Kolom

Plagiasi dan Mentalitas Inlander di Dunia Kampus

Dr. Thobib Al Asyhar, M.Si. (Dosen Kajian Timteng dan Islam SKSG Universitas Indonesia, Kasubdit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, DIKTIS Kemenag)

Dr. Thobib Al Asyhar, M.Si. (Dosen Kajian Timteng dan Islam SKSG Universitas Indonesia, Kasubdit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, DIKTIS Kemenag)

Guyonan anak sekolah: "posisi menentukan prestasi", ternyata bukan isapan jempol di dunia pendidikan kita. Tempat duduk bagus untuk "nyontek" saat ujian di kelas dapat mempengaruhi nilai yang akan diperoleh. Berbagai cara dilakukan orang-orang saat ujian. Ada yang buka buku terang-terangan. Ada yang membuat catatan di kertas kecil, lalu diumpetin di saku. Ada pula yang menggelikan, membuat catatan di kertas yang dikasih karet agar bisa tarik ulur masuk lengan baju saat pengawas lewat.

Bagaimana di dunia kampus? Faktanya tidak jauh berbeda. Bahkan lebih parah lagi. Selain "modus" menyontek saat ujian di kelas, juga masih marak praktik plagiasi karya ilmiah yang memalukan. Sekian banyak oknum dosen, guru besar, bahkan pejabat kampus, termasuk rektor yang pada akhirnya "tumbang" gegara memelihara mental inlander yang tidak terpuji itu.

Plagiasi atau menjiplak karya akademik orang lain adalah kejahatan intelektual. Dalam Kep. Dirjen Pendidikan Islam No. 7142 Tahun 2017 tentang Pencegahan Plagiarisme di PTKI, bahwa plagiarisme adalah perbuatan sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai.

Bagaimana dengan beban dosanya? Sama saja dengan mencuri barang-barang sacara fisik. Bahkan bisa disebut lebih buruk lagi, karena plagiarisme dilakukan oleh mereka yang mengaku intelektual, yang nota bene secara keilmuan mereka mengetahui, namun mengabaikan nilai-nilai mulianya dengan menjiplak karya ilmiah orang lain dan diakui sebagai karyanya.

Seorang intelektual yang mencuri karya akademik adalah orang dengan nir-integritas (tidak memiliki integritas). Perilaku menjiplak yang dikemas "cantik" sehingga tidak nampak plagiasinya saja tetap dilarang, apalagi nyata-nyata menyadur karya orang lain seutuh-utuhnya atau plek ketiplek. Yang berbeda hanya nama penulis asli diganti dengan nama sang plagiator.

Lalu apa yang dapat dibanggakan dari tulisan seperti itu? Nothing!

Ironisnya lagi, saat semua dosen dituntut membuat artikel jurnal terindeks nasional maupun internasional untuk kebutuhan kenaikan angkat kredit, praktik plagiasi justru semakin menjadi-jadi. Apalagi di era digital yang makin canggih dan mudah. Praktik "copy paste" dilakukan hanya dengan hitungan detik. Tentu ini sangat menciderai dunia akademik yang seharusnya menjunjung tinggi kejujuran dan integritas ilmiah.

Apalah jadinya jika perilaku plagiarisme itu dibiarkan tanpa hukuman? Yang pasti, ilmu pengetahuan tidak berkembang. Teori-teori yang dibuat dengan cucuran keringat dan kepedihan tidak dihargai. Yang lebih parah lagi, mahkota intelektual berupa kejujuran akan punah dan pelan tapi pasti akan merobohkan peradaban manusia yang selama ini paling dibanggakan.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah diri kita melakukan plagiasi karya ilmiah ini? Setidaknya ada beberapa langkah yang perlu menjadi catatan agar kita terhindar dari perilaku curang tersebut, di antaranya:

Pertama, pastikan bahwa membuat karya akademik adalah tugas suci. Akal manusia sebagai anugerah tertinggi dari Tuhan harus kita letakkan pada posisi mulia. Sehingga, jangan khianati kemampuan akal hanya dengan "copy paste" pemikiran orang lain yang didapatkan dari proses berpikir panjang, mendalam, dan rumit. Betapa rendahnya akal manusia yang hanya dimanfaatkan untuk "ngakali" orang lain tanpa mempedulikan nilai-nilai moral.

Kedua, pahami bahwa tugas-tugas akademik itu bukan beban, tetapi kebutuhan untuk menyalurkan potensi. Jika seorang akademisi menganggap karya ilmiah itu sebagai beban, apalagi hanya untuk kepentingan angka kredit semata tanpa ada keinginan mendeliver pemikiran-pemikiran inovatif, maka waktunya ambil cermin besar untuk melihat apakah kita pantas di posisi itu?

Ketiga, berikan ruang yang cukup agar akal pikiran kita mampu berinovasi dan memiliki cadangan kemampuan untuk mengeksplorasi untuk mengembangkan gagasan. Albert Einstein pernah bilang, otak manusia yang paling hebat sekalipun hanya mampu memanfaatkan kemampuan otaknya maksimal 10%. Kalau kita melakukan plagiasi, lalu berapa persen otak yang kita gunakan?

Keempat, bangunlah persepsi (anggapan) bahwa berpikir, menulis, dan mempublikasikan karya sebagai tugas ilmuan itu pekerjaan yang menyenangkan. Selain itu juga memiliki poin pahala lebih tinggi dari ritualitas (ibadah). Dalam sebuah hadis nabi disebutkan: Keutamaan seorang alim (ilmuwan) dari seorang 'abid (ahli ibadah) seperti keutamaanku dari orang yang paling rendah di antara kalian (HR. Tirmizi).

Berdasarkan ulasan tersebut, sudah selayaknya praktik plagiasi wajib dihindari oleh para akademisi di kampus. Secara ekstrem, hukum plagiasi adalah haram mutlak karena tidak memiliki referensi moral. Secaoa spirtual, plagiasi akan menghikangkan nilai keberkahan dari ilmu itu sendiri.

Bagaimana, apakah masih mau menjiplak karya ilmiah orang lain? Wallahu a'lam bish-shawab.

Dr. Thobib Al Asyhar, M.Si. (Dosen Kajian Timteng dan Islam SKSG Universitas Indonesia, Kasubdit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, DIKTIS Kemenag)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua