Opini

Puasa dan Praktik Toleransi

M. Ishom El Saha (Wadek 1 Fakultas Syariah UIN SMH Banten dan Pengasuh Pesantren Arrohimiyyah)

M. Ishom El Saha (Wadek 1 Fakultas Syariah UIN SMH Banten dan Pengasuh Pesantren Arrohimiyyah)

Puasa melatih diri secara pribadi maupun kelompok untuk berbuat toleransi dan saling menghargai satu dengan lainnya. Dalam ibadah puasa, terkandung kewajiban asasi manusia. Bagi yang melakukan puasa, ibadah ini adalah bentuk syukur dan terimakasih kepada Allah SWT yang memberikan kepadanya berupa hak hidup, tumbuh, dan berkembang di dunia. Sepatutnya ketika Tuhan Yang Maha Pencipta memerintahkan puasa, maka makhluk yang baik menuruti perintah-Nya. Hak asasi manusia untuk sementara waktu dikalahkan karena ada kewajiban asasi yang harus dijalankan.

Begitu pula manusia pada umumnya, di saat ada saudara, kerabat, tetangga, sahabat dan handai taulannya menjalankan puasa, mereka hendaknya tidak egois menuruti hak asasinya. Kepada mereka dibagikan pengalaman bahwa untuk mewujudkan harmoni kehidupan bermasyarakat dan bersosial dalam ruang waktu tertentu, mereka harus mengesampingkan tuntutan hak asasi manusia dan lebih mengutamakan kewajiban asasi manusia, yakni saling menghormati dan bertoleransi bersama-sama dengan ummat Islam yang sedang menjalankan puasa.

Puasa digariskan Tuhan bukan untuk memisahkan dan mempolarasi antara mereka yang berpuasa dengan yang tidak berpuasa. Puasa justru dapat dijadikan pembelajaran bagi tiap-tiap umat manusia di muka bumi bahwa antara hak asasi manusia dan kewajiban asasi manusia harus berjalan beriringan untuk wahana latihan menciptakan harmoni kehidupan dan perdamaian. Sebab, manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain dengan saling menghormati hak asasi masing-masing dan memenuhi kewajiban asasi antar pribadi dan kelompok masing-masing.

Totalitas Puasa
Puasa secara totalitas bertujuan melatih orang untuk menahan hawa nafsu. Seseorang berpuasa pada tahap awal berlatih menahan lapar, dahaga, dan hasrat seksual. Kemudian orang yang puasa diharapkan dapat menjaga dan mengendalikan panca indra dan semua anggota badannya. Sebagai puncaknya diharapkan setiap orang mampu mempuasakan hatinya. Sebab, hati memiliki fungsi sentral dapat menggerakkan panca indra dan anggota tubuh manusia untuk melakukan dorongan dan kemauan hatinya.

Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya di dalam diri hamba Allah, terdapat segumpal darah. Apabila ia baik maka menjadi baik pula seluruh jasadnya." Dengan kata lain jika seseorang telah berhasil mempuasakan hatinya diharapkan secara totalitas manusia terhidar dari sikap, pikiran, dan tindakan yang tercela.

Dengan proses yang sedemikian rupa, maka hak asasi manusia menjadi berlaku obyektif. Hak asasi yang mengemuka pada tiap-tiap individu adalah betul-betul lahir dari hati sanubari dan bukan karena dorongan keinginan dan nafsu belaka. Dengan paradigma ini, bukan berarti pola hidup manusia dituntut menjadi seperti malaikat yang tidak punya hajat hidup. Sebagai, manusia tentunya memiliki kebutuhan dan hajat hidup sehingga melahirkan hak asasi manusia. Akan tetapi kebutuhan dan hajat hidup itu terbatas untuk segala sesuatu yang bernilai positif dan memiliki nilai tambah karena lahir dari hati yang jernih dan terang yang setiap tahun dipuasakan di bulan Ramadan.

Orang yang berhasil mempuasakan hatinya maka hidupnya menjadi tenang dan tentram. Mereka tidak berpikir dan berkeinginan yang aneh-aneh. Rasulullah Saw bersabda: "Jika tentram hati ini maka menjadi tenang seluruh anggota badan". Totalitas puasa bertujuan membentuk karakter pribadi dan kelompok yang hatinya tentram, pikirannya tenang, tindakannya mantap dan matang, serta sikapnya toleran penuh kasih sayang.

Spiritualitas Ramadan
Dengan memahami tujuan puasa, diharapkan spiritualitas Ramadan ini tidak hanya identik dengan umat Islam, tetapi juga umat agama lainnya, terutama di Indonesia. Apalagi bangsa Indonesia sejak dari zaman dulu memiliki karakteristik tersendiri dalam bentuk tradisi maupun spiritual selama bulan Ramadan. Sekalipun di antara mereka tidak menjalankan puasa, akan tetapi mereka turut serta dalam mewarnai spiritualitas bulan Ramadhan.

Kultur masyarakat Indonesia selama bulan Ramadan yang terbangun secara turun-temurun perlu dipupuk terus di kalangan generasi muda. Sikap egois dan menonjolkan kepentingan sendiri yang akhir-akhir ini menyeruak seiring dengan kebebasan ber-medsos (media sosial) harus diredam dengan mengingatkan kembali memori kolektif bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi spiritualitas Ramadan sebagai kearifan lokal.

Sedah berlaku lama menjelang puasa masyarakat Indonesia melakukan tradisi semacam "megengan", "munggahan" dan lainnya sebagai wujud semua lapisan masyarakat memaklumatkan masuknya bulan puasa. Ada pula tradisi "ngabuburit", "takjilan" dan lainnya menjelang berbuka puasa, di mana masyarakat tanpa membedakan ras, suku, dan agama saling menjajakan aneka makanan dan minuman berbuka. Kegiatan-kegiatan itu berjalan sampai sekarang adalah bukti bahwa masyarakat Indonesia sangat harmonis dan sangat toleran.

Pada akhirnya kita sama sama berharap di bulan Ramadan tahun 1444 M. kehidupan beragama masyarakat Indonesia bertambah harmonis. Satu sama lain saling menghargai dan menghormati. Dus, bulan puasa benar-benar dijadikan sebagai moment membangun toleransi.

M. Ishom El Saha (Wadek 1 Fakultas Syariah UIN SMH Banten dan Pengasuh Pesantren Arrohimiyyah)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua