan atas inisiatif administrasi Negara itu sendiri.
3. Untuk menyelesaikan masalah konkrit dengan cepat yang timbul secara tiba-tiba.
4. Tindakan itu dimungkinkan oleh hukum.

SKB Menteri dapat dianggap sebagai sebuah diskresi atas kekosongan regulasi. Menteri Agama dapat membuat keputusan bersama menteri lain yang berkaitan dengan keberangkatan masyarakat ke Arab Saudi yang melaksanakan haji non prosedural. Kementerian yang berkaitan erat dengan keberangkatan haji non prosedural adalah Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM. Kementerian Luar Negeri memiliki kewenangan dalam perlindungan WNI di luar negeri. Kementerian Hukum dan HAM melalui Direktorat Jenderal Imigrasi mengatur keberangkatan WNI ke luar negeri.

SKB Menteri antara Menteri Agama, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Hukum dan HAM dapat mengatur keberangkatan haji non prosedural sesuai dengan kewenangan masing-masing kementerian. Pun sebaliknya, SKB Menteri tersebut dapat juga melarang keberangkatan masyarakat yang akan beribadah haji menggunakan visa yang bukan visa haji. Tujuan utama dari SKB Menteri mampu menekan terjadinya penipuan masyarakat yang akan beribadah haji. Kalau pun SKB Menteri mengatur keberangkatannya, maka keberadaan SKB Menteri memberikan jaminan agar masyarakat mendapatkan pelayanan dan pelindungan oleh pihak yang memberangkatkannya.

Abdul Basir, Analis Kebijakan Ahli Muda – Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua