Nasional

Rumah Panjang, Saksi Kerukunan di Perbatasan

Lorong  panjang yang menjadi teras bersama penghuni rumah panjang menyemai kerukunan  di perbatasan Indonesia-Malaysia. (foto: kustini)

Lorong panjang yang menjadi teras bersama penghuni rumah panjang menyemai kerukunan di perbatasan Indonesia-Malaysia. (foto: kustini)

Badau (Kemenag) --- Masyarakat di sana menyebutnya dengan Rumah Panjang. Nama ini merujuk pada bangunan yang terdiri dari beberapa petak ruang yang berderet memanjang. Rumah yang didominasi bahan kayu ulin ini dihuni 15 - 30 kepala keluarga.

Layaknya rumah panggung, rumah ini dilengkapi tangga. Sisi terdepan adalah ruang terbuka yang memanjang, menjadi teras bersama penghuni di sana. Setiap petak rumah terdiri dari ruang tamu, dapur, dan kamar.

Rumah panjang ini berada di Kecamatan Badau, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Secara geografis, kawasan ini berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia.

Tim peneliti Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama RI berkesempatan melakukan penelitian kehidupan keagamaan di perbatasan tahun 2017. “Rumah Panjang adalah tempat untuk persemaian nilai-nilai kerukunan,” kata Tumenggung Ubang, di Kapuas Hulu, Kalbar, Minggu (23/07).

“Para tetua adat, Tumenggung dan Patih yang mengayomi umat Katolik dan Kristen (Suku Iban), serta Punggawa yang memangku umat Islam (Melayu), menyatakan rumah Panjang sebagai rumah bersama,” imbuhnya.

Menurut Ubang, rumah panjang biasa digunakan untuk mediasi atau musyawarah jika terjadi konflik antar sesama. Hal ini juga yang menjadi temuan Peneliti Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama Kustini Kosasih. Setelah beberapa hari melakukan pengamatan, Kustini menilai rumah panjang menjadi tempat memediasi beragam masalah, termasuk masalah agama dan persoalan adat istiadat.

“Mekanisme adat bekerja secara lentur menyelesaikan persoalan. Prinsip kebersamaan hak dan kewajiban, sikap saling menghargai antarkeluarga terbangun di ruang terbuka,” kata Kustini Kosasih.

Lebih dari itu, lanjut Kustini, di rumah ini juga anak-anak sejak dini terbiasa dengan hidup bersama. Mereka belajar mengenal perbedaan, mulai dari perbedaan agama hingga kehidupan sosial lainnya. Kustini mencontohkan, “jika ada perkawinan antaragama, kedua pemangku adat akan bersidang”.

Hal sama ditemukan juga oleh peneliti lainnya, I Nyoman Yoga. “Bagi masyarakat perbatasan Indonesia-Malaysia, setiap masalah harus tuntas ditingkat paling bawah. Jika tidak selesai di rumah Panjang, masalah akan diselesaikan di balai adat dan harus melibatkan dewan adat di masing-masing suku,” tuturnya.

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua