Nasional

Menag: Haji, Kerukunan, dan Pendidikan Keagamaan Perlu Diperhatikan

Pinmas (Jakarta) --- Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan ada beberapa hal yang perlu dibenahi, ketika siapapun yang akan menduduki Menteri Agama pada periode yang akan dating. Beberap hal tersebut antara lain mengenai persoalan haji, khususnya yang terkait dengan sistem dan manajemen penyelenggaraan haji agar lebih transparansi dan akuntabel.

“Inilah bagian-bagian yang sekarang sudah dicoba dibenahi,” terang Menag Lukman Hakim Saifuddin dalam kesempatan open house menyambut Idul Fitri di rumah dinasnya, Jakarta, Senin (27/07).

Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin berharap menteri agama yang akan datang bisa melanjutkan hal ini sehingga penyelenggaraan haji lebih transparan dan akuntabel. Dengan pembenahan ini, Menag berharap keadilan betul-betul bisa dirasakan, tidak hanya bagi calon jamaah haji kita, tapi juga masyarakat luas secara keseluruhan. “Jadi keadilan yang harus ditegakkan,” katanya.

Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah terkait kerukunan antar umat beragama. Menurut Menag, aspek ini perlu mendapatkan perhatian yang cukup karena ada persoalan yang harus kita selesaikan bersama. “Bersama itu artinya antara pemerintah dengan masyarakat itu sendiri melalui tokoh-tokoh agamanya,” ujar Menag.

“Misalnya begini, agama itu kan sesuatu yang sangat personal karena ini menyangkut keyakinan, sangat pribadi antara seseorang dengan Tuhannya, yang dalam konteks seperti ini Negara, Pemerintah sekalipun tidak punya kewenangan untuk menginterfensi karena ini keyakinan seseorang, otonomi seseorang yang tidak bisa diintervensi siapapun,” tambahnya.

Putra mantan Menteri Agama KH Syaifuddin ini menegaskan bahwa Negara, Pemerintah mempunyai kewajiban untuk melindungi untuk melayani, untuk memfasilitasi kehidupan keagamaan pada setiap warga negaranya terlepas apapun agama yang dianutnya.

Terkait hal ini, Negara dan Pemerintah dihadapkan dengan problem legalitas. Ketika ingin melaksanakan kewajiban untuk melindungi, melayani, umat beragama, Pemerintah butuh legalitas. “Yang disebut agama itu seperti apa? Kelompok-kelompok komunitas itu apakah agama, apakah bukan agama? Kan dibutuhkan legalitas. Karena kalau tidak ada legalitas, saya akan dimintai pertanggungjawabnya. Karena bentuk perlindungan, bentuk fasilitas pelayanan yang saya berikan kan harus saya pertanggung jawabkan,” ucap Menag.

“Oleh karenanya, saya butuh legalitas. Apakah kelompok-kelompok yang pakaiannya seragam, acaranya seragam, ritualnya seragam, itu sudah bisa disebutkan sebuah agama, itu atau jangan-jangan sebuah paguyuban saja,” imbuhnya.

Pertanyaannya, siapa yang mempunyai otoritas dan kewenangan untuk melegalkan atau mengakui atau menyatakan sebuah keyakinan itu agama atau bukan agama? Kalau pemerintah punya, apakah harus bersama-sama dengan masyarakat? Kalau tidak apakah landasannya Pemerintah menjalankan kewajibannya itu? Nah inilah, lanjut Menag, yang mendasari saya mengundang berbagai pihak untuk berbincang-bincang saat berbuka puasa, misalnya dengan kelompok minoritas seperti kaharingan, parmalin, sunda wiwitan, dan lainnya.

“Kita perlu duduk bersama , untuk mencari jalan keluarnya sehingga ke depan kita punya kesamaan persepsi,” ungkapnya.

Hal penting ketiga adalah pendidikan, utamanya pendidikan keagamaan. Ini juga bagian yang tak kalah penting untuk diseriusi. Pendidikan keagamaan, menurut Menag, penting karena bagaimanapun juga bangsa Indonesia adalah bangsa yang meletakkan agama sebagai sesuatu yang sentral dan vital. “Indonesia bukan negara Islam, bukan Negara agama tertentu, tetapi Indonesia bukan Negara yang sekuler yang memisahkan secara drastis antara Negara di satu sisi dan agama di sisi lain,” kata Menag.

Indonesia, tegas Menag, adalah Negara dan bangsa di mana nilai-nilai agama ikut terlibat dalam proses menata, mengatur kehidupan kita bersama di tengah-tengah pluralitas, dan kemajemukkan kita. “Karena itu agama menjadi penting,” pungkasnya. (ba/mkd/mkd)

Tags:

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua