Nasional

MUI: MESKI BERBEDA-BEDA SUASANA IDUL FITRI DAMAI

Jakarta, 24/10 (Pinmas) - Meski umat Islam ada yang merayakan Idul Fitri 1427 Hijriyah pada Senin 23 Oktober dan ada pula yang merayakannya pada Selasa, 24 Oktober, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tetap melihat suasana damai dan kebersamaan dalam masyarakat. "Saya tidak melihat adanya suasana yang panas di tengah-tengah perbedaan itu. Yang saya lihat suasana Idul Fitri tetap sejuk, penuh kedamaian dan kebersamaan," kata Ketua MUI KH Ma`ruf Amin di Jakarta, Selasa. Menurut KH Ma`ruf yang menjadi khotib Idul Fitri di kawasan BNI Sudirman itu, kondisi yang damai di tengah perbedaan menandakan masyarakat Muslim di Indonesia cukup dewasa dan menganggap perbedaan adalah suatu yang tak perlu dibesar-besarkan. PB NU sendiri, lanjut kyai NU itu, secara resmi beridul-fitri pada Selasa 24 Oktober, meski ada sebagian warga Nadliyin, seperti di Jombang dan lain-lain yang melaksanakannya pada Senin karena mendengar laporan hilal (bulan) terlihat (dapat dirukyat). Ia mengatakan, mengacu pada Fatwa MUI no 2/2004 tentang perlunya ormas-ormas Islam tunduk pada ketetapan pemerintah dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, pihaknya akan mengupayakan titik temu mengenai kriteria hisab rukyat. "Kami upayakan mencari titik temu, apa sih sebenarnya yang membuat berbeda, kalau secara ilmiah bisa satu, mungkin berbeda di kriterianya, atau ada dalil. Tetapi kalau tetap beda tak ada masalah," katanya. Sebelumnya surat Kepala Observatorium Bosscha, ITB, Dr Taufiq Hidayat pada Senin (23/10), menyatakan, dari hasil perhitungan, tampak bahwa Minggu (22/10) petang ketika matahari terbenam, hilal masih berada di atas ufuk (kaki langit), tetapi ketinggiannya hanya satu derajat. "Bahkan di sebagian besar wilayah Indonesia Timur bagian utara hilal tenggelam lebih dulu dibanding matahari. Selain itu, tingkat iluminasi hilal juga masih jauh dari satu persen yang menyebabkan bahwa hilal mustahil dilihat," katanya. Peneliti Planetarium dan Observatorium Jakarta, Cecep Nurwendaya menambahkan, hilal akan tampak bila jarak sudut bulan dan matahari (elongasi) lebih dari tujuh derajat, sementara sekarang ini jarak sudutnya hanya 3-4 derajat. "Alat canggih pun tak kan mampu mendeteksi hilal, kecuali salah lihat," katanya. Kondisi ini, lanjut dia, berbeda dengan PP Muhammadiyah yang menetapkan 1 Syawal dengan hisab (perhitungan) tanpa perlu rukyat. "Menurut hisab, hilal memang sudah wujud, sudah masuk bulan baru, meski tingginya hanya satu derajat dan tak bisa dilihat," katanya.(Ant/Ba)
Tags:

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua