Opini

Penguatan Moderasi Islam di PTKI

Kasubdit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Suwendi. (foto: istimewa)

Kasubdit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Suwendi. (foto: istimewa)

Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) saat ini menjadi salah satu benteng atas gencarnya “serangan” radikalisme keagamaan yang menguat di berbagai lembaga pendidikan di Indonesia. Ini seiring temuan sejumlah lembaga penelitian, seperti PPIM UIN, ALvara, Wahid Institute, dan LIPI, yang menyajikan data dan fakta tentang terpaparnya civitas akademika lembaga pendidikan, mulai dari sekolah hingga perguruan tinggi umum, oleh gerakan radikalisme.

Temuan tersebut menengarai keterbatasan pengetahuan agama sebagai salah satu sebab. Pengajaran agama (Islam) di sekolah yang hanya 2 - 3 jam pelajaran dalam satu minggu atau mata kuliah pendidikan agama (Islam) pada perguruan tinggi umum yang hanya 2 - 3 sks dirasa sangat kurang. Durasi waktu yang terbatas tentu tidak memberi ruang banyak bagi guru dan dosen untuk memberikan pengetahuan agama (Islam) yang mendalam.

Sementara di PTKI, bobot pengajaran mata-mata kuliah agama Islam cukup besar. Apalagi, untuk fakultas dengan konsentrasi ilmu agama Islam dengan berbagai variannya. Walhasil, dibanding perguruan tinggi umum, PTKI cenderung lebih “bebal” dalam menghadapi ideologi radikal. Karenanya, dalam sebuah diskusi yang dihadiri sejumlah pengamat dan BNPT, dinyatakan bahwa Indonesia patut bersyukur karena memiliki PTKI. Di tangan PTKI, penyemaian ajaran keislaman moderat masih memiliki denyut dan harapan yang besar guna memperkokoh identitas kebangsaan dan ajaran Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi.

Sungguhpun demikian, terdapat sejumlah “titik krusial” yang perlu dicermati di PTKI. Titik-titik krusial ini perlu mendapatkan perhatian yang memadai dari stakeholder PTKI agar tradisi keilmuan, keislaman, kebangsaan, dan kemasyarakatan tetap terjaga. Dalam tulisan ini, penulis ingin mengungkap sejumlah titik krusial yang perlu mendapatkan langkah prioritas.

Pertama, input mahasiswa. Berdasarkan data awal yang diperoleh, mahasiswa baru PTKIN yang berlatar belakang pendidikan Madrasah Aliyah ternyata tidak lebih dari kisaran 15 hingga 20 %. Sisanya, sekitar 80 hingga 85% berlatar belakang pendidikan dari SMA, SMK dan Paket C. Angka ini, di satu sisi cukup menggembirakan. Bahwa ternyata PTKIN diminati lulusan pendidikan umum. Namun, data ini juga menyisakan problem tersendiri, terutama pada kapasitas minimal pengetahuan agama yang dimilikinya. Gelar Sarjana Agama (S.Ag) akan menjadi taruhan akan kualitas keagamaan yang dimiliki lulusan PTKI. Kondisi ini perlu diseriusi pimpinan dan stakeholder agar jangan sampai ada lulusan PTKI yang tidak dapat baca-tulis Alquran dan/atau tidak mengetahui kewajiban keagamaan yang melekat pada dirinya sebagai seorang muslim (beban fardlu ain).

Kedua, dosen pengampu mata kuliah ilmu umum umumnya tidak memiliki background pendidikan agama dan keagamaan, baik madrasah (MI, MTs, MA), pondok pesantren, maupun pendidikan diniyah. Dosen seperti ini sebaiknya diberi pembekalan, diskusi, dan pencerahan tentang metodologi studi Islam dan wawasan keagamaan yang memadai.

Ketiga, pasca transformasi kelembagaan dari IAIN ke UIN, terdapat fakta tentang merosotnya peminat program studi keislaman, terutama yang berbasis tafaqquh fiddin. Program studi semisal Tafsir Hadis, Aqidah dan Filsafat, Perbandingan Agama, Perbandingan Mazhab, serta Jinayah dan Siyasah langka peminat. Bahkan, untuk mempertahankannya perlu langkah afirmatif, berupa beasiswa. Padahal,DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) PTKI adalah tafaqquh fiddin. Untuk itu, transformasi kelembagaan PTKI, dari IAIN ke UIN, misalnya, jangan sampai melunturkan identitas dan DNA-nya di bidang tafaqquh fiddin itu.

Keempat, mata kuliah metodologi studi Islam, termasuk yang diajarkan pada program-program studi keislaman, secara periodik perlu dilakukan penelaahan ulang. Wawasan dan metodologi studi keislaman saat ini lebih cenderung simplifikatif, yang dibatasi dengan penguasaan keagamaan minimal. Sementara mata-mata kuliah, semisal ilmu kalam (filsafat Islam), tasawuf, ilmu mantik, pembaharuan dalam Islam, dan mata-mata kuliah lain sebagai instrumen penguatan metodologi berfikir dalam Islam, cenderung “punah”. Kondisi ini menghantarkan pada terkendalanya ruang-gerak untuk berwawasan secara kritis-rasional, termasuk dalam memahami ajaran-ajaran keislaman di kalangan PTKI.

Keempat hal di atas, tentu masih banyak lainnya, merupakan beberapa indikasi atas tantangan serius yang akan berimplikasi pada kualitas keagamaan (Islam) di lingkungan PTKI. Stakeholders PTKI harus mampu melakukan langkah dan kebijakan strategis sehingga pada gilirannya tidak terjebak ke dalam gerakan dan faham radikalisme keagamaan. Untuk itu, sejumlah usulan program berikut, tampaknya perlu dimassifkan di lingkungan PTKI dan segera untuk ditindaklanjuti.

Pertama, untuk penguatan keagamaan pada mahasiswa perlu dilakukan penyelenggaraan Mahad Al-Jami’ah di lingkungan PTKI. Ma’had Al-Jami’ah merupakan lembaga pendidikan keagamaan Islam pada jalur nonformal di tingkat pendidikan tinggi untuk mempersiapkan peserta didik dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Keberadaan Ma’had Al-Jami’ah memiliki basis regulasi yang kuat, yakni Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Pendidikan Keagamaan Islam.

Pada Paragraf 1 Pasal 46 ayat (3) disebutkan: “Jenjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas jenjang ula, wustha, ulya, dan al-jami’ah”. Sementara pada ayat (7) diatur: “Jenjang al-jami’ah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diikuti oleh peserta didik pada pendidikan tinggi”. PMA ini merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, yang lahir atas tuntutan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Pada aspek kurikuler, Ma’had Al-Jami’ah dapat mengembangkan setidaknya dua model aksentuasi, yakni “melengkapi” dan “mendalami”. Yang dimaksud “melengkapi” adalah kurikulum yang diarahkan untuk mempersiapkan mahasiswa sehingga dapat menjalankan peranan dirinya sebagai seorang muslim dan mampu memiliki penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama Islam dengan baik. Dalam konteks ini, ilmu-ilmu agama yang bersifat fardlu ‘ain menjadi alat ukur minimal yang harus diajarkan.

Sementara sasaran untuk kurikulum “melengkapi” ini diutamakan kepada mahasiswa yang tidak memiliki latar belakang pendidikan keagamaan Islam yang cukup, seperti lulusan SMA, SMK, serta Paket C yang tidak mengikuti layanan pendidikan di pondok pesantren atau madrasah diniyah takmiliyah dan/atau lulusan pendidikan yang tidak cukup kuat di bidang kutub al-turats (kitab kuning).

Adapun kurikulum “mendalami” adalah kurikulum yang diarahkan untuk menghasilkan lulusannya menjadi ahli ilmu agama Islam (mutafaqqih fiddin). Sasaran untuk kurikulum ini adalah mahasiswa yang memiliki latar belakang pendidikan keagamaan Islam yang baik, seperti lulusan Madrasah Aliyah atau lulusan SMA/SMK yang berada di lingkungan pondok pesantren atau lulusan pendidikan yang cukup kuat penguasaannya di bidang kutub al-turats (kitab kuning).

Penyelenggaraan Ma’had Al-Jami’ah di lingkungan PTKI, setidaknya bisa dilakukan melalui tiga pilihan tempat kegiatan, yakni: asrama PTKI, berkolaborasi dengan pondok pesantren sekitar PTKI, dan membentuk “komunitas pesantren mahasiswa”. Pertama, asrama-asrama yang dimiliki oleh PTKI hendaknya tidak hanya difungsikan sebagai “tempat nginap” para mahasiswa semata, tetapi dijadikan sebagai Ma’had Al-Jami’ah yang kaya dengan kegiatan dan aktivitas sesuai dengan kurikulum Ma’had. Dalam konteks ini, pembangunan infrastruktur PTKI, seperti yang bersumber dari dana SBSN (Surat Berharga Syariah Negara) atau sumber lainnya, ada baiknya juga dialokasikan untuk pembangunan Ma’had Al-Jamiah sehingga setiap PTKIN memiliki Ma’had Al-Jami’ah yang baik.

Kedua, PTKI perlu menggandeng sejumlah pondok-pondok pesantren yang berada di sekitar lokasi PTKI yang didorong menjadi bagian dari penyelenggaraan Mah’ad Al-Jami’ah. Kurikulum dan penyelenggaraan kegiatan dikolaborasi sedemikian rupa sehingga para mahasiswa memiliki kesempatan untuk mengikuti proses pembelajaran Ma’had Al-Jamiah melalui pondok pesantren.

Ketiga, “komunitas pesantren mahasiswa” di antaranya dilakukan dengan memaksimalkan rumah-rumah kontrakan di sekitar PTKI sebagai bagian dari penyelenggaraan Ma’had Al-Jami’ah. Dalam konteks ini, pimpinan PTKI melakukan komunikasi dan pelibatan masyarakat yang memiliki kontrakan sebagai lokus pembelajaran Ma’had Al-Jamiah.

Tenaga pendidik yang dilibatkan dalam proses kegiatan Ma’had Al-Jami’ah dapat berasal dari internal dosen PTKI dan/atau dari eksternal PTKI yang setidaknya memiliki tiga kriteria utama, yakni: militansi kebangsaan dan keindonesiaan yang kuat, penguasaan keislaman dan metodologi berpikir yang handal serta mampu membaca kitab kuning, dan memiliki kecakapan dan kemampuan pergaulan dalam bermasyarakat dengan baik. Untuk tenaga pendidik Ma’had Al-Jami’ah yang berasal dari internal PTKI dapat dihargakan sebagai salah bentuk (atau dikonversikan) dari implementasi pengabdian kepada masyarakat sehingga yang bersangkutan memenuhi beban kerja dosen dari aspek pengabdian.

Kedua, untuk penguatan keagamaan pada dosen-dosen pengampu mata kuliah umum yang tidak memiliki latar belakang pendidikan keagamaan Islam, hendaknya dibuat serangkaian program penguatan keislaman, seperti diskusi rutin atau shortcourse moderasi Islam, dan program lainnya yang memastikan adanya kegiatan yang berkesinambungan. Menghadirkan tokoh atau dosen yang kuat di bidang studi keislaman untuk kemudian didiskusikan dengan dosen-dosen bidang studi umum ini memiliki manfaat yang multiefek.

Di samping untuk penguatan kajian keislaman (islamic studies) yang bermuara pada moderasi keislaman di kalangan dosen pengampu mata kuliah umum, kegiatan ini juga untuk mendorong pola bangunan integrasi ilmu yang dikembangkan di masing-masing PTKI. Integrasi ilmu yang menjadi karakteristik keilmuan, sekaligus pembeda antara PTKI dengan perguruan tinggi lainnya, harus benar-benar terejawantahkan dan terfahami secara serius di lingkungan stakeholders PTKI.

Ketiga, penguatan kajian Islam yang bermuara pada tafaqquh fiddin sebagai core-business PTKI merupakan harga mati. DNA dari PTKI adalah tafaqquh fiddin. Di tengah arus radikalisme keagamaan yang demikian gencar, sesungguhnya ilmu-ilmu yang berorientasi pada tafaqquh fiddin saat ini mendapatkan momentum yang tepat. Pendidikan ilmu tafaqquh fiddin dibutuhkan masyarakat. Ilmu-ilmu ini juga akan mampu menghalau tafsir dan faham keagamaan yang tidak linier dengan maksud dan tujuan kehadiran agama itu sendiri. Dengan metodologi keilmuan yang valid dan penguasaan sumber-sumber literatur yang otoritatif, penguatan bidang tafaqquh fiddin ini pada gilirannya akan mampu meredam narasi-narasi radikalisme sehingga akan merevitalisasi eksistensi PTKI sendiri. Untuk itu, sejumlah program dan kebijakan strategis patut dilakukan, semisal, dengan subsidi terhadap program-program studi tafaqquh fiddin, mengintensifkan diskusi, seminar, riset dan publikasi tentang tafaqquh fiddin, dan lain-lain.

Keempat, penguatan metodologi studi Islam hendaknya dilakukan dengan reformulasi kurikulum di lingkungan PTKI, utamanya yang diarahkan untuk menguatkan kembali mata kuliah-mata kuliah metode berfikir, tasawuf, sejarah peradaban keislaman, dan pembaharuan di dunia Islam. Reformulasi kurikulum ini hendaknya mampu memastikan bahwa apapun program studinya, semua mahasiswa PTKI memiliki wawasan dan metodologi berfikir yang baik, nalar yang rasional, dan mampu menganalisis persoalan-persoalan kekinian dengan baik. Tentu saja, implementasi reformulasi kurikulum ini melibatkan dengan sejumlah stakeholders asosiasi keilmuan yang ada di lingkungan PTKI dan pemegang kebijakan.

Sejumlah “titik krusial” dan tawaran penanganan untuk menguatkan moderasi Islam di lingkungan PTKI perlu menjadi komitmen bersama untuk dilakukan secara sinergis. Dengan tanpa menafikan langkah dan strategi lainnya, sejumlah tawaran di atas dapat dimulai pada masing-masing lingkungan PTKI dan tingkat struktur manapun. Yang pasti, moderasi Islam menjadi sebuah keharusan dan harga mati bagi PTKI. Sebab, di tangan PTKI-lah kita menaruh harapan besar bagi kelangsungan negeri ini

Suwendi
Pegawai Kementerian Agama RI, tinggal di Ciputat

Tags:

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua