Nasional

Pesan Menag pada Simposium Buddhisme: Keragaman Ciri Kodrati Manusia

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas

Lampung (Kemenag) — Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyampaikan bahwa kedewasaan kehidupan beragama ditandai dengan kemampuan untuk memberikan penghargaan kepada orang lain meskipun berbeda tradisi dan ajaran agama. Hal itu Menag ungkapkan dalam Konferensi dan Simposium Internasional tentang Buddhisme Terapan dan Gerakan Jiwa Buddhayana (Isambuddha), Selasa (14/11/2023).

“Di Buddha ada banyak sekali mazhab, saya meyakini mazhab yang berbeda-beda di agama Buddha ini saling memberikan penghormatan satu sama lain,” kata Menag saat memberikan sambutan secara daring. Turut hadir, Koordinator Stafsus Presiden Ari Dwipayana, Stafsus Menag Abdurrahman (Gus Adung), dan Dirjen Bimas Buddha Kemenag Supriyadi.

Terkait moderasi beragama, Menag mengutip maklumat Raja Asoka yang merupakan penganut agama Buddha di India. “Jika kita menghormati agama kita sendiri, janganlah kita mencemooh dan menghina agama lain. Seharusnya kita menghargai pula agama-agama lainnya, dengan demikian agama kita akan berkembang”, ujarnya.

Menag berharap acara ini dapat menggali potensi besar bahwa keberagaman bukan lah beban, tetapi aset berharga yang dapat membawa Indonesia ke masa depan peradaban dan kemanusiaan yang lebih baik. “Tata negara yang bernama Indonesia ini didirikan dengan ciri kodrati majemuk dan beragam baik agama, suku dan ras. Artinya tanpa adanya kemajemukan dan keragaman, tidak ada Indonesia,” terangnya.

“Semua agama, bukan hanya Buddha saja, mengajarkan bahwa keragaman adalah ciri kodrati setiap manusia. Kita sebagai umat beragama yang ada di Indonesia harus meletakkkan Indonesia sebagai martabat kita. Maka jika ada orang-orang yang berusaha merusak kemajemukan dan keragaman dengan cara apa pun, mereka sama dengan menginginkan Indonesia hancur,” lanjut Menag.

Lebih lanjut Menag juga mengutip sosiolog Prancis Emile Durkheim yang mengatakan bahwa agama memiliki fungsi integratif di dalam masyarakat. “Hal ini berarti agama sebenarnya juga mampu untuk memberikan kita dorongan mengintegrasikan setiap kita dalam sebuah komunitas sehingga menciptakan solidaritas sosial. Maka teori fungsi integratif Emil Dukheim ini memiliki relevansi yang cukup signifikan dengan program penguatan moderasi beragama yang sedang kita gaungkan di negeri yang kita cintai ini,” jelasnya.

Di sisi lain Menag juga mewanti-wanti supaya agama tidak digunakan sebagai alat untuk mengehalalkan tindak keserakahan dan kekerasan. Sebab, sejarah juga mencatat bahwa ada pemeluk agama yang menggunakan paham keagamannya sebagai alat untuk sebuah keserakahan dan penaklukan


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Fadhlillah Hafizhan M

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua