Nasional

Beri Kuliah Umum HAM, Menag Berkisah Tentang Tokoh Sufi Asy-Syaqafi

Jakarta (Pinmas) —- Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin didaulat untuk memberikan kuliah umum tentang Hak Asasi Manusia (HAM) pada acara; “Ramadhan and Human Right; Lecteru Melawan Lupa” yang diselenggarakan oleh Museum Omah Munir, di Gedung Langen Palikrama, Auditorium Pegadaian, Jl Kramat Raya No 162 Jakarta Pusat, Rabu Malam (2/7).

Dalam kesempatan tersebut, Menag mengangkat tema “Agama dan Hak Asasi Manusia”. Menag pun memaparkan 5 nilai dalam maqashidusy-syariah (tujuan pokok syariah) atau nilai-nilai universal dalam Islam.

Kelima nilai tersebut adalah 1) perlindungan terhadap kebebasan berkeyakinan dan beragama (hifdz al-din); 2) perlindungan terhadap keselamatan jiwa (hifdz al-nafs); 3) perlindungan terhadap kebebasan berpikir (hifdz al-‘aql); 4) perlindungan terhadap keturunan/keluarga (hifdz al-nasl); dan 5) perlindungan terhadap hak milik harta benda (hifdz al-mal).

Ada kisah menarik saat Menag menjelaskan kelima nilai universal dalam Islam tersebut. Di tengah paparannya, Menag berkisah tentang seorang Sufi, Syekh Syari’ Asy-Syaqafi yang diceritakan oleh Imam al-Junaid (salah satu dari 2 tokoh Tasawuf dalam kalangan NU, selain Imam al-Ghozali, – red)

“Lebih dari 30 tahun, Syekh Asy-Syaqafi terus beristighfar hingga Imam Junaid, keponakan Asy-Syaqafi, bertanya, “Kenapa paman selalu beristighfar dalam waktu yang lama?,” demikian Menag mengawali kisahnya.

Mendapati pertanyaan dari keponakannya, Asyaqafi menjawab, “Karena saya pernah mengucapkan satu kalimat.” “Apa kalimat itu?” Tanya Al-Junaid. “Kalimat itu adalah alhamdulilah,” jawab Asy-Syaqafi hingga membuat al-Junaid makin bingung. “Bukankah itu kalimat yang baik,” sergah Al-Junaid yang kemudian di-iyakan oleh sang paman.

Kepada ponakannya, Asy-Syaqafi pun bercerita bahwa suatu hari, di Baghdad terjadi kebakaran besar. Akibatnya, banyak toko dan rumah yang terbakar. Saat diberi tahu seseorang bahwa toko milik beliau selamat dari kebakaran, sepontan, Asy-Syaqafi mengucap alhamdulillah, bersyukur dengan memuji Nama Tuhan.

Namun, Asy-Syaqafi kemudian menyesal. “Betapa egois saya, bersyukur di saat banyak saudara dan tetangga sedang kesusahan,” demikian Menag mengisahkan penyesalan Asy-Syaqafi.

Saat itu, lanjut Menag, Asy-Syaqafi merasa ego telah mempengaruhi dirinya. Asy-Syaqafi merasa bahwa dirinya tidak peka, dan ketidakpekaan inilah yang merupakan awal dari tidak ditemukannya esensi agama yang dianutnya, yakni Islam.

Menutup kisahnya, Menag kemudian mengungkap sebuah adagium dalam Islam: “Man Arafa nafsahu, faqod ‘arafa Rabbahu; Barang siapa mengenal dirinya, niscaya dia akan mengenal Tuhannya.” (gpenk/mkd/mkd)

Tags:

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua