Nasional

AICIS 2014 Deklarasikan Prakarsa Balipapan

Balikpapan (Pinmas) --- Ada yang menarik, dalam Konferensi Internasional Tahunan tentang Studi Islam Ke-14 (The 14 th Annual International Conference on Islamic Studies: AICIS) yang digelar di Balikpapan, 21 - 24 Nopember 2014 ini. Pasalnya, usai dibuka oleh Menag Lukman Hakim Saefuddin (LHS), Jum'at (21/11) malam, dilakukan penandatanganan sebuah piagam yang disebut dengan Prakarsa Balikpapan 2014.

Piagam itu ditandatangani oleh sejumlah tokoh, seperti Wagub Kaltim Mukmin Faisyal, Sekjen Nur Syam, Dirjen Pendis Kamaruddin Amin, Direktur Diktis Dede Rosyada, Tokoh Masyarakat Balikpapan KH Muh Anas Muchtar, Rektor UIN Al-Raniry Aceh Farid Wajdi, Rektor IAIN Samarinda Mukhamad Ilyasin, Ketua STAIN Al-Fatah Jayapura Hamid Idrus, dan termasuk Menag LHS sendiri. Dalam

Prakarsa itu tertulis: "Merangkai Mozaik Keberagaman Budaya, Suku, Ras dan Agama, sebagai pilar NKRI untuk meneguhkan Islam Indonesia sebagai kiblat keislaman dunia". Dengan pendatanganan Prakarsa ini, AICIS ke-14 ini diharapkan dapat menjadi tonggak kontribusi Islam Indonesia yang lebih besar, tidak hanya bagi Nusantara, namun juga untuk kebaikan dunia.

Sebelumnya, dalam sambutan pembukaan, Menag LHS di hadapan sekitar 2.000 audiens menyatakan bahwa Indonesia dan dunia, menanti peran Islam Indonesia yang mencerahkan. "Dinamika Masyarakat Indonesia dan tatanan global dengan segala problematikanya, sangat menanti peran para ilmuwan dan cendekiawan muslim sebagai pembawa misi Islam yang toleran dan mencerahkan peradaban, khas Indonesia," terang Menag.

Menag juga menyinggung bahwa peran agama sangat kecil dalam sejarah terjadinya konflik, kekerasan, dan tragedi berdarah. "Jika ada konflik, yang ditengarai sebagai konflik agama, pastilah bukan karena ajaran agama tertentu. Tetapi lebih karena latar kekuasaan, politik dan ekonomi sebagai pemicu," katanya.

Menag melihat ada beberapa isu dan tantangan krusial terkait multikulturalisme di Indonesia, antara lain: pertama, perlunya perhatian tentang posisi para penganut agama di luar 6 agama. Menurutnya, mereka ingin dan berhak diakomodir dalam asas dan prinsip kewarganegaraan di Negeri ini. Isu ini menguat seiring bergulirnya wacana tentang kolom agama di KTP.

Kedua, Negara berkewajiban menyikapi munculnya gerakan keagamaan baru yang akhir-akhir ini menunjukkan grafik peningkatan, seiring dengan era keterbukaan yang semakin menguat. Ketiga, masalah pendirian rumah ibadah yang kadangkala menimbulkan konflik. Menurut Menag, seharusnya pendirian ini tidak perlu memunculkan keresahan, jika terdapat kematangan beragama pada umat.

Keempat, kekerasan antarumat beragama kepada minoritas. Kelima, penafsiran agama yang sempit, literal dan konservatif, mengancam keberadaan kelompok keagamaan yang mempunyai tafsir berbeda. “Tafsir sempit mampu membutakan para penganutnya saat melakukan takfir dan bisa berujung pada aksi kekerasan kepada kelompok yang beda," urai Menag.

Menag juga menyinggung tentang gerakan bawah tanah yang dilakukan oleh para penganut paham radikal tentang jihad. "Jihad hanya ditafsirkan sebagai qital (perang). Padahal, jihad, makna generiknya adalah setiap usaha yang sungguh-sungguh untuk mencapai ridha Allah SWT," singgung Menag.

Meski demikian, Menag optimis, Islam di Indonesia mampu menjadi kekuatan pendorong demokrasi. Menurutnya, Islam di Indonesia compatible dangan demokrasi. Pengalaman dan perjalanan umat muslim di Indonesia, memberi harapan baru bagi tatanan perdamaian global. “Dunia berharap banyak pada Islam Indonesia sebagai model dan referensi dalam membangun demokrasi tanpa benturan dengan agama sebagai keyakinan hidup masyarakat," terang Menag.

Menag melihat, studi Islam sebagai disiplin keilmuan dengan misi dan daya tarik tersendiri, yang turut mewarnai kemajuan dunia pendidikan di Indonesia. "Studi Islam yang dibangun dan dikembangkan di lembaga pendidikan tinggi Islam di Tanah Air, memberi andil besar dalam membentuk mainstream wajah umat Islam Indonesia yang moderat. Semua dilakukan agar menciptakan pemahaman agama yang rahmatan lil alamin, yang toleran,” tutur Menag sembari menegaskan bahwa Islam garis keras bukan Islam ala Indonesia. (G-penk/mkd/mkd)

Tags:

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua