Opini

Meneguhkan Pesantren sebagai Laboratorium Perdamaian

Wildani Hefni

Wildani Hefni

Pengakuan negara terhadap pesantren melalui Keputusan Presiden Nomor 22 tahun 2015 tentang penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional (HSN) menjadi pembuka kesadaran historis bersama. Yang terbaru, disahkannya Undang-Undang Pesantren pada 24 September yang lalu melengkapi kehadiran negara dalam merangkul entitas pesantren yang melekat dalam dinamika kesejarahan Indonesia.
Tahun ini, Kementerian Agama berkolaborasi dengan Kementerian Luar Negeri memperingati HSN dengan mengusung tema “Santri Indonesia untuk Perdamaian Dunia”. Tema ini menegaskan posisi pesantren dalam tiga besar fondasi pemikiran yaitu keberagamaan, keindonesiaan, dan kebhinnekaan.

Melayani Keragaman
Santri sudah terbiasa bersosialisasi dengan pelbagai karakter. Sejak di pesantren, para santri telah dilatih menjadi pribadi yang tangguh untuk menghadapi tantangan zaman yang sangat dinamis. Dialektika pemikiran juga telah diasah dengan pelbagai isu dan masalah. Tidak ada santri “kagetan”. Tidak ada santri “instan” yang lahir dan tumbuh dari pengajian kilat. Para santri lahir dari tradisi keilmuan yang panjang dengan karakter humanis, toleran, inklusif, dan moderat. Dalam ancaman disintegrasi dan sentimen agama, santri pasang badan mendukung arah kebangsaan dengan setia pada keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dalam dunia pesantren, tidak ada pemahaman tunggal yang harus dipaksakan. Pesantren ibarat surga ilmu pengetahuan dan jauh dari karakter penjara keilmuan. Tidak ada batasan untuk belajar ilmu, apalagi membatasi pengetahuan. Pembatasan pengetahuan inilah yang dalam empat tahun terakhir ini menjadi pemicu lahirnya konflik dan segregasi sosial. Permusuhan dan pertikaian tidak dapat dihindari akibat perbedaan pemahaman yang menyulut sumbu egoisme. Bahkan, terjebak dalam jurang ekstremisme yang kaku dalam balutan fanatisme.

Karakter semacam itu tidak pernah diajarkan di pesantren. Dunia pesantren telah terbiasa dengan keragaman kecerdasan dan tradisi mencerdaskan keberagaman. Pesantren tumbuh dan mengakar dalam stratum yang berdiri sendiri dengan mengandalkan identitas kolektif yang memancar dari karakteristik psikologis, perilaku, gaya hidup, status sosial, sistem nilai, dan jati diri kebangsaan.

Dunia pesantren menekankan suatu kesamaan identitas dalam perbedaan (identity in difference) dan keragaman dalam kebersamaan identitas (difference in identity). Keragaman itu dimaknai oleh insan pesantren sebagai jalan misi suci (mission sacre) untuk mengabdi kepada bangsa sebagai daya gerak spiritualitas bersama. Tidak berlebihan, jika kita menyebut pesantren menjadi teladan (role model) Pendidikan Islam yang mengokohkan jati dirinya sebagai laboratorium perdamaian dan keragaman.

Menyemai Perdamaian
Kaum pesantren berada dalam strata intelegensia sebagai kelompok yang memiliki karakteristiknya sendiri. Mereka tidak terikat oleh kepentingan kelas atau profesi, apalagi kesepatakan politik dengan tujuan pragmatis atau posisi istimewa dari negara. Mereka disatukan oleh kesamaan sikap tertentu dan cara pandang hidup yang sama dari hasil warisan budaya yang melampaui batas-batas nasional. Dalam kancah internasional, para santri tetap bertahan dengan tradisinya yang sarat dengan kemampuan dialektik. Tak heran, di panggung internasional, para santri tampil menjadi penyemai gagasan perdamaian lewat dialog akademis.

Dengan mudah kita bisa melihat kiprah seorang santri bernama Nadirsyah Hosen di Australia. Gus Nadir menjadi pengajar senior di Monash University dan Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand. Ia telah menulis puluhan buku berbahasa Inggris yang menjadi rujukan dalam kultur akademik internasional. Tentu masih banyak para santri lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam tulisan ini. Belum lagi kalau kita merinci pelbagai kitab karangan Ulama Nusantara yang dikaji di berbagai belahan dunia.

Tidak hanya itu, para santri yang tersebar di seluruh kampus dunia yang tergabung dalam Community of Santri Scholars of Ministry of Religious Affairs (CSS MoRA) atas beasiswa Kementerian Agama juga tampil menjadi duta perdamaian. Mereka mengisi ruang-ruang dialog dan wacana keagamaan. Di Australia, penulis terlibat langsung dalam menyuarakan perlawanan terhadap ektremisme agama dan Islamophobia.

Kerja-kerja akademik dalam menyemai perdamaian itu sejatinya merupakan hasil dari rutinitas kegiatan santri yang biasa dilatih di pesantren. Para santri menjadi penulis cum-aktifis yang menjadikan berpikir sebagai rutinitas kerja sekaligus sambil bermain. Betapapun lebarnya perbedaan, tak pernah menjadi halangan untuk tetap bersama. Tradisi ini dikembangkan sejalan dengan perbedaan pendapat dalam tradisi Islam. Dalam ilmu fiqih saja, terdapat perbedaan dari empat mazhab. Dalam konteks ini, para santri biasa mengadu argumen dalam sebuah forum ilmiah untuk membahas suatu persoalan (bahtsul masail). Mereka berdiskusi, berdebat, namun tidak sampai pada penghakiman terhadap argumen atau pendapat orang lain.

Beginilah cara kerja pesantren membangun khazanah keilmuan, termasuk membangun ikhtiar kolektif yang berada dalam satu tarikan nafas tanggung jawab kolektif kebangsaan. Para santri mengadu gagasan untuk menghasilkan khazanah keilmuan dengan memikul tanggung jawab sebagai kader bangsa. Dialektika kaum santri berada dalam ranah akademik, bukan arena konflik yang menyisakan luka dan derita.

Semarak peringatan hari santri nasional tahun ini setidaknya dapat mendorong kiprah para intelektual pesantren di panggung internasional dalam menyongsong cita-cita perdamaian global yang menghendaki terciptanya kedamaian, toleransi, dan inovasi. Dengan hal tersebut, kaum pesantren dapat menunjukkan jati dirinya sebagai duta perdamaian yang memiliki akar kuat dengan nilai-nilai kebangsaan, keindonesiaan, kebhinnekaan, dan keberagamaan. Semoga.

Wildani Hefni, Dosen IAIN Jember, mahasiswa di Australian National University, aktif di Community of Santri Scholars of Ministry of Religious Affairs (CSS MoRA) wilayah Australia-New Zealand

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua