Opini

Dari Tuman Menjadi Tumandang

Secara harfiah, kata "tuman" berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti bergantung, numpang keenakan. Tuman berakar kata dari kata "tuma" yang berarti kutu rambut. Karakter kutu rambut yang suka menghisap darah di kepala ini adalah mudah beranak pinak dan susah dibasmi jika sudah menyebar di seluruh rambut kepala. Karakter ini lalu dinisbahkan menjadi sifat seluruh makhluk yang hidup bergantung dan merasa nyaman dengan posisinya itu: dengan sebutan "tuman". Jadi konotasi tuman adalah negatif.

Sekalipun begitu ada pula penggunaan istilah tuman secara positif jika disambung dengan kata dang yang berarti cekatan atau cepat. Artinya hidup bergantung terkadang diperlukan: seperti ketika pertamakali beradaptasi, namun cukup sesaat saja. Dengan demikian, tumandang berarti cepat menyesuaikan diri untuk sesegera bertindak mandiri. Oleh karenanya orang yang cekatan dalam bahasa Jawa disebut tumandang.

Tuman adalah karakter pemalas dan penikmat yang tak mau bekerja keras. Seseorang yang hidup berpangku tangan, merasa nyaman dengan kondisi yang ada, serta tidak mau turun tangan ketika terjadi persoalan di sekelilingnya juga dianggap tuman. Tuman merupakan sikap tercela yang harus dijauhi. Allah berfirman dalam QS.al-Baqarah: 195: wa laa tulquu biaydiikun ilat-tahlukah (janganlah berpangku tangan sampai (diri kalian) musnah).

Sementara tumandang merupakan karakter pekerja keras dan petarung ulung. Seseorang yang turun tangan ketika menghadapi persoalan tanpa bergantung kepada uluran tangan orang lain juga disebut tumandang. Dalam Al-Qur'an, manusia juga disebut dabbah (tuma yang melata) yang dijamin rejekinya asal mau berusaha. Firman Allah dalam QS. Hud: 6; wa maa min daabbatin fil-ardhi Illaa 'alallahi rizquha (tidak ada satupun yang melata di muka bumi kecuali pasti Allah tentukan rejeki baginya).

Oleh sebab itulah, di saat sekarang kerap muncul gambar kartun bertemakan "tuman" di media sosial, perlu dipahami apa sebagai pesan moral atau kritik sosial? Jika dianggap pesan moral berarti masyarakat menginginkan agar bangsa ini tidak bergantung terus dan seharusnya bahu-membahu membenahi segala hal yang masih kurang. Tuman merupakan antitesa dari gerakan revolusi mental yang membawa spirit agar kita bekerja keras dan hidup bergotong-royong serta ber-"tumandang" sesuai dengan peran masing-masing.

Sebaliknya jika tuman dianggap sebagai kritik sosial maka sejatinya masyarakat sedang dalam kondisi klimaks melihat kondisi bangsa yang tak kunjung bergerak dan nasib bangsa yang tak kunjung berubahan. Korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) menggurita dalam lingkaran pejabat teras atas sampai bawah. Degradasi moral meluas hingga ke pelosok kampung berupa semakin bertambahnya angka penyalahgunaan narkoba, kasus pornografi dan pornoaksi. Semua itu adalah masalah yang dianggap tuman oleh masyarakat.

Kita tak perlu sinis terhadap pesan moral maupun kritik sosial yang termuat dalam kata tuman. Sebaliknya kita harus dapat membuktikan menjadi bangsa tumandang: Bukan bangsa tuman. Tujuannya agar sejahtera hidup kita, tentram dan nyaman hati kita. Kita perkuat spirit revolusi mental dengan cara mengubah kebiasaan tuman menjadi tumandang dengan tujuan akhirnya thuma'ninah (tenang) hati kita.

M. Ishom el-Saha
(Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Serang)

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua