Kolom

Umrah Non Prosedural, Pelanggaran Regulasi dan Ancaman Bisnis

Abdul Basir (Analis Kebijakan Ahli Muda – DJPHU)

Abdul Basir (Analis Kebijakan Ahli Muda – DJPHU)

Penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah Indonesia pada tahun 1443 H/2022 M berjalan dengan baik. Sistem Kompeturisasi Pengelolaan Terpadu Umrah dan Haji Khusus (Siskopatuh), mencatat ada 1.402.629 jemaah umrah Indonesia pada 2022. Ini tentu bukan jumlah yang sedikit, bahkan merupakan akumulasi terbanyak dari tahun-tahun sebelumnya.

Sejak dibuka kembali, pasca Covid-19 pada Januari 2022, ada sejumlah dinamika dan permasalahan dalam penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah. Permasalahan itu antara lain berkenaan ketidakpatuhan pelaku usaha terhadap regulasi. Misalnya, memberangkatkan jemaah umrah tanpa dilengkapi id card Siskopatuh, atau PPIU melakukan pemalsuan id card Siskopatuh. Ada juga masalah jemaah gagal berangkat, gagal pulang, wanprestasi pelayanan di Arab Saudi, dan jemaah sakit/meninggal di Arab Saudi atau negara transit yang terkadang tidak dilengkapi dengan asuransi. Bahkan, ditemukan juga permasalahan yang terkait keimigrasian di negara transit.

Masalah berikutnya, kerap ditemukan pihak yang tidak memiliki izin sebagai Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) menawarkan dan memberangkatkan jemaah umrah. Kegiatan tersebut bukan hanya mengancam bisnis perjalanan ibadah umrah, namun melanggar regulasi pemerintah. Sering dijumpai di berbagai jenis media sosial, promosi umrah dengan iming-iming yang sangat menarik yang mengesampingkan unsur kenyamanan dan keamanan jemaah umrah. Misal umrah mandiri, umrah backpacker, umrah hemat 3 gratis 1, dan jenis lainnya. Mereka menawarkan biaya yang sangat murah tanpa memperhitungkan besarnya risiko melakukan perjalanan di luar negeri dan mungkin juga tidak mempertimbangkan faktor pelindungan Jemaah umrah.

Paket umrah yang diselenggarakan oleh pelaku usaha tanpa izin sebagai PPIU bisa disebut sebagai umrah non procedural. Sebab, nyatanya keberangkatan umrah itu tidak sesuai prosedur yang ditetapkan pemerintah.

Aktivitas umrah non prosedural itu sejatinya juga merupakan pelanggaran regulasi dengan sanksi pidana yang cukup berat. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah dalam Pasal 86 menjelaskan bahwa umrah dapat dilaksanakan secara perseorangan maupun berkelompok melalui PPIU. Pasal 115 juga melarang pihak yang tidak memiliki izin PPIU mengumpulkan dan/atau memberangkatkan jemaah umrah. Sementara para Pasal 117, dijelaskan larangan bagi pihak yang tidak memiliki izin PPIU untuk mengambil sebagian atau seluruh setoran jemaah Umrah. Larangan tersebut disertai dengan ancaman pidana penjara yang cukup berat dan pidana denda yang besar.

Faktanya masih banyak masyarakat dengan dalih tidak mengetahui regulasi, dengan sengaja memberangkatkan umrah dan tentu mengambil setoran biaya umrah, padahal mereka tidak memiliki izin sebagai PPIU. Kementerian Agama telah sejak lama memiliki program lima pasti umrah, sebagai bagian sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat agar lebih berhati-hati saat akan melaksanakan umrah.

Mencermati kondisi terkini dengan kembali maraknya umrah non prosedural yang diselenggarakan oleh pihak tidak berizin PPIU, Kementerian Agama perlu kembali menggemakan Program Lima Pasti. Bahkan perlu juga program tersebut disesuaikan dengan regulasi dan kondisi terbaru. Serta yang tidak kalah pentingnya aksi penindakan hukum bagi pelaku pelanggaran aturan.

Ancaman Pidana

Sesungguhnya penanganan masalah umrah selama ini terus berjalan sesuai dengan ketentuan. Kementerian Agama telah bekerja sama dengan Kepolisian di berbagai daerah dalam upaya penanganan masalah umrah. Direktorat Bina Umrah dan Haji Khusus berulang kali menuntaskan masalah umrah bersama Polda Metro Jaya, Polda Jawa Barat, Polda Jawa Tengah, Polda Nusa Tenggara Barat, dan kepolisian daerah lainnya. Sebagian di antaranya telah naik ke meja persidangan. Bahkan, sebagian juga telah diputus dengan hukuman penjara.

Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah melalui Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus pada 31 Juli 2023 telah mengirimkan surat edaran kepada seluruh Kepala Bidang Penyelenggaraan Haji dan Umrah se-Indonesia. Di dalam surat edaran tersebut terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan pelaku usaha umrah yang tidak berizin PPIU dan PIHK yang menjalankan usaha umrah dan haji.

Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah memerintahkan kepada Kanwil Provinsi agar:
1. melakukan pengawasan legalitas izin dan operasional PPIU dan PIHK sesuai dengan ketentuan di dalam PMA Nomor 5 Tahun 2021;
2. mengidentifikasi para biro perjalanan wisata maupun pihak lain yang tidak memiliki izin sebagai PPIU dan PIHK yang menawarkan umrah, haji khusus, dan haji mujamalah/furada yang tidak sesuai ketentuan (seperti umrah backpacker, haji “percepatan”, haji dengan visa selain visa haji, dan jenis lainnya);
3. melakukan upaya represif dengan menindak dan melaporkan pihak yang tidak berizin PPIU dan PIHK yang menawarkan umrah, haji khusus, dan haji mujamalah/furada yang tidak sesuai ketentuan kepada Kepolisian Daerah.

Secara teknis, edaran tersebut meminta agar Kanwil Kementerian Agama Provinsi melakukan pendataan kepada pihak yang tidak berizin PPIU dan menjalankan usaha umrah. Kanwil Kemenag juga diminta mendata pihak yang tidak berizin PIHK namun menjalankan usaha haji khusus. Berikutnya Kanwil perlu memberikan surat peringatan kepada para pihak yang telah teridentifikasi melanggar regulasi untuk menghentikan usahanya sampai dengan memiliki izin resmi dari Pemerintah. Bila dalam kurun waktu yang telah ditentukan para pihak yang melanggar tersebut tetap “bandel” dengan tidak menghentikan usahanya maka Kanwil wajib melaporkan kepada Kepolisian Daerah.

Kepolisian dapat menggunakan ancaman dalam Pasal 121, Pasal 122, dan Pasal 124 UU Nomor 8 Tahun 2019. Ancaman bagi pihak yang melanggar Pasal 114 yang tanpa hak bertindak sebagai PIHK dengan mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Haji Khusus, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak enam miliar rupiah, sesuai ketentuan di dalam Pasal 121.

Sedangkan ancaman pidana bagi pelanggaran Pasal 115 tercantum di dalam Pasal 122 berupa pidana kurungan paling lama enam tahun atau pidana denda enam milyar rupiah. Sedangkan pelanggaran Pasal 117 diancam dengan pidana delapan tahun atau pidana denda delapan milyar rupiah sebagaimana diatur di dalam Pasal 124.

Publik patut menunggu hasil akhir dari edaran tersebut. Pemerintah dalam waktu sekitar dua tahun ini telah cukup waktu melakukan sosialisasi dan pembinaan kepada pelaku usaha. Tahun ini sudah waktunya upaya represif dilakukan. Para pelaku pelanggaran sudah saatnya menerima ganjaran dari perbuatannya yang melanggar ketentuan. Karena faktanya aktivitas mereka mengancam pelaku usaha yang resmi berizin PPIU dan PIHK. Dan mereka juga jelas melakukan pelanggaran yang hukumannya tidak ringan.

Abdul Basir (Analis Kebijakan Ahli Muda – DJPHU)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua