Nasional

Menag: Kemenag Kaji Kewenangan Negara Akui atau Tidak Akui Suatu Agama

Jakarta (Pinmas) --- Saat ini Kementerian Agama sedang mendalami dan mengkaji betul, apakah negara mempunyai otoritas atau kewenangan untuk mengakui atau tidak mengakui bahwa suatu keyakinan itu agama atau bukan agama.

Penegasan ini disampaikan oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin kepada pers usai buka puasa bersama Menag dengan Tokoh Agama dan Wartawan Koordinatoriat Kementerian Agama di rumah dinasnya, Jakarta, Jumat (25/07).

“Kemenag butuh masukan apakah negara punya kewenangan untuk mengakui suatu keyakinan itu agama atau bukan agama,” tegas Menag.

Menurutnya, ada sebagian masyarakat yang memiliki pemahaman bahwa agama merupakan urusan personal seseorang dengan Tuhannya. “(agama) Itu menyangkut keyakinan. Jangankan negara, orang lain pun tidak punya hak mengatur,” kata Menag terkait pemahaman sebagian masyarakat.

Menag merasa hal ini penting untuk diselesaikan mengingat adanya potensi masalah yang akan muncul ketika masuk dalam urusan administrasi ketatanegaraan. Dikatakan Menag, Pemerintah berkewajiban melindungi dan melayani setiap umat beragama, dan untuk menjalankan kewajibannya itu negara memerlukan dasar atau legalitas, apakah suatu keyakinan ini aganma atau bukan.

“Apakah negara perlu meresmikan (suatu agama)? Jika perlu, siapa yang memiliki otoritas?” tanya Menag.

Jawaban atas pertanyaan ini perlu, lanjut Menag, karena dalam menjalankan kewajibannya, negara perlu legalitas. “Kemenag sedang mendalami betul dan karenanya kita akan mengundang para tokoh-tokoh agama (untuk mendiskusikan masalah ini),” ujar Menag.

“Jangan lagi ada praktik diskriminatif. Jangan hanya karena perbedaan keyakinan, kemudian terjadi perbedaan pelayanan,” tambahnya.

Baha’i

Terkait Baha’i, Menag kembali menegaskan pandangannya bahwa itu adalah agama dan karenanya dijamin keberadaanya. “Baha’i, setelah kita melakukan penelitian mendalam, adalah agama tersendiri yang lahir dan berkembang sudah cukup lama, sudah sejak abad 17,” terang Menag.

“Beberapa warga negara Indonesia juga menganut agama itu,” tambahnya.

Namun demikian, putra mantan Menag Syaufiddin Zuhri (alm) ini mengaku tidak pernah menggunakan kosakata meresmikan terkait dengan agama Baha’i. juga tidak pernah mengatakannya sebagai agama baru.

“Saya tidak pernah menggunakan kosakata meresmikan, tidak pernah juga menggunakan kosakata agama baru,” kata Menag.

Dikatakan Menag bahwa dalam bab penjelasan UU No 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dijelaskan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Confusius. Keenam agama ini mendapat jaminan seperti yang diberikan dalam Pasal 29 UUD 1945.

Namun, lanjut Menag, dalam penjelasan UU PNPS itu juga dijelaskan bahwa hal itu bukan berarti agama-agama lain, seperti Shinto dan Taoisme dilarang di Indonesia. Penganut agama ini mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan dalam Pasal 29 UUD 1945 dan mereka dibiarkan adanya selama tidak melanggar ketentutan perundang-undangan. (mkd/mkd)

Tags:

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua