Kisah Inspiratif

Abdul Karim: Mengisi Kekosongan Pendidikan Agama

Abdul Karim (Foto: Alhafiz Kurniawan)

Abdul Karim (Foto: Alhafiz Kurniawan)

Ustadz Abdul Karim sama saja dengan petani bawang lainnya di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Pada pukul 10.00 pagi, ia duduk di teras rumahnya yang sama sekali tanpa kursi dan meja. Biasanya di jam-jam tersebut mestinya ia sudah berada di sawah. Tetapi pagi itu tidak ada yang bisa dilakukan. Apalagi siang, petak-petak lahan miliknya kering karena dilanda kemarau panjang yang belum bisa diketahui kapan berakhir.

Hanya dengan memiliki sedikit lahan, ia memilih tanaman bawang untuk sawahnya. “Sawah memang tidak besar, tetapi alhamdulillah cukup buat makan,” kata Ustadz Karim yang baru bisa dijumpai di rumahnya sekitar jam 12.00 siang di musim tanam.

Husni Sahal, keponakan Ustadz Karim, menjelaskan, menanam bawang itu untung-untungan. “Sekali untung lumayan besar, tapi kalau rugi bisa habis-habisan. Dan menanam padi itu serba kecil. Kalau padinya untung, ya kecil. Kalau lagi rugi, juga ruginya kecil. Tetapi luas lahan juga menentukan,” kata Husni.

Kendati demikian, memilih hidup sebagai petani itu bukan perkara sederhana. “Jadi petani, membutuhkan pikiran dan tenaga. Biaya pun harus siap.” Bayangkan, mereka mesti terus mengolah pikiran untuk menentukan pupuk yang sesuai dengan kadar porsi air di lahan sawah. Pasalnya tingkat tertentu dari kondisi tanah menuntut pupuk yang cocok. “Tanpa pengalaman, mutu hasil panen bisa turun, bahkan gagal.”

Sementara 3 sampai 4 rumah dari sana, pelataran sebuah rumah tepat di simpang pertigaan menuju kediaman Ustadz Karim diserbu sedikitnya 25 orang. Lelaki dan perempuan. Halaman rumah penuh dengan gundukan bawang. Para petani mengairi sawah dengan bantuan mesin, “Mereka sedang membersihkan, memilih, dan menimbang bawang untuk selanjutnya dijual,” kata Ustadz Karim.

Melawan belenggu mitos nyai babu

Dusun Bantariak, Desa Limbangan, Kecamatan Losari, Kabupaten Brebes dengan aliran sungai Cisanggarung membelah Losari Brebes dan Losari Cirebon. Umumnya masyarakat mengenal orang Losari dengan sebutan “Losari Jawa Barat”. Awalnya Dusun Bantariak masuk Losari Jawa Barat. Ketika suatu masa, sungai Cisanggarung kembali mengalir setelah lama mengering, alirannya menerobos kanal yang kemudian memisahkan Limbangan dan desa di seberang sungai.

Sebelah barat daya dari Langgar di samping rumah Ustadz Karim, terdapat pemakaman umum bagi orang Desa Bantariak, dan di sanalah dimakamkan Nyai Babu. Orang Bantariak berkeyakinan, tidak akan maju bagi keturunan Nyai Babu. Konon Nyai Babu adalah buruh kasar atau babu semasa hidupnya. Masyarakat setempat sebagian besar percaya mitos tersebut. “Bahkan kepala desa sini yang berasal dari tetangga desa, enggan menempati rumah dinasnya. Takut jatuh miskin,” kata Ustadz Karim. Maka itu, rumah di sini biasa-biasa, tampak sederhana.

Berangkat dari lemahnya semangat untuk maju, bagi orang Bantariak, Ustadz Karim tidak menyia-nyiakan kesempatannya setiap kali berbicara di tengah masyarakat. Setiap kali mengisi pengajian orang tua usai Jum’atan di masjid, ia selalu mendorong tetangganya bercita-cita lebih tinggi. “Di situ saya lebih menanamkan akidah dan keyakinan. Kemajuan hidup itu ditentukan Allah, bukan siapa-siapa, apalagi hanya konon,” kata Ustadz Karim pada kesempatan malam lailatul ijtima setiap bulannya. Ia tidak menginginkan tetangganya terpasung keyakinan semu.

***
Ustadz Abdul Karim berusia 50an tahun. Sempat mengenyam pendidikan di sekolah hingga SMP. Setelah itu orang tuanya KH. Syatibi membawanya ke pesantren al-Quran asuhan KH. Abu Bakar Shofwan di Gedongan, Cirebon. Di sini ia belajar kepada Kiai Abu Bakar dan Kiai Yusuf Gedongan sejak 1972 hingga 1979. Lepas dari sana, ia mondok selama dua tahun di Pesantren Al-Qudsiyah asuhan Kiai Arwani Amin di Kudus. “Saya tabarukan di sana.” Setelah itu ia mengaji alat selama 6 tahun di Lirboyo, Kediri. Di Lirboyo menyelesaikan MTs hingga Aliyah.

Kitab alat yang pernah ia pelajari selama mondok antara lain, kitab Jurumiyah, Imriti, Khalid Abi Naja, Mutamimah, Asymawi, Mukhtashar Jiddan dan Alfiyah untuk ilmu nahwu. Disiplin balagoh menggunakan Jauharul Maknun dan Uqudul Juman.

Dipukulnya kentongan di langgar peninggalan Kiai Syatibi pertanda waktu Dzuhur tiba. Orang yang memukul kentongan tidak lain Istri Ustadz Karim. Di langgar sederhana ini Ustadz Karim mengajar ngaji anak-anak tetangganya sejak 1995. Berjarak sekitar 5 km dari tambak garam dan laut. Di dinding tergantung sebuah jam dengan jarum jam lebih maju puluhan menit. “Itu jam istimewa,” kata Husni merujuk jam yang diatur menurut pergeseran matahari sebagai tanda waktu sembahyang bagi anak-anak dan warga setempat.

“Dulu pengajian hampir setiap waktu. Sekarang hanya setelah Dzuhur dan setelah Maghrib,” kata Ustadz Karim. Usai Maghrib, sekitar 10 anak mengaji alat seperti nahwu, shorof. Mereka juga diajari fikih Fathul Qarib, al-Quran, dan tauhid. Mereka rata-rata pelajar MTs atau SMP. Sementara anak-anak yang mengaji al-Quran setelah Dzuhur berjumlah sekitar 70 anak. Mulanya ia percayakan MTs mendidik agama, namun lama kelamaan pendidikan agama di MTS berubah menjadi pelajaran agama. Karena itulah ia terpanggil mendidik anak-anak tetangganya.

“Saya lihat di MTs yang disajikan bukan pendidikan agama, tapi pelajaran agama. Sepertinya kok tidak ada bedanya antara ta’ilm dengan tarbiyah. Agama itu tarbiyah, pendidikan, ada ruh, ada akhlaknya. Harus dibedakan penyajiannya dengan bidang yang menekankan keterampilan, pelajaran. Di sini saya tekadkan niat,” terang Karim menjelaskan kegelisahannya.

Setelah berjalan lama dalam asuhannya, sudah tampak kemajuan. “Alhamdulillah sekarang anak- anak sudah banyak yang mondok di luar. Ada juga alumni dari sini menjadi ABRI. Ada yang khatam al- Qur’an, terus jadi mantri.”

Aksara arab pegon

Di ruang depan rumah Ustadz Karim sebuah papan tulis hitam besar terpampang. Papan hitam ini masih memuat tulisan kapur berisi pelajaran Imriti dan terjemahan aksara arab pegon. Sisa pelajaran semalam ini ditulis dengan khat yang rapi. Kenapa arab pegon masih digunakan masyarakat? Alasannya sederhana. Karena sewak- tu mondok, guru pesantren mengajarkannya demikian. Di samping itu pengajaran arab pegon mengandung akhlak.

“Tujuan saya agar anak-anak mengerti tata krama terhadap orang tua. Dengan aksara pegon mereka bisa gunakan bahasa ‘bebasan’ yang tidak mereka dapati di sekolah,” kata Ustadz Karim menghirup nafas yang melewati pohon nangka di pekarangan rumahnya. Bebasan untuk bahasa kromo inggil yang digunakan masyarakat Cirebon dan sekitarnya. Untuk itu, Ustadz Karim pernah meminta pulang anak keduanya yang tengah mengabdi di Pondok Pesantren Az-Ziyadah Jakarta sebelum dikirim ke pesantren di Bangsri Jepara. Di Jakarta anaknya lebih sering menggunakan bahasa nasional. “Saya khawatir anak-anak kehilangan bahasa Jawanya. Saya orang kampung, bahasa Jawa sangat penting.”

Kesantunan berbahasa berdampak pada kesan- tunan perilaku. Akhlak santri di pesantren bisa diuji. Akhlak mereka ditempa melalui aksara arab pegon. Cara perilaku ini jauh sekali dari para pelajar murni sekolah yang tanpa mengaji dan tanpa mondok. Pengajian pasaran pada Ramadhan kemarin menjadi catatan Ustadz Karim, pesertanya anak-anak tetangga yang kebanyakan tengah menempuh pendidikan SMP. Penghormatan mereka kepada guru, kering laksana kemarau. “Mereka mengobrol masing-masing kepada kawannya sewaktu ustadz sedang menjelaskan.”

Tiga anak Ustadz Karim cukup mendapat pendidikan agama. Anak pertama kini sudah hafal al Qur’an lulusan Pesantren Gedongan dibimbingan Kiai Abu. Anak perempuan baru memulai rumah tangga. Anak kedua mondok sampai tingkat aliyah di Pesantren Al- Aziziyah Jakarta. Ia diminta membantu kegiatan men- gajar di pesantren. Tetapi tidak lama Ustadz Karim memintanya mondok kembali di Bangsri Jepara belajar alat dengan metode amtsilati. Sedangkan anak ketiganya ma- sih duduk menempuh aliyah.

Baginya, memondokkan anak lebih pada penem- paan akhlak. “Yang paling utama di pondok pesantren itu melihat perilaku kiai untuk diteladani. Ini sangat penting. Para santri melihat cara berpakaian, cara ber- bicara kiainya. Santri mesti mengikuti semuanya dari kiai.”

Sederhananya menginginkan tiga anak memiliki bekal keagamaan. “Kalau nanti mereka menjadi apa saja supaya ada remnya. Agar mereka takut hanya kepada Allah.”

Ustadz Karim menekankan pentingnya jalan halal mencari rezeki oleh masyarakat. Dari sana masyarakat perlu menggembleng lagi pengetahuan keagamaan agar mereka mengerti mana hak manusia mana hak Allah. Akur sesama tetangga mesti dijaga. Solidaritas bisa digalang lewat hari-hari besar Islam seperti Muludan dan Rajabiyah. “Pendeknya, masyarakat jangan sampai melanggar larangan agama. Mereka mesti beriman, beramal, dan bertakwa,” pungkasnya.

Ustadz Karim persis seperti santri umumnya. Ia mencintai semua disiplin pelajaran. Kendati demikian, ia sangat gemar kitab akidah ketauhidan. Menurutnya, sesuatu yang paling penting dalam hidup dengan segala aktivitasnya, ialah akidah. Al-Quran sendiri lebih menjelaskan tauhid, “Karena ini yang pokok.”

Penulis: Alhafiz Kurniawan

====

Artikel liputan ini pertama kali dimuat dalam buku "Mendidik Tanpa Pamrih. Kisah Para Pejuang Pendidikan Islam" (Jakarta: Kemenag RI, 2015).

Kisah Inspiratif Lainnya Lihat Semua

Artikel Lainnya Lihat Semua

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Koordinat
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Nol
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Kumpul
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Temu
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Jenuh