Nasional

Menag: Halaqah Fiqh Kebhinnekaan, Gairahkan Kembali Wacana Pengembangan Ijtihad Fiqh

Jakarta (Pinmas) – Halaqah fiqh kebhinnekaan yang digagas oleh Maarif Institute merupakan bagian dari upaya mencari solusi atas masalah sosial-keagamaan yang dihadapi oleh masyarakat modern yang majemuk, dengan tetap merujuk pada sumber hukum utama, yakni al-Quran dan al-Hadist. Kompleksitas masalah tersebut terkait dengan ruang dan waktu.

Oleh karena itu, fiqh kebhinnekaan mempunyai takaran kontekstualitas yang tinggi, bahkan mempunyai sifat kekenyalannya yang akan mampu memberikan penyelesaian atas masalah kontemporer yang mengemuka.

“Halaqah Fiqh Kebhinnekaan akan menggairahkan kembali wacana pengembangan ijtihad fiqh. Setidaknya dapat memberikan kontribusi mendorong pengembangan fiqh dengan perspektif dan ruang lingkup yang diperluas” ungkap Menag Lukman Hakim Saifuddin ketika menyampaikan paparannya pada Halaqah Fiqh Kebhinekaan yang diselenggarakan Maarif Institute di Jakarta, Selasa (24/2).

Dalam pandangan Menag, hal ini penting, karena di kalangan umat lslam masih berkembang sebuah pemahaman bahwa fiqh hanya berurusan dengan hukum-hukum Tuhan. Sehingga akibatnya, fiqh yang berhubungan dengan fenomena sosial, seperti soal kebhinnekaan atau kemajemukan ini, belum berkembang. Padahal dalam konteks masyarakat yang mudah dilanda konflik seperti lndonesia karena kemajemukan, fiqh kebhinnekaan menjadi sangat penting.

“Dengan fiqh kebhinnekaan, kita akan dapat memberikan kontribusi dalam membangun persatuan dan kesatuan bangsa, keutuhan NKRI dan keadilan bagi seluruh rakyat yang be rdaulat, maju dan mandiri,” ujar Menag.

Pemerintah, ujar Menag, sangat mengapresiasi terhadap semua usaha membangun komitmen kebangsaan, kebhinnekaan, termasuk yang dilakukan melalui kajian-kajian bernuansa fiqh.

“Kita memberikan penghargaan yang tinggi terhadap berbagai gagasan bernuansa fiqh yang pernah mengemuka sebelum ini,” terang Menag.

Dijelaskan Menag, sejauh ini kita mengenal kajian fiqh dengan menggunakan beberapa strategi seperti: konstekstualisasi, desakralisasi, atau reinterpretasi agama. Gerakan ini menurutnya, menunjukkan kepedulian fiqh terhadap berbagai persoalan bangsa, yang diakui cukup efektif untuk membendung fenomena konservatisme, atau radikalisme dari kelompok lslam tertentu yang mengusung paham-paham berbahaya.

Menurut hemat Menag, istilah fiqh kebhinnekaan berkonotasi sebagai fiqh ala lndonesia. Fiqh ini mengadaptasi kearifan lokal, sistem kultural dan nilai-nilai yang dianut masyarakat lndonesia dari berbagai suku, agama dan ras. Jangkauannya pun luas, dari Sabang sampai Merauke. Misi utamanya adalah upaya merentangkan ide pokok tentang tali persatuan dan kesatuan bangsa bagi seluruh komponen bangsa yang besar ini.

“Oleh karena itu, merumuskan fiqh kebhinekaan ini akan menjadi pekerjaan rumah yang besar dan mulia,” tandas Menag. (dm/dm).

Tags:

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua