Opini

(Opini) Soekarno-Hatta dan Idealisme Pancasila

Empat puluh tahun lalu, pada 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta satu-satunya Proklamator Kemerdekaan yang masih ada yaitu Dr. H. Mohammad Hatta (Bung Hatta) menyampaikan pidato memperingati hari lahir Pancasila. Berikut petikannya; “Adakah cukup rasa tanggungjawab untuk menyelenggarakan cita-cita bangsa dan tujuan negara sebagaimana mestinya menurut Pancasila? Soal inilah yang sangat disangsikan. Dalam kehidupan sehari-hari Pancasila itu hanya diamalkan di bibir saja. Apabila kita perhatikan kejadian-kejadian dalam masyarakat sejak beberapa tahun yang akhir ini, ternyata benar bahwa Pancasila itu belum meresap ke dalam jiwa rakyat. Lihatlah, mudah saja orang membunuh sesama manusia.”

Bung Hatta, tiada seorang pun di negeri ini yang meragukan integritasnya sebagai pejuang, negarawan dan pemimpin besar bangsa Indonesia yang berjuang tanpa pamrih memperbaiki nasib bangsanya. Selain itu beliau dikenal sebagai pemikir yang sangat dihormati dan memiliki kejujuran tinggi dalam segala hal. Kritik Bung Hatta terhadap perilaku sebagian elite yang mengklaim Pancasila sebatas retorika politik patut menjadi perhatian bangsa Indonesia hingga hari ini. Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia itu memperingatkan, “Kadang-kadang dalam lingkungan petugas negara Pancasila itu tidak diamalkan. Camkanlah, negara Republik Indonesia belum lagi berdasarkan Pancasila, apabila Pemerintah dan masyarakat belum sanggup mentaati Undang-Undang Dasar 1945, terutama belum dapat melaksanakan Pasal 27 ayat 2, pasal 31, pasal 33 dan pasal 34.” Pidato Bung Hatta tersebut diterbitkan oleh Yayasan Idayu menjadi buku berjudul Pengertian Pancasila (1981).

Salah satu modal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah saling percaya antara rakyat dengan pemimpin dan antara sesama rakyat. Akhir-akhir ini persatuan dan kesatuan bangsa sedang diuji. Provokasi memecah-belah bangsa dan konflik SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar-Golongan) tidak boleh dibiarkan menghancurkan negeri dan meruntuhkan bangunan persatuan. Para penyelenggara negara dan masyarakat umumnya, perlu introspeksi; apakah sikap, tingkah laku dan perbuatan kita telah mencerminkan idealisme Pancasila dan berada dalam arah rel yang benar sesuai cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 1945.

Sejarah Pancasila
Sejenak kita mengenang (kembali) sejarah ditetapkannya Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara yang tidak terpisahkan dari sejarah konstitusional pembentukan negara. Perumusan Pancasila tidak sekali jadi, tapi berproses mulai tanggal 1 Juni 1945 dan berpuncak pada tanggal 18 Agustus 1945 ketika rumusan final disepakati dan disahkan.

Pancasila adalah nama bagi lima prinsip dasar negara yang dibentangkan oleh Ir. Soekarno (Bung Karno) di depan sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tanggal 1 Juni 1945. Pidato bersejarah Bung Karno diterbitkan pada tahun 1947 dan diberi judul Lahirnya Pancasila. Bung Karno menyampaikan pidato lima prinsip dasar negara untuk menjawab permintaan Ketua Sidang BPUPKI dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat kepada Sidang BPUPKI tentang dasar Indonesia Merdeka?, atau dalam bahasa Belanda: “philosofische grondslag”.

Konsep Pancasila 1 Juni 1945 adalah masukan dari Bung Karno, sebagaimana masukan dari beberapa tokoh lain sebelumnya dalam Sidang BPUPKI, sehingga belum mempunyai kekuatan hukum. Pancasila kemudian dirumuskan oleh Panitia Kecil (Panitia Sembilan) BPUPKI berdasarkan ide dan konsep Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945, dengan beberapa penyempurnaan. BPUPKI antara tanggal 2 Juni sampai dengan 9 Juli 1945 mengadakan rapat bersifat informal karena berlangsung dalam masa reses anggota BPUPKI. Dalam tempo yang sangat penting dan bersejarah, para tokoh pendiri republik berhasil merumuskan satu gentlement agreement, kompromi dan konsensus nasional tentang dasar negara sebagai rancangan preambule konstitusi atau mukaddimah Undang-Undang Dasar. Mr. Muhammad Yamin memberi nama Piagam Jakarta.

Piagam Jakarta atau mukaddimah Undang-Undang Dasar ditanda-tangani pada 22 Juni 1945 oleh 9 orang Panitia Kecil (Panitia Sembilan) terdiri dari: Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Mudzakkir, Haji Agus Salim, Mr. Achmad Subardjo, K.H. A. Wahid Hasjim, dan Mr. Muhammad Yamin. Dalam rangkaian rapat BPUPKI, Bung Karno selaku Ketua Panitia Sembilan sangat gigih mempertahankan Piagam Jakarta yang memuat rumusan Pancasila. Piagam Jakarta semula dimaksudkan sebagai pernyataan proklamasi kemerdekaan Indonesia, namun tidak jadi digunakan pada 17 Agustus 1945. Tidak bisa dipungkiri Piagam Jakarta itulah yang melahirkan Proklamasi dan Konstitusi, seperti ditegaskan oleh Mr. Muhammad Yamin dalam bukunya Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia (1952).

Sehari setelah proklamasi, tepatnya 18 Agustus 1945, Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan Piagam Jakarta menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan perubahan beberapa bagian kalimat yang dihapus. Seperti tercatat dalam sejarah, Jumat 17 Agustus 1945 sore bertepatan dengan bulan Ramadhan, seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang) diutus oleh Nisyijima, Pembantu Admiral Mayeda, datang ke rumah Bung Hatta menyampaikan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam daerah yang dikuasai Angkatan Laut Jepang merasa keberatan dengan kalimat “Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, karena kalimat itu tidak mengikat mereka tapi hanya mengenai orang-orang Islam. Jika itu ditetapkan dalam Pembukaan UUD, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.

Dalam buku Sekitar Proklamasi (1970) Bung Hatta mengungkapkan fakta sejarahnya, “Karena opsir angkatan laut Jepang itu sungguh-sungguh menyukai Indonesia Merdeka yang bersatu sambil mengingatkan pula kepada semboyan yang selama ini didengung-dengungkan ‘bersatu kita teguh berpecah kita jatuh’, perkataannya itu berpengaruh juga atas pandangan saya. Tergambar di muka saya perjuangan saya yang lebih dari 25 tahun lamanya, dengan melalui bui dan pembuangan, untuk mencapai Indonesia Merdeka, bersatu dan tidak terbagi-bagi. Apakah Indonesia yang baru saja dibentuk akan pecah kembali dan mungkin terjajah lagi karena suatu hal yang sebenarnya dapat diatasi? Kalau Indonesia pecah, pasti daerah di luar Jawa dan Sumatera akan dikuasai kembali oleh Belanda dengan menjalankan politik devide et impera, politik memecah dan menguasai.” pikir beliau

Bung Hatta mempertanyakan bukankah Mr. A.A. Maramis dalam Panitia Sembilan tidak mempunyai keberatan apa-apa dan ia ikut menanda-tangani Piagam Jakarta? Bung Hatta tidak sempat melakukan verifikasi, apakah ultimatum itu benar atau rekayasa pihak Jepang. Beliau kemudian membicarakan dengan tiga anggota PPKI yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Teuku Moh. Hasan dan Mr. Kasman Singodimedjo. Setelah melalui diskusi mendalam di antara tiga tokoh Islam tersebut akhirnya disetujui pencoretan tujuh kata mengenai syariat Islam dan diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Bung Hatta menjelaskan makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah tauhid. Dalam pandangan Ki Bagus Hadikusumo yang juga Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, arti istilah Ketuhanan Yang Maha Esa tiada lain ialah tauhid. Dalam biografi Mr. Teuku Moh. Hasan dan Mr. Kasman Singodimedjo dikemukakan hal yang sama bahwa arti Ketuhanan Yang Maha Esa ialah tauhid. Seperti ditulis Bung Hatta dalam Sekitar Proklamasi, semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dan tiap-tiap peraturan dalam kerangka syariat Islam yang hanya mengenai orang-orang Islam dapat dimajukan sebagai Rencana Undang-Undang ke DPR dan setelah diterima oleh DPR mengikat umat Islam Indonesia.

Sementara orang memandang tujuh kata menyangkut syariat Islam dalam Piagam Jakarta lahir dari pandangan ideologi. Sebetulnya tujuh kata itu lahir dari pandangan sosiologi karena umat Islam merupakan mayoritas, maka konstitusi negara Republik Indonesia wajar mengatur hal demikian. Semua anggota BPUPKI baik dari golongan “nasionalis islami” maupun “nasionalis sekuler” pada waktu itu mufakat menerima Pancasila sebagai landasan falsafah dasar negara dan ideologi nasional. Kalau belakangan ini, ada kalangan melihat pertentangan Pancasila dan UUD 1945 dengan Piagam Jakarta 22 Juni 1945, mungkin itu sebuah pandangan ahistoris.

Menurut sejarah yang otentik, ide dan konsep Pancasila 1 Juni 1945, perumusan Pancasila dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945, dan perumusan Pancasila dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang disahkan dalam Sidang PPKI pada 18 Agustus 1945, masing-masing tidak berdiri sendiri, melainkan satu continuum yang tidak dapat dipisahkan.

Sejarah pembentukan dasar negara dan pergulatan pemikiran kebangsaan para founding fathers negara di awal kemerdekaan membuktikan toleransi pemimpin Islam dan umat Islam sebagai kekuatan persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu tidak berlebihan H. Alamsjah Ratu Perwiranegara (Menteri Agama RI tahun 1978–1983) menegaskan, “Pancasila adalah pengorbanan dan hadiah terbesar umat Islam untuk persatuan dan kemerdekaan Indonesia.”

Pancasila hakikatnya merupakan perjanjian luhur antara negara dengan rakyat dan antara rakyat dengan rakyat. Pancasila tidak mungkin bertentangan dengan Al-Quran, kecuali penjabarannya dijauhkan dari nilai-nilai agama. Sejatinya Pancasila akan hidup subur dengan naungan nilai-nilai agama. Dalam kaitan ini baik digaris-bawahi pandangan Mr. Sjafruddin Prawiranegara, tanpa Islam mustahil nasionalisme terbentuk cepat di Indonesia. Umar Wirahadikusumah semasa menjabat Wakil Presiden RI menandaskan, “Pancasila tanpa agama tidak mempunyai makna apa-apa......”

Pemahaman Pancasila
Dalam beberapa tulisan dan pidato Bung Hatta menjelaskan Pancasila mengandung dua lapis fundamen falsafah yaitu “fundamen moral” (etik agama, sila ke-1) dan “fundamen politik” (sila ke-2 sampai dengan sila ke-5). Dalam pandangan Bung Hatta, “Dengan dasar-dasar ini sebagai pimpinan dan pegangan, pemerintah negara pada hakekatnya tidak boleh menyimpang dari jalan lurus untuk mencapai kebahagiaan rakyat dan keselamatan masyarakat, perdamaian dunia serta persaudaraan bangsa-bangsa.”

Dalam pendahuluan tulisan Pancasila Jalan Lurus (1966) Bung Hatta menegaskan, Revolusi Indonesia yang dicetuskan dengan Proklamasi 17 Agustus 1945, yang disemangati oleh Pancasila, tidak mengenal jalan kanan dan jalan kiri, hanya mengenal jalan lurus yang diridhai oleh Tuhan Yang Maha Esa. “Sila Ketuhanan Yang Maha Esa - tulis Bung Hatta dalam Pengertian Pancasila (1981) – tidak hanya dasar hormat menghormati agama masing-masing, seperti yang dikemukakan bermula oleh Bung Karno, melainkan menjadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, dan persaudaraan.”

Seperti terangkum dalam Kumpulan Pidato III (2002) Bung Hatta mengemukakan bahwa sesuai sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia mengakui adanya kekuasaan yang memberi petunjuk kepada manusia supaya memegang kebenaran, keadilan dan kebaikan. Dengan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa seperti tersebut dalam sila pertama Pancasila, rakyat Indonesia menempatkan politik nasional di atas dasar moral.

Dalam Pancasila Jalan Lurus, Bung Hatta mengemukakan pengertian persatuan Indonesia ialah Tanah Air kita Indonesia adalah satu dan tidak dapat dibagi-bagi. Persatuan Indonesia mencerminkan susunan negara nasional yang bercorak bhinneka tunggal ika, bersatu dalam berbagai suku bangsa, yang batasnya ditentukan dalam Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dasar ini menegaskan sifat Republik Indonesia sebagai negara nasional, berdasarkan ideologi sendiri. Selanjutnya, dasar kerakyatan menciptakan pemerintahan yang adil, yang dilakukan dengan rasa tanggungjawab, agar tersusun sebaik-baiknya demokrasi Indonesia, yang mencakup demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Dasar keadilan sosial adalah pedoman dan tujuan kedua-duanya. Dengan melaksanakan cita-cita ini dalam praktik, rakyat hendaknya dapat merasakan keadilan yang merata dalam segala lapangan hidup, dalam bidang ekonomi, bidang sosial dan bidang kebudayaan.

Salah satu tugas negara – sambung Bung Hatta – ialah mempergunakan sumber daya alam menjadi kapital kemakmuran rakyat. Karena itu, beliau meletakkan prinsip konstitusi sebagai pokok-pokok pelaksanaan kesejahteraan sosial, antara lain; bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Bung Hatta semasa hidupnya tiada lelah memperjuangkan gerakan koperasi sebagai soko guru ekonomi Indonesia. Cita-cita koperasi Indonesia adalah menentang individualisme dan kapitalisme secara fundamental.

Pancasila dan Kondisi Bangsa
Kesetiaan kepada Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika yang dikampanyekan belakangan ini di tengah berbagai kegaduhan yang timbul dalam kehidupan bangsa – bahkan ada yang menyebut Indonesia mengalami darurat integrasi bangsa – sangat memerlukan tindaklanjut dan langkah konsisten mewujudkan idealisme Pancasila ke dalam kenyataan hidup sehari-hari. Sikap saling tuding terkait persoalan anti-Pancasila dan anti-Kebhinnekaan hanya akan menghabiskan energi bangsa dan ukuran nasionalisme anak bangsa bukan terletak pada klaim verbal tentang Pancasila.

Tantangan terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini ialah mampukah kita menjaga kedaulatan NKRI dari intervensi kekuatan asing, menanggulangi kemerosotan moral dan dehumanisasi dalam kehidupan sosial, mencegah perbuatan korupsi, serta mengatasi ketimpangan kondisi ekonomi yang semakin melebar.

Bung Karno menjanjikan dalam pidato 1 Juni 1945 bahwa. “...tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka.” Dalam kaitan itu Bung Hatta memberi definisi “kemakmuran rakyat” ialah apabila rakyat terlepas dari kemiskinan yang menyiksa dan bahaya kemiskinan yang mengancam. Menurut Bung Hatta pemerintah harus bertindak supaya tercapai penghidupan sosial yang lebih baik. Dalam Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) tanggal 15 Juni 1979 yang merupakan pidato Bung Hatta terakhir, bapak bangsa itu mengutarakan, “Negara kita berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi politik perekonomian negara di bawah pengaruh teknokrat kita sekarang, sering menyimpang dari dasar itu. Politik liberalisme sering dipakai jadi pedoman.”

Pancasila juga harus dipahami sebagai ideologi pembangunan dan dijadikan tolok ukur dalam menilai keberhasilan pembangunan Indonesia. Mengutip data Global Wealth Report (2016), ketimpangan di negara kita cukup tinggi, di mana 1% kelompok masyarakat terkaya menguasai hampir separoh atau 49,3% kekayaan nasional di Indonesia. Adanya ketimpangan sosial ekonomi menunjukkan bahwa prinsip keadilan sosial dalam Pancasila masih belum menjadi nafas pembangunan nasional.

Pancasila an sich tidak bisa mengubah kondisi bangsa, tetapi manusia Indonesia yang konsisten melaksanakan Pancasila yang akan mengubah kondisi bangsa menjadi lebih baik. Kalau semua elemen bangsa konsisten dengan Pancasila dan merealisasikan amanat Pembukaan UUD 1945, niscaya persatuan dan kedamaian dalam kehidupan bangsa akan terus terpelihara. Kecenderungan neo-liberalisme dan kapitalisme dalam ekonomi tidak mungkin terjadi kalau kita semua konsisten dengan sistem ekonomi berlandaskan Pancasila.

Disadari atau tidak, selama masih banyak rakyat yang tidak bernasib mujur, menderita kemiskinan, kesulitan mendapatkan lapangan pekerjaan, atau merasakan ketidakadilan dan terpinggirkan, akan selalu muncul ideologi perlawanan, radikalisme, gesekan dalam masyarakat, dan bahkan merambatnya kriminalitas yang berpotensi meruntuhkan kekeluargaan bangsa. Hal-hal yang tak diinginkan itu harus dicegah dan ditanggulangi bersama.

Semboyan Pekan Pancasila dalam rangka Peringatan Hari Lahir Pancasila tanggal 1 Juni 2017 yaitu, “Saya Indonesia Saya Pancasila!”, bisa dikembangkan lebih lanjut, “Saya Indonesia, Saya Pancasila, Saya Bertakwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa, Saya Anti Korupsi, Saya Bukan Pengkhianat Negara, Saya Bukan Pemecah-Belah Bangsa.” Semboyan yang positif harus diikuti dengan perbuatan yang positif pula. “Pancasila harus tertanam dalam hati yang suci dan diamalkan dengan perbuatan nyata. Pancasila tidak boleh dijadikan hiasan bibir saja, itu berarti pengkhianatan pada diri sendiri.” demikian pesan Bung Hatta yang terasa semakin relevan untuk dicamkan di tengah realitas kondisi bangsa dewasa ini.

Saya kira penting diperhatikan catatan tokoh pemikir kebangsaan Dr. Saafroedin Bahar (2017) bahwa Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara harus disosialisasikan secara berlanjut kepada para penyelenggara negara. Seluruh proses legislasi dan kebijakan eksekutif harus bisa dipertanggungjawabkan dari aspek Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara.

(Penulis: M. Fuad Nasar, ASN Kemenag, Pemerhati Sejarah, Magister Ketahanan Nasional UGM)

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua