Opini

Tradisi Baru Intelektual Muslim Era Covid-19: Belajar dari Tadarus Litapdimas

Makhrus El Mawa

Makhrus El Mawa

Kebijakan pembatasan berskala besar dalam pencegahan pandemi Covid-19 bukan alasan untuk tidak produktif. Beragam kajian dalam jaringan (daring) justru subur digelar banyak pihak, tidak terkecuali Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis).

Selama masa Work From Home (WFH) dan Learning From Home (LFH), Sub Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Diktis menggelar “Tadarus Litapdimas” atau Penelitian, Publikasi Ilmiah dan Pengabdian kepada Masyarakat. Sejak edisi perdana, tadarus ini ternyata disambut antusias oleh publik, utamanya civitas akademika Perguruan Tinggi Keagamaan Islam.

Tingginya ekspektasi dan antusiasme ini oleh Direktur Diktis M Arskal Salim GP disebut sebagai kehidupan atau tradisi baru intelektual muslim di era Covid-19. Litapdimas menjadi ikon baru di lingkungan dosen PTKI se-Indonesia. Jika ditarik ke belakang, hal ini juga tidak terlepas dari pengembangan sistem baru dalam manajemen penelitian di PTKI yang lebih transparan, terbuka, efesien, efektif, akurat, dan akuntabel melalui website http://litapdimas.kemenag.go.id. sejak akhir tahun 2017.

Sistem ini merupakan tonggak baru dalam tradisi riset di lingkungan para dosen PTKI, di mana proposal riset harus diusulkan satu tahun sebelumnya, sesuai tahapan-tahapan akademik dan administrasinya. Proposal harus disampaikan secara terbuka di hadapan dewan penilai (reviewer) yang resmi mendapatkan lisensi dari Direktorat Jenderal Pendidikan Islam.

Tadarus bermakna melakukan kajian, bukan sekadar bacaan. Istilah ini diambil dari kata Bahasa Arab, tadaarasa yatadaarasu, tadaarusan, bermakna saling mempelajari. Dalam sebuah hadits Nabi Saw. disebutkan, “Tidak ada suatu kaum yang berkumpul di sebuah rumah dari rumah Allah (masjid) yang di dalamnya dibacakan kitab Allah dan dipelajari kandungannya (yatadaarasuuna), tidak ada balasan kecuali akan turun para malaikat menaburkan kasih sayang dan para malaikat memintakan ampunan bagi mereka” (HR. Muslim). Kata yang digunakan dalam hadits tersebut, yatadaarasuuna, berarti mempelajari bersama atau saling mengkaji. Dalam konteks yang senada itulah, tadarus untuk litapdimas disematkan.

Tadarus Litapdimas dikandung maksud untuk saling berbagi pengetahuan hasil penelitian terbaik supaya diketahui publik, bukan hanya insan akademisi semata. Pengetahuan itu mulai dari cara melakukan penelitiannya, sampai dengan hasil temuan dan manfaatnya. Hasil penelitian yang dikaji adalah hasil penelitian terbaik. Kategori penelitian terbaik PTKI ini sudah ditetapkan pada tahun 2019 bersamaan dengan kegiatan Biannual Conferense on Result Research (BCRR) di Bandung.

Diseminasi penelitian melalui Tadarus Litapdimas ini menjadi cara baru bagi para peneliti menyampaikan hasil kajiannya di hadapan publik. Presentasi singkat secara online tersebut sebenarnya sudah lebih lama dibanding dengan pada saat seleksi BCRR. Saat itu, 25 finalis hanya diberi waktu presentasi selama 3 (tiga) menit atau three minute presentation di hadapan dewan penilai (reviewer). Presentasi 3 menit hasil penelitian inipun cara baru dalam tradisi riset di lingkungan PTKI.

Ke-25 finalis ini terpilih dari 66 judul penelitian terbaik yang diusulkan PTKI. Sebelumnya, ada 135 judul penelitian PTKI yang dinilai memenuhi standar penelitian terbaik secara administratif, antara lain, minimal pernah diterbitkan atau sedang proses penerbitan pada jurnal terakreditasi Sinta-2 atau buku hasil penelitian yang telah diterbitkan oleh penerbit nasional.

Karenanya, wajar jika sejak edisi perdana pada 23 April 2020 sampai edisi ke-7 pada 14 Mei 2020, Tadarus Litapdimas mendapat sambutan publik. Sebab, tema penelitiannya memang sudah terpilih secara selektif dan berjenjang. Berdasarkan google form kehadiran peserta yang disebarkan pada saat acara berlangsung mencapai 8.785 peserta, antara lain 7.386 (84%) merupakan ASN dan dosen, sisanya adalah mahasiswa dan kalangan umum. Banyak pula peminat tadarus ini dari luar PTKI.

Dari sisi usia, peserta tadarus paling banyak berada pada rentang 31-40 (43%). Sebanyak 5.845 peserta, lulusan S-2 dan 1.870 peserta lainnya adalah lulusan S-3. Peserta perempuan lebih besar 4.650 (53%) dari laki-laki 4.135 (47%).

Tak kalah penting lagi, para dosen yang hadir juga cukup menjanjikan untuk melakukan perubahan pada masa depan penelitian. Sebab, sebagin besar tingkat jabatan fungsionalnya adalah Asisten Ahli (3.556 atau 48%), Lektor (2.943 atau 39%), Lektor Kepala (894 atau 12%) dan Guru Besar (43 atau 1%). Jika diprediksi, para asisten ahli ini mayoritas sudah doktor, minimal magister, sebuah potensi yang sangat besar untuk kinerja riset di PTKI ke depannya.

Seiring berjalannya Tadarus Litapdimas, model serupa juga tumbuh meluas, khususnya di kalangan PTKI. Misalnya, kajian diseminasi hasil karya ilmiah di lingkungan LP2M, seperti Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA), Pusat Pengabdian, maupun pendampingan terbitan jurnal-jurnal serta Webinar. Di internal Diktis, selain Tadarus Litapdimas, ada juga acara talk show Coffee Break Indonesia (COFFID), tentu saja dengan segmen yang berbeda. Baik Tadarus maupun Coffid, keduanya saling melengkapi dan mempunyai kelebihan masing-masing, apalagi didesain oleh pihak direktorat yang sama.

Kiranya tidak berlebihan jika dikatakan telah lahir tradisi baru intelektual muslim era covid-19 ini. Ketika Litapdimas melakukan ikhtiarnya dengan bertadarus, para dosen PTKI dapat memanen ilmu pengetahuan tanpa batas waktu dan tempat. Jika terus berjalan dan menjamur, perlu ada kajian juga tentang batas ideal setiap orang mengikuti webinar dalam sehari.

Juga kajian tentang bentuk kehidupan baru seperti apa yang perlu dan menjadi kebutuhan umat manusia pasca covid-19 ini? Pertanyaan ini patut segera ditemukan jawabannya, sebelum korban baru muncul dari model Webinar yang mewabah.

Di tengah wabah Covid-19, Tadarus Litapdimas patut menjadi model kehidupan baru kalangan akademisi, khususnya di lingkungan PTKI. Kegiatan ini sekaligus menjadi ajang pembuktian hasil penelitian PTKI yang selama ini dinihilkan kemanfaatannya. Namun, kita semua patut waspada dan hati-hati akan dampak negatifnya.

Akhirnya, semoga kita tetap menjadi manusia yang memanusiakan manusia lainnya dan senantiasa mengedepankan unsur keadilan, keselamatan, dan kedamaian. Dengan berpuasa yang akan genap sebulan ini, lengkap sudah kiranya, secara fisik/jasad kita sebagai orang muslim telah diingatkan model baru ibadah kita, pola komunikasi, atau silaturahim kita, supaya tidak menafikan kelompok yang berbeda, karena semua terkena dampak covid-19 ini. Saatnya aspek ruhani kitapun harus dikedepankan untuk dapat memahami yang lain atau yang berbeda dengan model kehidupan baru yang akan hadir tidak lama lagi. Wallahul musta’an

Mahrus eL-Mawa (ASN Ditjen Pendidikan Islam Kemenag, Kasi Penelitian dan Pengelolaan HKI Diktis)

Tags:

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua