Nasional

Ngadiono Berhaji Dengan Bekal Niat

Makkah (Pinmas) --- Haji adalah panggilan, demikian pesan yang sering kita dengar. Haji diperuntukan bagi orang yang mampu, demikian Al-Quran mengajarkan.

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." (QS. Ali Imran : 97)

Kemampuan berhaji tidak melulu persoalan kekayaan karena tidak sedikit orang kaya yang ternyata tidak memperoleh panggilan. Ketidakmampuan berhaji juga bukan melulu persoalan kemiskinan karena tidak sedikit orang-orang yang tergolong pas-pasan bisa bertamu di rumah Tuhan.

“Mas, tolong tunjukan pintu Indonesia itu di mana? Saya terpisah dari rombongan,” terdengar suara lelaki sebaya dari arah belakang ketika saya sedang memperhatikan megahnya Masjid Raja Abdullah yang masih dalam proses pembangunan dari sisi Bab Syamsiyah, Senin (20/10) sekitar pukul 13.30 waktu setempat.

Agak sedikit aneh dengan pertanyaanya, tapi itu bukan pokok persoalan. Orang di hadapan saya yang pasti jamaah haji Indonesia yang sedang kebingungan karena tersesat jalan. “Boleh lihat kartu tanda pengenal jamaah hajinya Pak?” saya balik bertanya dan dia pun menunjukan kartunya.

Tertulis pada kartu itu angka 221, penanda bahwa dia tinggal di pemondokan jamaah haji Indonesia sektor 2 dengan nomor gedung 221. “Oh, Bapak tinggal di kawasan Aziziyah. Kebetulan kita satu arah, mari saya antar Bapak ke pemondokan,” ujar saya yang kebetulan sedang melakukan liputan bersama beberapa teman dari Media Center Haji (MCH) di sekitar Masjidil Haram.

Kami pun berjalan beriringan menyusuri pinggir bangunan Masjidil Haram lalu memasuki Pintu Bani Syaibah Bridge melewati jembatan penyeberangan di atas area sa’i (mas’a). Di tengah jembatan, kami berhenti sejenak untuk memperhatikan hiruk pikuk para jamaah haji sedang bersa’i. Keluar dari situ, kami terus berjalan menuju arah Maktabah Makkah Al-Mukarramah, sebuah bangunan yang diinformasikan menjadi tempat lahirnya Nabi Muhammad Saw sehingga dikenal juga sebagai Maulid Nabi.

“Kulo bodo nanging nemen-nemenni pengen tindak haji, pengin ngibadah teng Mekkah (saya ini orang bodoh, tapi saya betul-betul ingin berangkat haji, ingin beribadah di Makkah),” katanya mengawali percakapan yang sempat tertunda.

Namanya Ngadiono. Pria berusia 50 tahun ini berasal dari Karangasem, Sragen. Sehari-hari, dia bekerja sebagai petani, menggarap sawahnya yang hanya “sepatok” (sekitar 3.600m). “Ini milik saya satu-satunya. Itupun karena dapat warisan, kalau tidak dapat warisan, ya tidak punya sawah,” katanya.

Mobil jemputan datang, kami pun berangkat ke wilayah Aziziyah. Selama dalam perjalanan, Ngadiono terus bercerita tentang tekad bulatnya untuk bisa berziarah ke Makkah Al-Mukarramah dan Madinah Al-Munawwarah.

Ngadiono berkisah kalau di kampungnya, dia tergolong orang yang miskin. Penghasilannya bertani hanya pas bahkan sering kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Maklum, Ngadiono selama ini harus menghidupi istri dan 4 orang anaknya. Meski anak pertamanya sudah berkeluarga dan tinggal di Bogor, namun tidak jarang Ngadiono harus membantunya. Semantara ketiga anak lainnya, semua masih sekolah di SMA, SMP, dan SD.

Namun nyata, kondisinya yang pas-pasan tidak menghalangi niat dan keinginannya untuk bisa menunaikan ibadah haji. Terlebih niat ini didukung penuh oleh istri dan anak-anaknya.

Kisah Ngadiono berhaji dimulai pada tahun 2009. Saat itu, dia bertekad bulat untuk menyisihkan uang hasil panennya guna membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH). Sejak itu, berapapun hasil panen yang diperoleh, dia kumpulkan untuk melunasi BPIH.

Sawahnya yang hanya sepatok itu selalu ditanami padi. Berangkat pagi pulang siang (jelang waktu dhuhur) adalah kebiasaan yang selalu dijalani. Syukur alhamdulillah, dalam setahun sawah ngadiono bisa panen 3 kali.

Untuk sekali masa panen, sawahnya bisa menghasilkan sekitar 2 – 2.5 ton gabah. Ngadiono mengaku bahwa sejak membulatkan tekad untuk berhaji, hasil sawah yang digarapnya cukup bagus hingga hasilnya bisa ditabung.

Setelah dijual, pria yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah ini mengaku bisa menyisihkan sekitar 4 – 5 juta yang lalu ditabung sebagai persiapan membayar BPIH. Maklum, ngadiono memang hanya mengambil uang modalnya saja sekitar 2-2,5 juta untuk masa tanam berikutnya. Sisanya, dia persiapkan sepenuhnya untuk mewujudkan niatnya, berangkat ke Tanah Suci menjadi dluyufur-Rahman, tamu Allah Yang Maha Rahman.

Lantas, bagaimana dengan kebutuhan keluarga? Dengan mata berkaca-kaca, Ngadiono berkisah tentang istrinya, Sukini. Baginya, keberhasilannya berangkat haji tidak terlepas dari kebesaran hati istrinya. Sejak membulatkan tekad untuk berhaji, sang istri yang berusia 40 tahun itu mengikhlaskan hasil kerjanya untuk membiayai kebutuhan keluarga.

Sukini adalah seorang padagang bumbu masakan di Pasar Mbanaran Sragen Timur. Sebagai pedagang, omset harian Sukini antara 400 – 500 ribu. Namun berapa keuntungan yang diperoleh, Ngadiono tidak bisa memastikan. Dia hanya mengatakan bahwa semuanya cukup meski pas-pasan.

Untuk menambah penghasilan keluarga, Ngadiono terkadang berprofesi sebagai Jayen, yaitu juru masak sekaligus juru saji air minum ketika ada kerabat atau tetangga yang sedang hajatan. “Jayen itu kalau kebetulan ada yang mengundang saja Mas. Dua hari bekerja, biasanya saya dikasih 50ribu,” katanya.

Waktu terus berjalan. Akhirnya pada 2013 ini, niat Ngadiono terwujud, berangkat haji ke Baitullah, beribadah di Makkah Al-Mukarramah, memenuhi panggilan Allah. Labbaikallahumma labbaik (aku penuhi panggilanmu ya Allah), betapa panggilan itu begitu kuat hingga tak pernah menyurutkan niat Ngadiono untuk terus bekerja dan berusaha, di tengah berbagai kekurangan yang ada. Panggilan itupun rasanya dirasakan Sukini hingga dia pun terus bekerja untuk mewujudkan niat sang suami.

“Sudah bisa berangkat juga sudah sangat bersyukur. Kulo mboten gadah nanging kulo nemen-nemenni... Katah tiyang sugih malah mboten pangkat (Saya ini orang tidak punya, tapi saya memang benar-benar ingin berhaji... Banyak orang kaya malah belum berangkat haji),” katanya dengan mata berkaca.

“Kalau buat makan memang pas-pasan. Tapi saya memang nemen-nemenni pengen pangkat haji,” tambahnya.

Sampai-sampai, lanjut Ngadiono, pas mau berangkat, banyak orang yang kasihan kepadanya karena tidak punya bekal cukup. Akhirnya banyak tetangga kiri kanan yang memberi uang, mulai dari 50ribu sampai 500ribu. Bahkan, ada juga yang memberi sarung dan pakaian.

“Kasihan, karena tidak punya kok nemen-nemenni,” kenang Ngadiono.

Bagi Ngadiono, melihat Ka’bah sudah bukan lagi mimpi. Tergabung dalam kloter 71 Embarkasi Solo (SOC/71), Ngadiono berangkat ke Tanah Air pada fase gelombang kedua akhir. Dari Jeddah, Ngadiono langsung menuju Makkah. Umrah wajib sudah dilaksanakan, ibadah haji juga sudah ditunaikan.

Kini, sudah sekitar 2 minggu Ngadiono habiskan hari-harinya di Makkah Al-Mukarramah. Ngadiono sedang menunggu saat pemberangkatan ke Madinah untuk menjalani Arbain (salat berjamaah di Masjid Nabawi selama 40 waktu berturut-turut) dan berziarah ke Makam Nabi Muhammad Saw.

Ketika bertemu dengan saya di Masjidil Haram, Ngadiono mengaku baru saja menyelesaikan tawaf sunnah. “Dalam setiap putaran, saya selalu berdoa untuk istri dan anak-anak saya. Semoga mereka selalu diberi kesehatan, kemudahan, dan keselamatan. Mata saya selalu menangis kalau mengingat mereka,” kisahnya.

Ditanya apakah ada pesan khusus dari sang istri, matanya kembali berkaca-kaca. Entah apa yang ada dibenaknya. Mungkin segunung kerinduan atau keharuan akan kebesaran hati istri tercinta yang demikian setia mendukung niatnya. “Istri saya sakit paru-paru. Saya diminta untuk mencari hati unta kering sebagai obatnya,” kata Ngadiono tanpa diduga. “Saya kasihan sama istri saya,” kenangnya dengan mata kembali berkaca.

“Ojo lali tuku ati unta mbe celak,” ujar Ngadiono menirukan pesan istrinya. “Insya Allah aku ga lali,” jawabnya sembari mengenang jasa-jasa sang istri.

Tak terasa, kami sudah sampai di depan gedung 221. Ngadiono pun sudah mulai mengenali wilayah tinggalnya. “Oh, nggih, kulo manggene teng mriki (oh iya, saya tinggalnya di sini),” kata Ngadiono sumringah.

Mobil berhenti, Ngadiono pun turun. Tak lupa dia pamit dan bersalaman dengan kami semua. “Matur nuwun mas, pun ngater,” katanya dengan mata berkaca hingga tangan kirinya sekali-kali menyeka air mata yang mengalir di pipinya.

Ngadiono berjalan menuju pemondokannya, dan kami hanya bisa menatap kepergianya. “Saya yang berterima kasih. Pak Ngadiono telah mengajarkan kepada saya tentang betapa hebatnya kekuatan niat. Pak Ngadiono juga telah membuka mata saya tentang kehebatan peran seorang istri bagi suaminya dan ibu bagi anak-anaknya. Terima kasih Pak Ngadiono. Bapak telah memberi tambahan makna buat saya tentang sebuah pesan bahwa sebaik-baik bekal adalah takwa,” gumam saya. (mkd/mkd)

Tags:

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua