Opini

Esensi Dakwah Perayaan Sekaten

Untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, masyarakat Yogyakarta memiliki upacara kebudayaan yang telah dilanggengkan ratusan tahun. Upacara itu sering disebut dengan sekaten. Kata “sekaten” berasal dari “syahadatain” yang berarti dua kalimat syahadat. Yakni sebuah perjanjian ijab-qabul antara seorang hamba dengan Sang Khalik Allah SWT.

Seiring berkembangnya zaman, perayaan sekaten juga ditandai dengan dibukanya Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS). Ibarat pepatah, di mana ada gula di situ ada semut, maka banyak penjual menjajakan dagangannya. Mulai dari penjual yang hampir terpinggirkan seperti endog abang (telur berwarna merah), kapal othok-othok (kapal mainan terbuat dari seng), hingga yang modern seperti arena bom-bom car dan pakaian serta perlengkapan rumah tangga.

Awalnya, Sekaten merupakan buah karya kreativitas dari Walisongo, khususnya Sunan Kalijaga. Beliau memang dikenal sebagai juru dakwah yang sangat mengapresiasi kebudayaan Jawa. Maka, untuk menarik simpati masyarakat waktu itu, beliau memainkan instrumen gamelan Jawa yang kelak dinamai Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu.

Pada tanggal 5 Mulud (Rabbiulawal), kedua perangkat gamelan itu dikeluarkan dari tempat penyimpanannya di Kraton, tepatnya dari bangsal Sri Manganti ke Bangsal Ponconiti yang terletak di Kemandungan Utara (Keben). Kemudian menjelang tengah malam, kedua perangkat gamelan yang memiliki laras suara merdu itu diarak menuju pelataran Masjid Gedhe Kauman, tepatnya di sisi utara dan selatan. Prosesi arakan disertai oleh pasukan abdi dalem dan prajurit Keraton berseragam lengkap.

Dulu pada saat Sunan Kalijaga memainkan gamelan tersebut, banyak masyarakat berbondong-bondong untuk melihat karena penasaran. Masyarakat mesti melewati parit di masjid sebagai simbol wudhu (penyucian diri). Lalu sebagai ‘tiket’ mendengarkan alunan gamelan dari jarak dekat, masyarakat umum waktu itu diminta untuk membaca syahadatain. Sejurus kemudian Sunan Kalijaga memberikan petuah ataupun nasihat moral yang bersumber dari ajaran agama Islam.

Begitulah Sunan Kalijaga menyebarkan nilai moral, menebar benih-benih dakwah bagi masyarakat yang waktu itu sebagian besar masih menganut animisme ataupun dinamisme. Sunan Kalijaga bukannya antipati, kemudian dengan mudah mencap kafir—sebagaimana yang justru akhir-akhir ini dengan mudahnya muncul ke permukaan—tetapi justru mengakomodir dan mampu memanfaatkan seni budaya Jawa sebagai pintu masuk penyebaran dakwah. Hal ini jelas menyiratkan keluasan, kewaskitaan dan kedalaman ilmu yang dimiliki Sunan Kalijaga—yang semasa muda dikenal sebagai bromocorah kelas wahid bernama Berandal Lokajaya.

Sedang hari ini, kita melihat tak sedikit juru dakwah yang terkesan mau menang sendiri. Cenderung kaku dan mengklaim pendapatnya sendiri yang paling benar. Bahkan tak jarang begitu mudah mengkafirkan pihak lain. Dakwah model semacam ini, bukannya menyejukkan, menentramkan dan mempersatukan umat, namun justru menampilkan citra dakwah yang menyeramkan. Padahal sejatinya tidak. Dakwah adalah ajakan moral yang mesti disampaikan dengan lemah lembut (bil-hikmah). Seruan amar ma’ruf nahi munkar mesti disampaikan dengan kesejukan, keterbukaan, dan tidak menghakimi pihak lain.

Pesan dakwah paling esensial dalam perayaan sekaten adalah agar kita mampu untuk meneladani Nabi SAW. Dalam Alquran disebutkan bahwa beliau diutus untuk memperbaiki akhlak manusia. Beliau merupakan Nabi penutup zaman yang mendapat tugas untuk membawa manusia dari zaman jahiliyah menuju zaman penuh cahaya Ilahiyah. Pertanyaannya, apakah kita sudah meninggalkan kejahiliyahan dalam arti sebenarnya?

Maka, perayaan sekaten dalam rangka Maulid Nabi Muhammad SAW seyogianya dijadikan ajang refleksi pencerahan spiritual. Bahwa perayaan sekaten itu baik, namun jauh lebih mulia bagi kita untuk mencoba meneladani sosok dan akhlak Nabi Saw. Pesan dakwah sekaten dan Maulid Nabi SAW begitu bermakna di tengah kegersangan spiritual umat belakangan ini.

Bramma Aji Putra (Humas Kanwil Kementerian Agama DIY)

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua