Nasional

Survei Litbang Kemenag, Rerata Integritas Siswa Menengah 70,21

Jakarta (Kemenag) --- Survei integritas yang dilakukan Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan pada tahun 2018 menunjukkan bahwa nilai komposit integritas siswa jenjang pendidikan menengah secara nasional berada di angka 70,21.

Survei ini mengukur 4 variabel integritas yang meliputi kejujuran, tanggungjawab, toleransi, dan cinta tanah air. Dari keempat variabel di atas, variabel tanggungjawab berada pada posisi terendah, yaitu (62,71). Sementara variabel lain menunjukkan: dimensi kejujuran (76,32), dimensi toleransi (71,68) dan dimensi cinta tanah air (70,13).

"Ini artinya pendidikan tanggungjawab bagi peserta didik perlu perhatian dan terobosan khusus," terang Kepala Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Amsal Bakhtiar saat membuka Kajian Serial Cerdas Indonesia yang digelar Badan Litbang-Diklat Kemenag, Senin (06/05). Diskusi yang disiarkan secara live streaming melalui facebook Kementerian Agama ini berlangsung di Kantor Kemenag, Jl MH Thamrin, Jakarta.

"Survei integritas ini akan terus dilanjutkan di tahun tahun mendatang, bahkan akan ditingkatkan menjadi survei karakter siswa. Survei karakter siswa sudah dimulai di tahun 2019 ini," lanjutnya.

Menurut Amsal, selama ini pendidikan terkait integritas siswa lebih banyak berkonsentrasi pada pendidikan kejujuran. Tema kejujuran menjadi dominan mengingat prilaku koruptif banyak menimpa para birokrat dan aparat pemerintah. Untuk menekan prilaku koruptif sejak dini dikenalkan pendidikan kejujuran pada peserta didik. Konsentrasi pada kejujuran ini salah satunya kalau ditelusuri merupakan implikasi dari Survei integritas di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mengukur integritas dari sisi kejujuran yaitu terkait prilaku mencontek para siswa dan plagiasi pada kegiatan akademis.

Dari situ, kata Amsal, ramai-ramai lembaga pendidikan mencoba mengembangakan terobosan dalam pendidikan kejujuran untuk menekan tindakan mencontek para siswa dan plagiasi pada penulisan ilmiah pada pendidikan tinggi. "Salah satu terobosan pendidikan kejujuran tersebut adalah kantin kejujuran di satuan pendidikan," ujarnya.

Hasil survei Badan Litbang terkait perlunya perhatian pendidikan tanggungjawab ini dinilai menarik oleh Komarudin Hidayat. Menurut Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, kejujuran peserta didik (siswa) di Indonesia masih relatif baik. Prilaku tidak jujur seperti koruptif itu justru terjadi pada dunia kerja setelah lulus dari pendidikan. "Ini persoalan yang terjadi di Indonesia," tegasnya.

Komaruddin menilai, pendidikan integritas dan pendidikan karakter diperlukan agar bangsa ini mempunyai kondisi tingkat kepercayaan yang tinggi (high trust). Bangsa dengan posisi tingkat kepercayaan tinggi itu akan sangat efektif dan efisien dalam memajukan bangsa. Sebaliknya kalau masyarakat dengan tingkat kepercayaan rendah (low trust), maka biaya pembangunan akan banyak membutuhkan biaya dengan berbagai hal pengawasan dan monitoring di segala lini. "Karena itu pendidikan integritas dan karakter ini penting bagi suatu bangsa untuk menghasilkan high trust," papar Komarudin Hidayat.

Komaruddin melihat, peran guru dalam mewujudkan integritas dan karakter menjadi prasyarat utama. Guru harus menjadi teladan dalam pengembangan integritas dan karakter peserta didik. Sebuah sekolah yang salah memilih guru yang tidak paham pendidikan integritas dan karakter, maka korbannya adalah siswa. Korbannya akan lebih banyak lagi karena siswa setiap tahun berganti, maka selama itu pula korban semakin banyak.

"Karena itu, guru yang berkompetensi menjadi wajib dalam menguatan integritas siswa ini," jelasnya.

Di sisi lain, lanjut Komaruddin, pendidikan yang hanya mengejar nilai akademis siswa, menjadi salah sebab yang merangsang siswa hanya berorientasi pada pencapaian angka akademis. Hal ini yang merangsang anak menghalalkan segala cara untuk meraih angka tinggi. Akibatnya siswa mencari kesempatan untuk mencontek untuk mendapatkan angka tinggi tersebut.

Dalam perspektif lain, Abdurahman Mas’ud, Kepala Badan Litbang Kemenag, menyatakan bahwa untuk mengembangkan integritas siswa, perlu merevitalisasi empat pilar pendidikan berikut: keluarga, lembaga pendidikan, lingkungan media, dan lingkungan sosial. "Keluarga merupakan madrasah ula (pendidikan pertama) memainkan peranan penting dalam membangun dasar-dasar integritas siswa. Keluarga yang broken, tidak berintegritas, akan susah menhasilkan anak yang berintegritas," ucapnya.

Demikian juga pilar-pilar yang lain, kata Abd Rahmab, perlu dikondisikan untuk menghasilkan karakter peserta didik. Lembaga pendidikan, lingkungan media hari ini, dan lingkungan sosial saat ini.

Dalam sesi tanya jawab, muncul pertanyaan bagaimana menghadapi lembaga pendidikan yang terlanjur dan cenderung hanya mengedepankan capaian nilai akademis siswa, sehingga agak abai dengan pembentukan karakter. Menjawab pertanyaan ini, Komarudin Hidayat menyarankan memang seharusnya lembaga pendidikan lebih mengedepankan pendidikan karakter. Dia mencontohkan beberapa negara maju yang mengusung pendidikan untuk mendahulukan pendidikan sikap dari pada hanya transfer pengetahuan.

Di negara-negara maju tersebut mereka menempatkan attitude first, knowledge second (sikap adalah yang pertama, pengetahuan yang kedua). "Pendidikan karakter adalah merupakan pembentukan attitude. Menurutnya mestinya lembaga pendidikan mampu mengembang potensi multi talenta yang dimiliki para siswa," katanya.

Abdurahman Masud menambahkan, menghadapi lembaga pendidikan yang cenderung flat dan formal, para siswa sebaiknya mengembangkan independen learning. "Siswa tidak boleh tergantung pada apa yang diberikan oleh sekolah, namun para siswa harus secara mandiri mencari apa passion yang dimilikinya," tandasnya.

Serial diskusi ini merupakan hasil kerjasama Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan dengan Lembaga Pengembangan Sumber Daya Pendidikan (LPSDP). Diskusi ini digelar setiap dua minggu sekali dan ini sudah memasuki kali keempat. (murtadlo)

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua