Buddha

Hidup Rukun dan Damai dalam Moderasi

Ilustrasi

Ilustrasi

“Di dunia ini kebencian belum pernah berakhir,
jika dibalas dengan membenci,
tetapi kebencian akan berakhir,
kalau dibalas dengan cinta kasih.
Ini adalah hukum kekal abadi”
(Dhammapada I, 5)

Hidup rukun sangat penting dimiliki dalam menjalani kehidupan di lingkungan keluarga, agama, masyarakat, berbangsa, maupun bernegara. Hidup rukun dapat dilakukan dengan cara tolong menolong, tidak bermusuhan, bersikap toleran, serta moderat antarsesama.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), moderasi diartikan sebagai pengurangan kekerasan atau penghindaran keekstreman. Moderasi adalah konsep yang menekankan pada sikap saling menghormati dan toleran di antara kelompok agama yang berbeda. Konsep ini mengajarkan bahwa setiap orang memiliki hak untuk memilih dan menjalankan ajaran agamanya masing-masing, tanpa adanya tekanan atau intimidasi dari pihak manapun.

Dalam agama Buddha, terlahir kembali sebagai manusia adalah sebuah keberuntungan. Tetapi manusia turut bertanggung jawab dalam menjaga keutuhan dunia. Kekacauan dan kedamaian ada di tangan manusia. Semua orang mendambakan hidup rukun dan damai, tetapi tidak semua orang mampu mewujudkannya.

Buddha mengajarkan ada dua sifat yang jika dikembangkan akan dapat menciptakan kedamaian di dunia ini, yaitu malu berbuat jahat (hiri) dan takut akan akibat perbuatan jahat (ottapa). Kedua sifat ini disebut sebagai Dhamma Pelindung Dunia (Lokapaladhamma). Jika semua orang memiliki hiri dan ottapa dalam dirinya maka hidup rukun, damai, dan harmonis dapat terwujud.

Buddha Gotama mengajarkan untuk tidak memberikan pembelaan atau dukungan kepada pihak yang melakukan kekerasan atau peperangan, sekecil dan atas dasar apapun, karena bukan hal yang dibenarkan. Buddha Gotama pernah mendamaikan dua suku yaitu Sakya dan Koliya, yang hampir berperang karena merebutkan Sungai Rohini. Buddha berkata “Demi air Sungai Rohini yang bernilai kecil ini, mengapa kalian sampai mau menghancurkan kaum kesatria yang mulia dan tak ternilai harganya dengan saling berperang? Tak spercik kebahagiaanpun dapat diperoleh melalui perseteruan yang tak berharga dan pertarungan sia-sia”. Demikian nasehat Sang Buddha untuk mendamaikan Suku Sakya dan Koliya.

Buddha Gotama juga menegaskan dalam Dhammapada I, 5 sebagai berikut: “Di dunia ini kebencian belum berakhir jika dibalas dengan membeci, tetapi kebencian akan berakhir kalau dibalas dengan cinta kasih, ini adalah hukum kekal abadi”. Dalam Saraniya Dhamma, Sang Buddha menjelaskan terdapat enam faktor yang membawa kerukunan dan keharmonisan; (1) memancarkan cinta kasih dalam perbuatan;(2) dalam ucapan; (3) dalam pikiran; (4) memberi kesempatan kepada sesama untuk ikut menikmati apa yang diperoleh secara benar; (5) menjalankan kehidupan yang bermoral, tidak melukai perasaan orang lain; dan (6) tidak bertengkar karena perbedaan pandangan. Itu semua dilakukan baik di depan mau pun di belakang mereka”.

Dari semua kutipan di atas, ajaran Buddha menghendaki adanya kerukunan, kedamaian dan harmonis, bukan perselisihan, kekerasan, dan pertumpahan darah. Selama dunia ini dan siapa saja yang masih ada kekerasan dan peperangan sebagai jalan untuk mencapai kerukunan, kedamaian dan keharmonisan, selama itu pula kerukunan dan kedamaian tidak akan terwujud. Marilah kita implementasikan ajaran luhur Guru Agung Buddha Hiri dan Ottapa, kerukunan dan kedamaian, dan Metta (cinta kasih yang universal) dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Sabbe Sattā Bhavantu Sukhitattā
Semoga semua makhluk hidup berbahagia
Sadhu…sadhu…. sadhu….

Suwandi, S.Pd, Penyuluh Agama Buddha PNS, Kab. Bulungan Prov. Kalimantan Utara


Fotografer: Istimewa

Buddha Lainnya Lihat Semua

Mimbar Agama Lainnya Lihat Semua