Nasional

Sekjen Singgung Pers Konstruktif dan Dekonstruktif Saat Pelantikan Wartawan Koordinatoriat

Jakarta (Pinmas) —- Kita sekarang sedang hidup di tengah kebebasan pers yang luar biasa. Tidak ada era yang melebihi kebebasan pers sebagaimana sekarang. Kita sudah nyaris sama dengan pers di negara-negara liberal, seperti Amerika Serikat, Inggris dan lainnya. Apapun bisa diberitakan dan apapun fit to print atau fit to inform.

Demikian penegasan Sekjen Kemenag Nur Syam saat memberikan sambutan pada pelantikan wartawan koordinatoriat Kementerian Agama, Jakarta, Kamis (17/07).

Hadir pada kesempatan ini, Kepala Pusat Informasi dan Humas Zubaidi, Kepala Biro Umum Burhanuddin, Sekretaris Balitbang-Diklat Hamdar Ar-Ra’iyyah, dan Sekretaris Ditjen Bimas Islam Muhammadiyah Amin, serta para wartawan koordinatoriat Kementerian Agama dan perwakilan dari Pengurus Persatuan Wartawan Indonesia Provinsi DKI Jakarta.

Pelantikan pejabat Koordinator Wartawan Unit Kementerian Agama yang baru Muhammad Iskandar dilakukan oleh Pengurus PWI Provinsi DKI Kamsul Hasan, dan disaksikan oleh pejabat lama yang sudah mengakhir jabatannya (Hartono Harimurti).

“Semuanya menjadi well informed. Semuanya dianggap sebagai informasi yang baik. Itulah sebabnya, saya membagi ada dua jenis pers dewasa ini, yaitu: pers konstruktif dan pers dekonstruktif,” terang Nur Syam.

Menurutnya, pers konstruktif adalah pers yang menjunjung tinggi etika pers dengan mengedepankan etika pemberitaan yang bernilai positif berbasis pada kebenaran. Pers yang semacam ini akan menghasilkan citra positif terhadap apapun yang diberitakannya. Di dalam beritanya ada nilai kepatutan dan kepantasan.

“Mereka tidak melakukan pembunuhan karakter dan juga menjunjung tinggi nilai kebebasan yang bertanggungjawab. Filsafat dasarnya adalah pers berbasis pada sistem pertanggungjawaban sosial,” tutur Nur Syam.

Di sisi lain, lanjut Nur Syam, ada pers yang disebut sebagai dekonstruktif atau yang di beberapa negara lain disebut sebagai pers kuning. Dikatakan Nur Syam, pers dekonstruktif memberitakan hal-hal yang tidak memiliki nilai manfaat yang memadai bagi pemberdayaan dan pengembangan institusi atau masyarakat.

“Pers seperti ini lebih banyak memberitakan sisi negatif pemberitaannya. Pers ini lebih banyak memberikan informasi tentang isu atau sensasi yang tentu saja belum memperoleh justifikasi kebenaran dari sumber beritanya,” kata mantan Dirjen Pendidikan Islam ini.

“Di tengah kebebasan pers yang luar biasa, seringkali pemberitaan lebih mengarah kepada hal-hal yang memojokkan, menuduh dan bahkan memfitnah. Falsafah dasar pers dekonstruktif adalah freedom of speech atau libertarian mutlak,” tambahnya.

Nur Syam berharap pers Indonesia mengedepankan peran pemberitaan yang mendidik (to educate) meskipun juga ada unsur menghiburnya (to entertain). “Setiap yang mendidik pasti basisnya adalah etika dan moralitas. Jadi pers yang diharapkan oleh lembaga atau organisasi adalah pers yang mendidik agar menjadi lebih baik,” harapnya.

“Disinilah arti pentingnya agen-agen informasi yang bisa berperan di dalam kerangka untuk menjadi mitra para wartawan di dalam memberitakan aktivitas atau apapun di sebuah kementerian,” imbuhnya.

Sebelumnya, Kapinmas Zubaidi mengatakan bahwa di Kementerian Agama sudah ada penghubung atau mediator yang berperan untuk manjadi penghubung kegiatan atau aktivitas di kementerian dengan wartawan. Hanya saja, menurut Nur Syam perlu dikembangkan ke depan tentang bagaimana para agen tersebut dapat lebih berperan maksimal sehingga aktivitas yang outstanding dapat diinformasikan ke luar.

“Saya kira memang perlu ada pelatihan-pelatihan untuk membangun kepekaan jurnalistik, sehingga mereka lebih care terhadap pemberitaan aktivitas kita,” tutur Nur Syam.

“Jadi, ke depan harus ada budaya berita atau news culture di setiap lini birokrasi, sehingga akan lebih banyak aktivitas kita yang terekspose melalui media, apapun medianya tersebut,” pesannya. (mkd/mkd)

Tags:

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua