Opini

Mengenang Dadang Hawari, Peran Agama Dalam Kedokteran Jiwa

Di tengah pandemi Covid-19 yang belum mereda, Indonesia kehilangan psikiater senior dan agamawan yang dibutuhkan pemikiran dan nasihat-nasihatnya. Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, Psikiater, telah wafat pada Kamis, 3 Desember 2020/18 Rabiul Akhir 1442 H pukul 15.10 WIB dalam perawatan intensif di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.

Guru Besar Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) ini berpulang pada usia 80 tahun. Pengabdian panjang almarhum dalam berbagai jabatan dan kegiatan, sebagai dokter, guru besar, cendekiawan, da'i (pendakwah, penceramah agama) dan penulis yang produktif, semoga menginspirasi generasi bangsa.

Sabtu (05/12) pagi, saya mengunjungi makam almarhum Dadang Hawari di TPU Menteng Pulo Jakarta Selatan. Meninggalnya psikiater Dadang Hawari, sebuah kehilangan besar bagi masyarakat Indonesia yang belakangan ini menghadapi fenomena meningkatnya kasus orang dengan gangguan jiwa. Sebagai dokter yang memiliki kemampuan menyampaikan pesan-pesan agama kepada khalayak dengan bahasa yang mudah dipahami, Dadang Hawari tidak hanya mampu mengobati penyakit fisik, tetapi juga penyakit kejiwaan yang disebabkan kehampaan ruhani manusia dari bimbingan agama.

Dadang Hawari dapat disebut sebagai “ulama” di bidang kedokteran. Putra ulama pejuang K.H. Iskandar Idries dan kakak dari dr. Abdul Mu’in Idries (ahli forensik RSCM, wafat tahun 2013) ini populer di kalangan kaum muda sekitar dekade 1970 – 1990-an, sebagai penerus Dr. H. Ali Akbar (Tokoh Pendiri dan Pembina YARSI – Yayasan Rumah Sakit Islam Indonesia).

Dalam pengabdian profesi dan kiprah di masyarakat, Dadang Hawari memiliki reputasi nasional dan dikenal di dunia internasional. Kemampuannya memadukan pendekatan kedokteran dengan pendekatan keagamaan dalam bingkai keislaman diakui banyak kalangan. Ia seorang yang peduli dengan pembinaan generasi bangsa dalam kesehatan fisik dan jiwa serta pencegahan penyalahgunaan Narkoba dan Zat Adiktif lainnya (NAZA).

Pemikiran dan pandangan almarhum banyak mengedukasi masyarakat melalui forum-forum dialog/seminar, kolom media massa dan siaran televisi. Dadang Hawari menegaskan, iman benteng kuat melawan bunuh diri. Ia mensinyalir ada upaya penghancuran bangsa lewat narkoba. Dalam kesempatan lain, sebagai dokter psikiater yang sekaligus ustadz, Dadang Hawari memiliki tips mengeratkan keluarga, antara lain dengan shalat berjamaah.

Dadang Hawari dilahirkan di Pekalongan Jawa Tengah pada tanggal 16 Juni 1940. Lulus pendidikan dokter (umum) di FKUI pada tahun 1965, lalu melanjutkan ke pendidikan dokter ahli jiwa (psikiater). Almarhum dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Kesehatan Jiwa FKUI tahun 1993.

Karir almarhum bermula dari menjadi staf pengajar FKUI (1969 -1972), lalu Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) tahun 1966 - 1969, Kepala Kesehatan Jiwa DKK DKI Jakarta (1972 - 1975), Direksi Rumah Sakit Islam Jakarta (1972 - 1978), Pembantu Rektor III UI (1979 - 1982), Guru Besar Tetap FKUI mulai 1993, Staf Pengajar Agama Islam FKUI, Anggota Pleno Majelis Ulama Indonesia (MUI Pusat) selama dua periode 1995 - 2005, Ketua Umum Ikatan Dokter Ahli Jiwa Indonesia (IDAJI) Pusat dua periode 1988 1997, Tim Ahli DPR-RI (1995 2000), Staf Ahli Badan Koordinasi Narkotika Nasional, dan jabatan lainya.

Keaktifannya di sejumlah organisasi internasional membawa nama baik bangsa Indonesia. Dadang Hawari terpilih sebagai Presiden AFMPH (ASEAN Federation for Psychiatry and Mental Health) tahun 1993 - 1995, International Member World Federation for Mental Health dan organisasi lainnya. Dadang Hawari sering menghadiri forum ilmiah lintas negara berkaitan dengan kesehatan jiwa.

Sewaktu diundang DPR-RI dalam rangka pembahasan RUU Kesehatan Jiwa, April 2013, Dadang Hawari, memaparkan bahwa orang yang mengkonsumsi narkoba dan minuman keras memiliki kerusakan sistem transmisi syaraf di otaknya, sehingga pikiran, perasaan, dan perilakunya error juga. Makanya, disebut gangguan mental dan perilaku. Hal ini berbahaya kalau dibiarkan, sehingga perlu direhabilitasi serius. Oleh karena itu sangat perlu diatur dalam Undang-Undang.

Dadang Hawari pernah mengemukakan analisa mengenai depresi dalam diri prajurit TNI/Polri yang harus ditangani dengan serius. Menurutnya, sistem pembinaan fisik dan mental yang sudah ada di lingkungan TNI/Polri perlu dikaji ulang. Bagi seorang prajurit, depresi bisa disebabkan berbagai hal. Penugasan terlalu lama akan menimbulkan kelelahan fisik dan mental. Kondisi ini bisa menyebabkan seorang prajurit mengalami gangguan persepsi.

Belum lagi masalah minimnya anggaran yang berujung pada rendahnya tingkat kesejahteraan prajurit. Situasi ini berperan besar terhadap kinerja seorang prajurit di lapangan. Jika kesejahteraan kurang, pikiran bisa kemana-mana dan tidak fokus.

Depresi bisa terjadi pada siapa saja yang mengalami penurunan fisik dan mental. Maka perlu dikaji dan dievaluasi fisik dan mental prajurit Jaminan logistik jangan cuma di lapangan saja, tapi juga di rumah, sehingga mereka dapat dengan tenang bertugas di lapangan.

Pandangan di atas disampaikannya menanggapi terjadinya peningkatan kasus agresifitas di kalangan personil TNI dan Polri, yaitu seringnya terjadi bentrokan sesama personil, baik sesama anggota TNI maupun dengan Polri. Menurut Dadang Hawari, institusi TNI/Polri harus mewaspadai faktor-faktor pendorong agresifitas prajurit tersebut, termasuk mencegah peredaran minuman keras dan narkoba.

Sampai akhir hayat, Dadang Hawari sebagai psikiater publik melayani pasien dengan membuka klinik di kediamannya di bilangan Tebet, Jakarta Selatan. Klinik Dadang Hawari menangani berbagai kasus gangguan jiwa dan skizofrenia, konsultasi pranikah, disfungsi dan penyimpangan seksual, perkembangan anak dan remaja, serta membantu pemulihan pecandu narkoba dan minuman keras agar kembali hidup normal. Metode yang diterapkannya adalah metode terpadu dan holistik atau dikenal dengan metode BPSS (Bio-Psiko-Sosial-Spiritual).

Dalam pidato purnabakti Prof. Dr. dr. Dadang Hawari setelah 40 tahun pengabdian di FKUI (1965 - 2005) berjudul Paradigma Baru Di Bidang Kesehatan Jiwa, ia menegaskan bahwa faktor agama penting sekali bagi kelengkapan pemeriksaan psikiatrik. Dadang Hawari merujuk sejumlah literatur internasional mengenai hal tersebut. Dokter ahli jiwa (psikiater) hendaknya dapat menelusuri riwayat kehidupan beragama pasiennya sejak masa kanak-kanak hingga dewasa, sejauh mana pasien terikat dengan ajaran agamanya, sejauh mana kuatnya, dan sejauh mana hal ini mempengaruhi kehidupan pasien.

Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) pada tahun 1984 menambahkan dimensi agama sebagai salah satu dari empat pilar kesehatan manusia seutuhnya, meliputi: sehat secara jasmani, sehat secara kejiwaan, sehat secara sosial, dan sehat secara spiritual. Dadang Hawari satu dari sedikit dokter di Indonesia yang cukup lama berkonsentrasi dan tekun mengembangkan kajian, penelitian, dan narasi mengenai dimensi agama dalam kesehatan jiwa. Upaya Dadang Hawari seiring dengan yang dilakukan Prof. Dr. Hj. Zakiah Daradjat sebagai pelopor ilmu jiwa agama dari sudut dan perspektif non-medis.

Dalam buku Al-Quran, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa dikemukakan bahwa dari semua cabang ilmu kedokteran, cabang ilmu kedokteran jiwa (psikiatri) dan kesehatan jiwa (mental health) adalah yang paling dekat dengan agama. Bahkan, di dalam mencapai derajat kesehatan yang mengandung arti keadaan kesejahteraan (well being) pada diri manusia, terdapat titik temu antara kedokteran jiwa/kesehatan jiwa di satu pihak dan agama di lain pihak.

Masalah lain yang menjadi perhatian Dadang Hawari adalah mengenai ancaman krisis rumah tangga dalam masyarakat modern. Menurutnya, dalam masyarakat modern dan industri yang bercorak sekuler, individualistis, serta permisif, lembaga perkawinan adalah lembaga yang paling mengalami goncangan, sehingga sebahagian masyarakat lebih memilih hidup bersama tanpa nikah. Ia mengemukakan, di Amerika Serikat dan di negara-negara Barat lainnya, perkawinan tidak lagi dianggap sebagai ikatan yang sakral (suci). Hal ini disebabkan kehidupan beragama dalam perkawinan tidak dijadikan sebagai tiang rumah tangga. Krisis perkawinan terjadi, manakala pasangan lebih mementingkan penampilan fisik dan kebutuhan biologis samata, dan kurang memperhatikan aspek afeksional.

Dadang Hawari mengemukakan, dari sudut pandang agama, munculnya penyakit AIDS merupakan peringatan Tuhan kepada kaum homoseksual dan mereka yang melakukan perzinaan. Statistik membuktikan bahwa penularan penyakit maut ini 95,7 persen melalui perzinaan, yakni pelacuran, seks bebas dan homoseksual. Ia tidak sependapat dengan teks book Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) yang disusun oleh American Psychiatric Association (APA), di mana menyebutkan homoseksual bukan suatu gangguan mental atau kejiwaan. Menurut Dadang Hawari, Amerika Serikat jangan memaksakan kehendaknya terhadap negara berkembang terkait pemahaman soal lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender (LGBT).

Pada tahun 2004, saya menerbitkan kembali karya monumental almarhum Bapak H.S.M. Nasaruddin Latif tentang Tanya Jawab Masalah-Masalah Perkawinan dan Keluarga yang pernah dimuat di Majalah Kiblat dan Selecta. Dadang Hawari memberi Kata Pengantar, antara lain beliau menulis sebagai berikut:

“Buku tentang Nasihat Perkawinan ini termasuk langka dalam kepustakaan Indonesia, dan karena itu seyogianya setiap rumah tangga memiliki buku ini, karena isinya sangat luas dan komprehensif, baik dari sudut agama, hukum maupun etika moral. Setiap orang ingin menikah, namun disayangkan tidak ada sekolah untuk itu. Untuk menjadi dokter, sarjana ekonomi, sarjana hukum dan lainnya, ada sekolah untuk jurusan yang dimaksud; lalu bagaimana dengan sekolah untuk perkawinan?

Buku ini menjawab semua permasalahan yang berkaitan dengan perkawinan, mulai dari pra-nikah, nikah itu sendiri dengan segala permasalahan serta solusinya, dan masalah-masalah kebutuhan biologis (seksual). Sehubungan dengan hal tersebut di atas, kami anjurkan untuk mereka yang hendak menikah, sebaiknya belajar dan atau membaca buku ini agar dalam mengemudikan bahtera rumah tangga itu dapat dengan sabar menjalaninya dan yakin bahwa di balik kesulitan sesungguhnya ada kemudahan.

H.S.M.Nasaruddin Latif adalah seorang pelopor dalam dunia penasihatan perkawinan (marriage counselor) yang telah berpengalaman luas di dalam maupun di luar negeri. Pengalaman-pengalaman beliau selama menjadi Marriage Counselor dituangkan dalam buku ini. Oleh karena itu membaca buku ini seolah kita mendapat pelajaran di sekolah perkawinan yang secara formal belum ada sekolah atau kursus untuk itu. Semoga buku ini dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan berumah tangga yang dewasa ini sedang mengalami krisis, sebagai dampak modernisasi dan industrialisasi.

Sebagai catatan, dapat kami kemukakan di sini, di Amerika Serikat sendiri, 75% para suami selingkuh, sementara 40% para istri juga selingkuh dan perselingkuhan ini telah menjadi penyebab utama perceraian (Family Crisis American Psychiatric Association 1995).”

Semasa hidup, Dadang Hawari telah menulis sedikitnya 18 judul buku, di antaranya: Al Quran, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa (1996), Konsep Islam Memerangi AIDS dan NAZA (1995), Doa dan Dzikir Sebagai Pelengkap Terapi Medis (2001), Gerakan Nasional Anti MO-LIMO Madat, Minum, Main, Maling dan Madon (2001), Love Affair (Perselingkuhan) Prevensi dan Solusi (2002), Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Skizofrenia (2001), Manajemen Stress, Cemas dan Depresi (2002), Konsep Agama (Islam) Menanggulangi HIV/AIDS (2001), IQ, EQ, CQ, SQ, Kriteria Sumber Daya Manusia (Pemimpin) Berkualitas (2003), Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa Perspektif Al-Quran dan As-Sunnah (edisi kedua), Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, Psikiater 40 Tahun Pengabdian (1965 - 2005), dan beberapa judul lainnya. Tahun 1975 ia melakukan penelitian kesehatan jiwa Jemaah Haji Indonesia.

Hemat saya, selayaknya pemerintah memberi bintang tanda jasa sebagai penghargaan negara atas dedikasi keilmuwan dan pengabdian almarhum yang bermanfaat untuk masyarakat, bangsa dan negara.

Selamat jalan Profesor Dadang Hawari. Semoga mendapat tempat kembali yang mulia di sisi Allah SWT.

M. Fuad Nasar (Sesditjen Bimas Islam)

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua