Nasional

Menag: Agama Sangat Mewarnai Konstitusi Kita

Bogor (Pinmas) – Agama sangat mewarnai kehidupan kita, sehingga oleh para pendiri bangsa dijadikan faktor yang menyatukan di antara keragaman, kemajemukan, dan pluralitas kita yang sangat besar ini. Kita disatukan oleh nilai-nilai agama, agama menjadi faktor yang merajut sekaligus menjalin merangkai keragaman dan keanekaragaman.

“Dalam konstitusi atau UUD 1945, akan terlihat agama sangat mewarnai konstitusi kita. Kalau kita simak pada pembukaan yang berisi empat alinea dan pada alenia ketiga, para pendiri bangsa tegas menyatakan awal kalimat yang berbunyi atas berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa,”. Demikian dikatakan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin ketika menyampaikan materi Relasi Agama dan Negara pada acara Pendidikan Hak Konstitusional Warga Negara dan Seminar Nasional Pendidikan Islam Rahmatal lil Alamin Bagi Pimpinan Pondok Pesantren se-Indonesia kerjasama Mahkamah Konstitusi dan Kementerian Agama di Pusdiklat Mahkamah Konstitusi, Bogor, Jumat (5/12) malam.

Dalam pembukaan UU tersebut, ujar Menag, secara eksplisit dinyatakan bahwa kemerdekaan tidak semata hasil perjuangan para pahlawan kita, tapi justru dieksplisitkan disini atas berkat Rahmat Allah, juga dalam sistem peradilan, dan pendidikan serta pada ayat dan pasal lainnya yang ada dalam konstitusi kita.

“Indonesia dalam sejarahnya ratusan tahun lalu sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama, apapun etnis dan suku bangsa kita. Warna religiusitasnya itu sangat kental,” ujar Menag.

Dikatakan Menag, konstitusi kita meskipun tidak ekspslisit mengatakan Islam, tapi agama di situ sangat eksplisit tegas dinyatakan oleh konstitusi kita. Dan bicara tentang agama, tentu Islam lah yang paling banyak berbicara tentang bagaimana norma-norma yang selama ini perlu ditegakkan dalam ikut menata kehidupan bersama. Karena Islam diyakini agama yang paling menyeluruh.

“Jangankan mengatur kita berkehidupan berbangsa dan bernegara, masuk keluar kamar mandi saja ada adabnya atau tata caranya, karena diatur oleh nilai-nilai Islam. Jadi, Indonesia kemudian menjadi sangat khas dalam konteks hubungan agama dan negara ini, sehingga di banyak kesempatan Saya selalu mengatakan bahwa meskipun bisa dibedakan tetapi ini tidak bisa dipisahkan seperti mata uang logam yang memiliki dua sisi,” tandas Menag.

“Bisa dibedakan antara negara dan agama, tapi ini sulit dipisahkan, itulah kenapa di Indonesia ada Kementerian Agama sebuah institusi negara yang merupakan konsensus dari perdebatan panjang di antara para pendiri bangsa,” imbuh Menag.

Menyangkut relasi agama dan negara, Menag mengatakan bahwa kita sudah sama memahami dan sepakat bahwa wacana tentang hubungan antar negara dan agama (Islam dalam hal ini) di internal umat Islam sendiri melalui para ulamanya dan para cendekiawannya memang tidak tunggal.

Di antara ulama Islam sendiri beragam pandangannya hubungan antara agama dan negara, bahkan ketika Rasulullah wafat saja, para sahabat, mereka-mereka yang sangat dekat dengan Rasulullah itu pun tidak satu pandangan dalam menentukan siapa pengganti Rasul.

Pada paruh waktu pada fase di mana paling dekat dengan Rasulullah saja, beragam (pandangan) bagaimana agama dalam memberikan guidance arahan dan pedoman dalam kehidupan kenegaraan, kehidupan bersama masyarakat, dan ketika itu tentu konsepsi negara belum sebagaimana yang kita pahami sekarang dalam konteks lebih modern.

“Intinya, Saya ingin mengatakan bahwa pandangan internal di umat Islam sendiri memang beragam. Karena memang rujukan kita baik Al-Quran dan Hadist sejauh yang Saya pahami tidak ada yang bisa dimaknai tunggal, satu pola baku,” kata Menag.

“Nah, itulah juga yang mewarnai cara pandang ulama-ulama Indonesia di awal-awal kemerdekaan ketika Negara dan bangsa ini harus merumuskan konstitusinya,” lanjut Menag.

Mengutip pandangan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zulfa, Menag mengatakan bahwa setidak-tidaknya konstitusi itu menjadi ciri negara modern. Jadi salah satu ciri negara modern itu kalau negara itu memiliki konstitusi. Kalau negara itu tidak memiliki konstitusi dia tidak bisa dikatakan negara modern, dia mungkin kerajaan (Monarki).

Konstitusi itu, di manapun negara di dunia ini menurut Menag isinya tiga saja sebenarnya, tiga besaran isi dari konstitusi negara manapun yang dikatakan modern. Pertama, menjelaskan tentang dasar tujuan negara itu apa, yang dalam konteks Indonesia itu semuanya ada dalam pembukaan UUD 1945.

“Itulah mengapa selama proses amandemen selama empat tahun kemarin pembukaan sama sekali tidak mengalami perubahan karena di situ ada dasar-dasar kita bernegara dan tujuan negara yang relevan dalam konteks kekinian kita,” ujar Menag yang pernah menjabat Wakil Ketua MPR ini.

Kedua, jaminan perlindungan terhadap hak-hak setiap warga negara. Ketiga, konstitusi itu mengatur hubungan antar lembaga negara. Ini supaya tidak terjadi sengketa kewenangan antar lembaga negara, karenan konstitusi mengatur prinsip-prinsip dasar kewenangan-kewenangan pada masing-masing lembaga negara dan bagaimana lembaga itu menjalankan kewenangannya.(dm/dm).

Tags:

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua