Kisah Inspiratif

Ahmad Fauzi, Di Balik Gema Agama Kampung Gunungsari

Ahmad Fauzi saat mengajar murid-murid TPQ (Foto Buku: Mendidik tanpa Pamrih)

Ahmad Fauzi saat mengajar murid-murid TPQ (Foto Buku: Mendidik tanpa Pamrih)

Hari menjelang Zuhur. Bising suara mesin penatah batu itu tiba-tiba berhenti. Sang pemilik, Ahmad Fauzi, dan beberapa pekerja muda usia itu meninggalkan pekerjaannya, mengukir batu alam. Segera mereka membersihkan diri dan menuju masjid tak jauh dari tempat mereka bekerja.

“Kami sepakat untuk waktu kerja cukup sampai siang hari. Selebihnya, untuk ngaji dan mengajar di madrasah diniyah,” ujar Fauzi.

Sejak beberapa tahun ini, jam kerja mengukir batu ditetapkan oleh Fauzi sampai zuhur. “Ada yang lebih penting, mengabdi pendidikan di madrasah. Saya khawatir kalau terlalu sibuk di pekerjaan, pendidikan diniyah yang lama kami rintis menjadi terbengkalai,” katanya.

Memang, madrasah diniyah yang ia rintis sejak tahun 2003 itu kegiatannya dimulai jam 2 siang. Ia ingin merawat madrasah diniyah itu demi pendidikan anak-anak di kampungnya.

***

Ahmad Fauzi, guru ngaji di kampung Gunungsari, Desa Ngeposari, Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunungkidul, ini memang pekerjaan sehari-harinya adalah pengukir batu. Di tengah keterbatasan ekonomi dan ketidakberdayaannya, ia dan istrinya, Elmi Laeli, bertekad untuk menjaga dan mengembangkan pendidikan agama di Gunungsari melalui Madrasah Diniyah Salafiyah.

Awal mula berkiprah di kampung Gunungsari pada tahun 1999 tatkala mendapatkan tugas da’i Ramadlan dari pesantrennya, Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Magelang. Kondisi dan kesadaran keagamaan di Gunungsari saat itu sangat memprihatinkan. Jamaah sholat Jum’at saat itu hanya sekitar 15 orang. Padahal, jumlah laki-laki dewasa di kampung itu pada saat itu lebih dari 100 orang.

Tak ada aktivitas keagamaan rutin yang mencolok dijalankan di kampung itu. Taman Pendidikan al-Qur’an (TPQ) di masjid hanya berjalan tatkala Ramadlan, selebihnya tak ada pengajaran untuk anak-anak. Kegiatan remaja, orang tua (kasepuhan), maupun aktivitas majelis ta’lim tak ada. Praktis, kegiatan keagamaan terlihat geliatnya hanya saat bulan Ramadlan tiba.

Berangkat dari keprihatinannya itu, ia menyetujui permintaan warga untuk tinggal lebih lama lagi di Gunungsari, meski tugas dari pesantrennya hanya selama Ramadlan saja. Fauzi kemudian merintis TPQ di masjid Al-Muttaqin di kampung Gunungsari. TPQ itu ia jalankan setiap sore. Awalnya, hanya ada 12 anak yang mau ikut ngaji. Tetapi, kemudian berkembang menjadi 30 bahkan hingga mencapai 90 anak.

Setelah mampu menjalankan pendidikan untuk usia anak-anak melalui kegiatan TPQ di masjid, Fauzi kemudian merangkul remaja untuk mengadakan kegiatan ngaji setiap malam Ahad. Fauzi juga berpikir bagaimana merangkul kasepuhan untuk mau ngaji. Maka, pada malam Rabu di tahun 2000, ia mengadakan mujahadah bersama di masjid.Berawal dari situ kemudian terbentuk kelompok pengajian kasepuhan setiap malam Senin dan Sabtu. Kini, jamaah rutin majelis ta’lim yang ia rintis mencapai sekitar 110 orang.

Pada tahun 2003, Fauzi merintis Madrasah Diniyah Salafiyah. Ia merasa prihatin karena anak-anak TPQ yang telah rampung (khatam) al-Qur’an justru enggan mengaji. Padahal, pengetahuan fikih ibadahnya masih minim. Fauzi kemudian berketetapan untuk mendirikan madrasah diniyah sebagai tindak lanjut jenjang dari TPQ.

Kini, santri madrasahnya mencapai 146 santri, 6 di antaranya santri mukim. Tidak hanya dari kampung Gunungsari, tetapi juga banyak dari kampung sebelah. Bahkan, dari beberapa daerah di luar Desa Ngeposari ada yang belajar di madrasah tersebut.

Kisah Pendidikannya
Fauzi sendiri bukanlah orang yang memiliki pendidikan formal yang tinggi. Ia hanya lulusan Sekolah Dasar (SD) di Watukumpul, Parakan, Temanggung. Karena keterbatasan ekonomi dan motivasinya untuk ke Pesantren, pada 1989 ia melanjutkan ke Pesantren Al-Ihsan Tembarak, Temanggung dibawah bimbingan KH. Ishom. Selama 6 tahun ia menimba ilmu di pesantren itu. Di sinilah, Fauzi mendapatkan bekal pendidikan dasar agama.

Pada 1994, Fauzi melanjutkan pendidikan pesantrennya ke API Tegalrejo di bawah asuhan KH. Abdurrahman Khudlori dan KH. Ahmad Muhammad Khudlori. Di API Tegalrejo, Fauzi semakin mampu mengembangkan pendidikan agamanya. Kemampuan ilmu alat dan fikihnya ia perdalam di pesantren ini. Hingga tahun 1999 kemudian ia mengabdi di masyarakat Gunungsari, Gunungkidul.

Mengawali Berumah tangga

Tahun 2001, Fauzi pulang kampung ke Watukumpul, Parakan, Temanggung untuk menikah dengan gadis dari Magelang, Elmi Laeli. Usai menikah, ia sempat tinggal di Temanggung. Tapi, jiwa pengabdian Fauzi berbicara. Ia memutuskan untuk menerima permintaan dari warga Gunungsari, untuk kembali mengajar dan mendidik anak-anak TPQ di kampung Gunungsari, Gunungkidul. Ia tinggal di sebuah rumah di dekat masjid. Mbah Wito, lelaki sepuh yang hanya tinggal bersama istri, menyediakan sebagian ruang di rumahnya untuk ditempati Fauzi dan istrinya.

Melihat keterbatasannya, masyarakat membuatkan rumah sederhana di timur masjid untuk ditempati. Keterbatasan ekonomi tak menyurutkan semangat pengabdian Fauzi, membangun pendidikan agama bagi masyarakat anak-anak. Sambil bekerja sebagai tukang ukir batu untuk mencukupi kebutuhan keluarga, ia terus menggerakkan masyarakat untuk ngaji. Meski, kondisi ekonomi seringkali menggunjang, Fauzi berusaha tetap menjaga pengajaran agama di masyarakat Gunungsari. Gaji yang ia peroleh sebagai tukang batu sekitar 150 ribu. Tentu saja, hasil tersebut jauh dari cukup untuk menghidupi keluarganya, istri dan anaknya.

Keterampilannya mengukir batu membawanya untuk mendirikan usaha sendiri. Meski kecil, Fauzi lebih nyaman dengan bekerja di tempat usahanya sendiri. Lambat laun usahanya mulai berkembang. Hingga kemudian Fauzi mampu membeli sebidang tanah dan dibangun sebuah rumah sederhana untuk ditempatinya. Kini, ia mampu mempekerjakan 4 orang.

Pemberdayaan Santri
Meski usaha ukiran batunya masih kecil, Fauzi tetap berfikir bagaimana memberdayakan santri di madrasahnya. Apalagi, enam santri yang mukim itu adalah anak-anak putus sekolah karena keterbatasan biaya. Bahkan, lima santri berasal dari Temanggung yang orang tuanya sudah pasrah karena tak mampu membiayai sekolah.

Dari usaha ukir batu itu, Fauzi berusaha melatih beberapa santrinya untuk mandiri. Ia latih dengan sabar keterampilan ukir batu. Bahkan, tiap bulan, fauzi mampu memberi gaji 150-300 ribu untuk santri-santri itu. Sementara, santri yang masih usia sekolah dasar ia sekolahkan dan makan sehari-harinya masih jadi satu dengan keluarga kecil Fauzi. Untuk menopang ekonomi keluarga, istri Fauzi, Emi Laeli, juga berjualan makanan kecil. Fauzi berharap, dengan kesederhanaan dan kemandirian itu, santri-santri asuhannya kelak tidak menyerah hanya karena keterbatasan ekonomi.

Madrasah Diniyah
Madrasah Diniyah Salafiyah dirintis pada tahun 2003. Menempati serambi masjid, madrasah ini terus berkembang. Fauzi bertekad bahwa pendidikan agama tak boleh berhenti sebatas TPQ, karena anak-anak butuh bekal agama yang lebih untuk mengarungi kehidupan yang semakin kompleks.

Karena keterbatasan ruang, maka masyarakat berusaha mendirikan gedung madrasah diniyah. Sebidang tanah wakaf dari Pak Basuki menjadi modal untuk pembangunan gedung madrasah diniyah. Masyarakat Gunungsari swadaya membangun gedung itu. Tetapi, keterbatasan dana menyebabkan pembangunan madrasah diniyah itu mangkrak hingga tiga tahun.

Seorang pengusaha dari Jakarta, Desi Arianti dan keluarga, mendengar kabar dari saudaranya tentang kondisi pembangunan gedung pendidikan diniyah yang mangkrak di Gunungsari. Kemudian, ia memberikan bantuan hingga mampu menyelesaikan bangunan madrasah tersebut. Kini, Madrasah Diniyah Salafiyah memiliki 3 ruang belajar, 1 ruang kantor, dan 1 aula. Bangunan itu lebih dari cukup bagi Fauzi dan masyarakat Gunungsari di tengah keterbatasan ekonomi dan keterbelakangan pengetahuan agama di Gunungsari.

Untuk pembelajaran di TPQ dan madrasahnya, Fauzi dan istrinya dibantu lima orang tenaga pengajar. Fauzi hanya mampu memberikan imbalan 7 ribu tiap jamnya bagi ustadz dan ustadzah yang membantunya itu. Tetapi, keterbatasan itu tak menyurutkan para pengelola dan pengajar madrasah untuk mengembangkan madrasah tersebut. Bahkan, kini, Madrasah Diniyah Salafiyah adalah satu-satunya madrasah diniyah di luar pesantren yang mampu eksis di Gunungkidul.

Melalui madrasah diniyah itu Fauzi berharap santri-santri madrasah mampu menjadi generasi yang bertaqwa, memiliki keluasan ilmu, dan dihiasi akhlak yang baik sesuai visi madrasah yang ia canangkan tersebut. Di samping itu, ia berharap madrasah ini mampu memfasilitasi pengajaran dan pengamalan agama serta pengembangan kepribadian yang luhur dan berbudaya. Ia juga menekankan kasih sayang kepada sesama. Apalagi, masyarakat Gunungsari adalah masyarakat plural sebab terdiri dari beberapa pemeluk agama.

Di tengah perkembangan dan keberlanjutan madrasah diniyahnya, tak muluk-muluk yang menjadi harapan Fauzi. Ia hanya berharap mampu konsisten untuk mengabdi. Sebab, bagi Fauzi, istiqomah adalah solusi pengembangan pendidikan agama di tengah godaan materi yang semakin berat.

“Saya berharap mampu istiqomah menjaga, merawat, dan mengembangkan pendidikan keagamaan di sini (Gunungsari) melalui madrasah diniyah maupun pengajian kasepuhan. Masyarakat juga istiqomah menjalankan ajaran agama,” ujar Fauzi. Dan, itu juga yang menjadi pesan guru dan kyainya tatkala ia mohon restu untuk mengabdi di masyarakat Gunungsari.

Penulis: Ahmad Munir
====

Artikel liputan ini pertama kali dimuat dalam buku "Mendidik Tanpa Pamrih. Kisah Para Pejuang Pendidikan Islam" (Jakarta: Kemenag RI, 2015).

Kisah Inspiratif Lainnya Lihat Semua

Artikel Lainnya Lihat Semua

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Koordinat
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Nol
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Kumpul
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Temu
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Jenuh