Nasional

Menag: UU Membatasi Hak Tanpa Batas

Bogor (Pinmas) – Dalam menggunakan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang dilakukan UU. Konstitusi UU kita memberikan amanah dan mandat sepenuhnya pada UU untuk membatasi hak dan kebebasan setiap orang. Tidak kurang dari 40 hak yang dimiliki oleh kita setiap orang seperti termaktub di Pasal 28 a,b,c dan seterusnya sampai 28 i. Sembilan pasal berbicara tentang hak, tapi pasal yang kesepuluh yaitu pasal 28 j sebagai pasal pamungkas atau pasal yang mengunci, bicara tidak lagi hak tetapi bicara tentang kewajiban.

“Dalam pasal 28 j pasal 2 tegas dinyatakan, bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang dilakukan UU. Konstitusi UU kita memberikan amanah dan mandat sepenuhnya pada UU untuk membatasi hak dan kebebasan setiap orang yang sebelumnya dijamin disembilan pasal sebelumnya itu. Dengan kata lain, hanya UU sajalah yang bisa membatasi hak kebebasan setiap orang yang ada di wilayah Indonesia,” terang Menag Lukman Hakim Saifuddin dihadapan pimpinan Pontren se-Indonesia yang mengikuti Pendidikan Hak Konstitusional Warga Negara dan Seminar Nasional Pendidikan Islam Rahmatal lil Alamin Bagi Pimpinan Pondok Pesantren se-Indonesia kerjasama Mahkamah Konstitusi dan Kementerian Agama di Pusdiklat Mahkamah Konstitusi, Bogor, Jumat (5/12) malam kemarin.

Dalam pandangan Menag, ada kesalahpahaman dalam memaknai hak (HAM). Isu Hak Asasi Manusia (HAM), salah satu isu mendasar dalam konstitusi kita adalah jaminan terhadap perlindungan HAM. Dalam diskursus, kita memahami HAM itu juga berbeda, tidak tunggal. Jadi ada pemahaman di mana HAM itu sebuah hak asasi manusia itu bebas tanpa batas yang dalam konstitusi kita ada pada pasal 28.

Menurutnya, Bab tentang HAM dalam konstitusi kita setelah amandemen, adalah Bab yang paling banyak jumlah pasalnya, tidak tanggung-tanggung ada 10 pasal yang bicara tentang HAM. Karena memang inti dari konstitusi kita adalah HAM. Pasal 28 a,b,c dan seterusnya sampai 28 i, sembilan pasal itu bicara tentang hak.

“Disinilah perlu mendapat cermatan kita bersama karena terkadang di antara kita ada yang memaknai HAM itu bebas tanpa batas seperti pasal 28 i itu. Biasanya kita terbentur pada membaca pasal 28 i saja, tapi lupa ada pasal 28 j yang bicara tentang kewajiban,” ujar Menag.

Mengapa hanya UU saja yang bisa atau boleh membatasi hak kebebasan, menurut Menag, filosofinya karena yang bisa membahas dan menyetujui sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) menjadi Undang-Undang (UU) hanyalah dua entitas, pertama, DPR yang hakekatnya wakil rakyat yang dipilih rakyat dan presiden yang juga dipilih rakyat.

“Jadi hanya dua entitas inilah dimana rakyat yang hakekatnya berdaulat itu memberikan melimpahkan kedaulatannya pertama kepada para wakilnya yang dia pilih langsung untuk membuat aturan yang mengikat dirinya, ditambah presiden yang juga dipilih rakyat,” terang Menag.

Diuraikan Menag, Pasal 28 j tidak berhenti disitu, ada kelanjutannya. Jadi dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pembatasan yang dibuat UU semata-mata demi pengakuan dan penghormatan terhadap hak orang lain.

“Jadi kalau UU mau membatasi hak dan kebebasan seseorang, itu tidak begitu saja semena-mena atau sewenang-wenang DPR dan presiden membatasi hak dan kebebasan orang itu, tapi harus memenuhi salah dari dua tujuan menurut pasal 28 j ayat 2. Pertama, pembatasan itu semata-mata demi untuk memberikan pengakuan dan penghormatan hak dan kebebasan orang lain. Kedua, pembatasan itu semata-mata dalam rangka untuk memenuhi tuntutan yang adil atas empat pertimbangan, yaitu pertimbangan moral, agama, keamanan dan ketertiban umum,” urai Menag.

Dalam pandangan Menag, pemahaman kita tentang HAM bukan pemahaman tanpa batas itu yang oleh negara lain dianut, dicontohkan Menag soal pernikahan sesama jenis. Menurut Menag, pemahaman kelompok ini tidak ingin negara melarang haknya melakukan pernikahan sejenis bila dasarnya adalah saling suka. Menag mencontohkan, negara Belanda dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat menerapkan hukum bahwa perkawinan sesama jenis adalah sesuatu perkawinan yang legal.

“Kita di Indonesia tidak begitu, karena ada UU Nomor 1 Tahun 1974 yang tegas mengatakan bahwa perkawinan itu sah dilakukan kalau dilakukan antara laki-laki dan perempuan,” kata Menag.

Kenapa ada aturan seperti itu yang sepertinya membatasi hak dan kebebasan orang, diterangkan Menag yang hobi sepak bola, ini dikarenakan UU bisa membatasi hak dan kebebasan seseorang kalau kemudian memenuhi salah satu persyaratan, yaitu untuk memberikan pengakuan dan penghormatan kepada orang lain atau untuk memenuhi tuntutan yang adil atas pertimbangan, moral, agama, keamanan dan ketertiban umum.

“Masyarakat kita yang religius yang menjunjung nilai-nilia agama ini, memaknai bahwa antara hak dan kewajiban itu adalah dua hal yang meskipun bisa dibedakan tapi tidak bisa dipisahkan,” terang Menag.

“Ketika kita dituntut menghormati hak orang lain, maka dalam waktu bersamaan timbul kewajiban pada diri kita agar hak orang lain itu bisa terpenuhi. Begitu pula sebaliknya, ketika hak-hak kita dipenuhi orang lain dan saat bersamaan muncul kewajiban pada orang lain untuk memenuhi haknya,” pungkas Menag. (dm/dm).

Tags:

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua