Opini

Hafal dan Titen sebagai Metode Belajar Nusantara

Ishom el Saha

Ishom el Saha

Tak terbayang, jika dari dulu negeri ini tidak mempertahankan metode belajar hafalan dan titenan. Mungkin kita tak tahu cerita Ramayana, Mahabarata, Dewa Ruci, dan lainnya. Sebab, cerita-cerita itu dapat diwarisi secara turun-temurun karena hafalan dan titenan yang dikembangkan melalui tradisi lisan.

Banyak yang salah sangka perkembangan tradisi lisan yang berkembang luas di tengah masyarakat Nusantara dianggap sebagai kelemahan literasi masyarakat. Bagaimanapun juga, cerita legenda yang berkembang lewat tradisi lisan itu semula juga dibangun melalui budaya literasi.

Masyarakat di Nusantara dari dulu sudah mengenal aksara dan bahasa khas Nusantara yang sering diidentikkan sebagai literasi Sansekerta, yang padahal tidak seratus persen kebenarannya. Namun banyak yang punah, dan tinggal menyisakan beberapa saja.

Budaya literasi kalah dengan budaya tutur lisan sebab secara geografis negeri ini kurang ramah terhadap literasi. Iklim tropis, misalnya, berdampak mempercepat perubahan warna tinta dan rusaknya media tulisan yang berusia di atas 50 tahun. Letak geografis negeri ini yang rawan bencana juga sangat menentukan kelangsungan budaya literasi.

Dengan alasan itulah, masyarakat Nusantara dari dulu lebih mengutamakan hafalan dan titenan. Atas dasar itu pula kurang tepat jika metode hafalan dianggap metode usang dan kuno yang tak perlu dikembangkan lagi dalam dunia pendidikan sekarang.

Apa ada jaminan budaya literasi dengan dukungan perangkat teknologi canggih, tak akan terganggu atau bahkan hilang musnah dalam konteks geografis dan kerawanan serta risiko kebencanaan negeri Indonesia?

Mungkin tak terpikir di benak kita bahwa di balik menghafal, terdapat banyak aktivitas, seperti mengingat, mengilustrasikan, membandingkan, hingga membuat simbol-simbol dalam nalar pikiran. Gabungan dari berbagai aktivitas itu lebih mudahnya disebut titenan (bahasa Jawa yang berarti padanan dan pencocokan), yang seringkali melahirkan ilmu pengetahuan baru. Titenan diibaratkan mengkloning jaringan sel otak ke dalam jaringan sel otak yang baru.

Seseorang yang pertamakali menghafal, seringkali merasa kesulitan dan menjadi beban. Akan tetapi jika terbiasa mengahafal dan sudah mampu titen, maka menghafal berubah menjadi kegemaran. Seseorang yang gemar menghafal biasanya memiliki kecerdasan di atas rata-rata manusia seusianya.

Oleh sebab itu, pertahankanlah kegiatan hafalan dan titenan sebagai metode belajar Nusantara. Apalagi buat kita yang di mana-mana masih menghadapi kekurangan kebutuhan tenaga pendidik dan media belajar. Kita tak perlu takut dicap generasi kolot!

M. Ishom el-Saha (Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten)

Tags:

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua