Opini

Hakordia dan Madrasah Antikorupsi

Nurul Badruttamam (Alumni Madrasah, Kabag Kepegawaian dan Umum Itjen Kemenag RI)

Nurul Badruttamam (Alumni Madrasah, Kabag Kepegawaian dan Umum Itjen Kemenag RI)

Hari Anti Korupsi seDunia (Hakordia) yang diperingati setiap 9 Desember selalu mengingatkan kita pada sejuahmana perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia? Sudah banyak koruptor yang ditangkap, namun kasus-kasus baru masih saja terjadi. Bahkan, ada juga tersangka korupsi yang usianya masih terbilang muda, 24 tahun.

Hal ini menjadi lampu kuning bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebab, faktanya koruptor telah beregenerasi. Mereka yang membutuhkan role model dalam setiap lakunya, teracuni oleh pertunjukan parade korupsi di negeri ini.

Negara mesti segera mengambil peran untuk menyiapkan karakter generasi muda. Indonesia tidak hanya membutuhkan generasi professional dan kompetitif, tapi juga bersih dan berintegritas. Keterlibatan Indonesia pada penandatangan Konvensi PBB tentang Antikorupsi atau United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) pada 18 Desember 2003 harus dibuktikan dengan kehadiran negara dalam mendukung setiap gerakan antikorupsi, baik secara internasional maupun di dalam negeri.

Madrasah Antikorupsi

Setahun yang lalu, tepatnya 7 Desember 2021, Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas pada Rapat Koordinasi Nasional Pendidikan Antikorupsi bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kementerian/Lembaga lainnya menyampaikan empat strategi penguatan implementasi pendidikan melalui pembangunan integritas ekosistem pendidikan di sekolah dan madrasah.

Pertama, melalui insersi atau penyisipan sehingga peserta didik dapat menginternalisasi nilai-nilai mulia pada setiap tingkah lakunya, nilai kejujuran, dan tidak berlaku curang. Kedua, integrasi dalam mata pelajaran dengan substansi pendidikan moral, yakni hadits, akhlak dan fiqih. Ketiga, keterlibatan guru untuk mengawal strategi maupun metode pembelajaran yang tepat untuk menumbuhkan sikap positif pada peserta didik, seperti sportif, tanggung jawab, disiplin, dan berkomitmen. Sedangkan, strategi yang terakhir adalah pendidikan dan pelatihan secara mandiri. Kegiatan ini tentunya dapat diselenggarakan melalui lembaga diklat yang ada pada setiap Kementerian/Lembaga.

Strategi yang disampaikan Gus Men tersebut tentu telah mengacu pada semangat untuk membangun integritas pada ekosistem pendidikan. Mengapa sektor pendidikan? Karena pendidikan merupakan bagian yang sangat fundamental dalam membangun sebuah negara yang bermartabat, adil, dan bijaksana. Dalam konteks ini, pendidikan antikorupsi di sekolah maupun madrasah merupakan salah satu strategi untuk menciptakan budaya antikorupsi pada generasi bangsa.

Terlebih, Kementerian Agama membina madrasah yang mengintegrasikan pendidikan agama dengan umum. Madrasah diharapkan dapat membangun pola pendidikan antikorupsi yang sistematik, misalnya melalui insersi pada mata pelajaran Aqidah Akhlak.

Dengan itu, madrasah dapat hadir menjadi pilot project percontohan pendidikan antikorupsi. Siswa dapat terlibat secara aktif dan sadar bahaya korupsi bukan hanya tahu dan paham sanksi yang akan didapatkannya, tetapi juga dapat menginternalisasi tindakan antikorupsi dalam setiap perilakunya.

Gayung bersambut, saat ini banyak madrasah yang berhasil dalam pembangunan Zona Intergritas (ZI) menuju Wilayah Bebas Korupsi (WBK). Sebagai contoh, ada MAN 2 Kudus dan MAN Karangasem; dua madrasah ini mendapat penghargaan dari Kementerian Pendayagunaan dan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PAN dan RB) dalam pembangunan ZI WBK. Ini menunjukkan kesiapan madrasah dalam mengembangkan budaya kerja birokrasi antikorupsi.

Bicara pemberantasan korupsi, tentu Kementerian Agama tidak dapat berjalan sendiri. Pemberantasan korupsi membutuhkan kerja berjamaah, melibatkan semua pihak, serta keterlibatan aktif seluruh stakeholder. Dalam konteks madrasah antikorupsi, guru menjadi salah satu aktor utama. Peran guru madrasah sangat penting, sebagai stakeholder utama yang bersentuhan langsung dengan siswa.

Madrasah Antikorupsi juga bukan program instan. Pelaksanaannya harus dilakukan secara berkelanjutan. Prosesnya terjadi secara maraton untuk mengukur sejauh mana benih-benih antikorupsi telah mengakar dalam setiap sanubari siswa madrasah. Hasilnya bisa jadi baru dapat dirasakan ketika mereka memegang tongkat estafet kepemimpinan negeri ini.

Harus disadari, para siswa sebagai generasi bangsa merupakan aktor utama dari bonus demografi. Tugas kita menjaga mereka agar tidak jatuh pada kubangan korupsi karena minim teladan dan pendidikan dari pendahulunya.

Menjadikan mereka sebagai aktor perubahan antikorupsi yang sarat akan keunggulan, berkarakter, produktif, dan berintegritas adalah tugas kita. Sama halnya menjadi tugas kita juga untuk menjadikan generasi bangsa tidak hanya cendekia dan berprestasi, tetapi juga tangguh dan berintegritas tinggi.

Maka, sudah saatnya menjadikan madrasah sebagai laboratorium pendidikan antikorupsi sekaligus percontohan bagi satuan pendidikan lain. Dan ini harus segera dilakukan, tanpa harus menunggu nanti. Saatnya kita junjung tinggi semangat Madrasah Hebat, Bermartabat!

Nurul Badruttamam (Alumni Madrasah, Kabag Kepegawaian dan Umum Itjen Kemenag RI)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua