Buddha

Sayangilah Disabilitas

Ilustrasi

Ilustrasi

“Na ca khuddaṃ samācare kiñci, yena viññū pare upavadeyyuṃ,
Sukhino vā khemino hontu sabbe sattā bhavantu sukhitattā
Ye keci pāṇabhūtatthi tasā vā thāvarā vā anavasesā
Dīgha vā ye mahantā vā majjhimā rassakā aṇukathūlā
Diṭṭhā vā ye vā addiṭṭhā ye ca dūre vasanti avidūre
Bhūtā vā sambhavesī vā sabbe sattā bhavantu sukhitattā”

“Tidak berbuat kesalahan walaupun kecil yang dapat dicela oleh para bijaksana,
Hendaklah ia berpikir: Semoga semua mahluk berbahagia dan damai,
semoga semua mahluk berbahagia
Makhluk hidup apa pun juga yang ada:
yang lemah atau kuat, tingi, gemuk atau sedang, pendek, kecil atau besar, tanpa kecuali
Yang terlihat atau tidak terlihat, yang tinggal jauh maupun dekat,
yang sudah lahir atau pun yang akan lahir, semoga semua mahluk berbahagia”
(Karaniya Metta Sutta, 145, 146 & 147 Khuddakapatha 9)


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disabilitas diartikan sebagai keadaan seperti sakit atau cedera yang membatasi kemampuan mental dan fisik seseorang. Menurut WHO, disabilitas adalah suatu ketidakmampuan melaksanakan suatu aktifitas/ kegiatan tertentu sebagaimana layaknya orang normal, yang disebabkan oleh kondisi kehilangan atau ketidakmampuan baik psikologis, fisiologis maupun kelainan struktur atau fungsi anatomis. Sedangkan yang disebut penyandang disabilitas adalah orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak. (UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Hak-Hak Penyandang Disabilitas).

Undang–Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (Disabilitas) menyebutkan bahwa penyandang disabilitas dikategorikan menjadi tiga, yaitu: (1) cacat fisik, merupakan kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuh, antara lain gerak tubuh, penglihatan, pendengaran dan kemampuan berbicara; (2) cacat mental merupakan kelainan mental atau tingkah laku, baik cacat bawaan maupun akibat dari penyakit; dan (3) cacat ganda (fisik dan mental), merupakan keadaan seseorang yang menyandang dua jenis kecacatan sekaligus.

Sekitar 15% dari total jumlah penduduk dunia adalah penyandang cacat dan sekitar 82% tersebar di berbagai negara berkembang termasuk Indonesia. Mereka hidup di bawah garis kemiskinan serta kerap kali menghadapi keterbatasan akses kesehatan, pendidikan, pelatihan, dan pekerjaan yang layak.

Saat ini jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 22,97 juta jiwa atau sekitar 8,5% dari total jumlah penduduk Indonesia. Angka di atas tergolong cukup besar. Penyandang disabilitas tak jarang mendapatkan perlakuan yang kurang pantas dan ter-marginalkan. Bahkan mereka kadang dianggap kaum lemah di masyarakat. Sebagai bagian dari warga negara, mereka harus mendapat hak dan perlakuan yang layak, serta kesempatan dan akses yang sama dalam segala bidang.

Dalam Karaniya Metta Sutta 145, 146, dan 147, Khuddakapatha 9) dijelaskan bahwa agama Buddha mengajarkan metta (cinta kasih) dan karuna (welas asih) bukan hanya kepada manusia saja, tetapi semua makhluk. Umat Buddha harus mempraktikkan dan menanamkan dalam diri sifat bajik demikian. Berikut ini kutipan dari Karaniya Metta Sutta:

“Na ca khuddaṃ samācare kiñci
Yena viññū pare upavadeyyuṃ
Sukhino vā khemino hontu
Sabbe sattā bhavantu sukhitattā
Ye keci pāṇabhūt' atthi
Tasā vā thāvarā vā anavasesā
Dīgha vā ye mahantā vā
Majjhimā rassakā aṇukathūlā
Diṭṭhā vā ye vā addiṭṭhā
Ye ca dūre vasanti avidūre
Bhūtā vā sambhavesī vā
Sabbe sattā bhavantu sukhitattā”

“tidak berbuat kesalahan walaupun kecil yang dapat dicela oleh para bijaksana,
hendaklah ia berpikir: Ssmoga semua mahluk berbahagia dan damai,
semoga semua mahluk berbahagia
makhluk hidup apa pun juga yang ada: yang lemah atau kuat,
tingi, gemuk atau sedang, pendek, kecil atau besar, tanpa kecuali
yang terlihat atau tidak terlihat, yang tinggal jauh maupun dekat,
yang sudah lahir atau pun yang akan lahir, semoga semua mahluk berbahagia.”


Dengan senantiasa selalu mengembangkan pikiran cinta kasih dan welas asih, maka akan memunculkan tindakan atau perbuatan bajik dalam kehidupan ini, tidak terkecuali kepada para penyandang disabilitas. Umat Buddha sebagai makhluk sosial wajib memberikan tempat dan kesempatan yang sama kepada para penyandang disabilitas. Pada dasarnya, dalam kapasitas sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa berdiri sendiri. Manusia membutuhkan orang lain dalam kehidupan ini, termasuk para penyandang disabilitas.

Semoga semua makhluk hidup berbahagia. Sadhu Sadhu Sadhu

Rujono, S. Ag. (Penyuluh Agama Buddha Kankemenag Kota Pematang Siantar, Provinsi Sumatera Utara)


Fotografer: Istimewa

Buddha Lainnya Lihat Semua

Mimbar Agama Lainnya Lihat Semua